Minggu, 05 Mei 2013

Tahu Diri (songfiction Tahu Diri-Maudy Ayunda)

TAHU DIRI
(songfiction from Tahu Diri- Maudy Ayunda)

“Kalau emang kita nggak bisa dipertahanin. Buat apa dipaksa? Kesalahanmu kelewat banyak buat ditolerir. Aku udah berkali-kali kasih kesempatan buat kamu. Tapi, nihil kan? Aku tetep aja kecewa. Kamu? Apa kamu masih peduli sama aku?”
Seorang pemuda yang duduk di sampingku berbicara perlahan, lebih mirip berbisik. Tapi, aku mendengarnya dengan sangat jelas. Setiap kata yang dilontarkannya serasa menghujam buku-buku jariku yang entah sejak kapan mengepal begitu erat di bawah meja.

“Mungkin aku aku masih cinta. Tapi, aku nggak bisa. Aku minta kita sampe di sini aja.”
Aku menoleh ke samping, menatap pahatan tulang rahang pemuda itu begitu lama, kemudian manik matanya beradu dengan milikku.

“Iya, kita putus, ya? Menyerahlah...”
***

 

Sebuah kartu ucapan ulang tahun adalah benda terakhir yang kumasukkan ke dalam kotak kardus berwarna abu-abu yang baru kemarin aku siapkan. Biarkan benda itu bersatu dengan yang lain. Dengan puing-puing kenangan yang tak kalah menyedihkan. Hampir mirip barang rongsokan, yang siap kapan pun dibuang. Kemudian, kotak itu kututup dan kurapikan. Mungkin pulang sekolah nanti, akan aku buang bersama sampah dapur milik mamih.

“Lagi ngapain?” tanya Cika, adik perempuanku yang entah sejak kapan sudah berada di belakangku.

“Hei! Udah berapa kali mbak bilang, jangan sembarangan masuk kamar mbak tanpa ketuk pintu!” aku 
ngomel sejadi-jadinya.

“Ya sori, habisnya mbak dipanggilin mamih dari tadi nggak nyaut. Aku cuma disuruh nyusul. Sarapan udah siap tuh. Jam berapa ini, coba?”

Aku menoleh ke jam putih di samping tempat tidurku. Setengah tujuh. Oh my God! Kemana saja aku barusan, sampai selama ini di kamar. Lagi-lagi kenangan itu menghanyutkanku ke alam dimana waktu semenit serasa sejam hanya untuk melamun.

“Ini apa?”

“Sampah! Nanti pulang sekolah mau langsung mbak buang kok!” teriakku sambil berlari ke arah ruang makan.

Cika menatap kotak abu-abu itu. Rasa penasaran menghantuinya.

Mobil yang mengantarku ke sekolah baru saja berhenti di depan gerbang berplang SMA favorit di kotaku.

“Mbak Arinda, udah sampai, mbak.” Ucap Pak Dulah supirku. Lagi-lagi aku melamun sepanjang perjalanan.
Setelah berpamitan, aku pun melangkah kaki memasuki sekolahku. Sebelum ke kelas, aku harus ke ruang OSIS untuk mengembalikan proposal yang kemarin harus direvisi. Agaknya aku memang sekretaris bodoh, sering sekali aku harus merevisi proposal, karena kecerobohan-kecerobohanku. Pintu ruang OSIS sedikit terbuka. Mungkin ada orang di dalam. Aku mengingat siapa saja yang boleh membawa kunci ruangan itu selain aku. Dan nama itu muncul.

“Orion?” panggilku saat kutemui sosoknya sedang duduk di kursi rapat.

“Hei, aku nunggu kamu dari tadi.” Jawab Orion, aku tersenyum memaksa. Pemuda di hadapanku ini selalu berhasil membuat ribuan sel di tubuhku membeku, yang ada hanya sikap penolakan yang selalu berujung pada aku yang tiba-tiba membuang muka tanpa sebab.
Kemudian langkahku jadi canggung, menuju ke arah Orion. Perasaan apa ini? Setiap langkah yang kuambil, seperti memompa air mataku. Tiba-tiba aku teringat ucapan mamih tadi pagi, tentang–entah siapa– yang biasa menjemputku pagi-pagi untuk berangkat sekolah bersama, karena memang rumah kita satu kompleks. Dan aku menjawab pertanyaan mamih dengan, “Dia lenyap, Mih. Ditelan badai matahari, mungkin.”

“Jadi… mana proposalnya?” tanya seseorang membangunkanku kembali ke alam nyata. Sial, terhisap kenangan lagi, batinku.
“Untung aja, selesai. Makasih ya, Rin. Aku nggak tau apa jadinya even kita tanpa kamu.” Ucapnya.

“Aku nggak mau revisi proposal buat yang kedua kalinya. Aku nggak mau salah lagi.” Kalimat terakhirku tadi cukup membuat kami berdua di dalam ruangan itu terdiam. Cukup lama, sampai-sampai suara langkah kaki dari ruang arsip terdengar. Langkah kaki?

“Gimana, Ri?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari pintu ruang arsip yang memang berada di dalam ruang OSIS, “Eh, Arinda. Kamu udah benerin proposal kita, kan?”

Aku mengangguk, Orion bahkan mengiyakan. Oh, jadi gadis bermata sipit ini sudah dari tadi ada di sini? Apa? Yang menemani Orion, ya? Haha, rupanya Orion memang masih menaruh rasa pada Leia. Gadis keturunan Cina yang jauuuuh lebih sempurna daripada aku.

“Biar aku yang minta cap sekolah ke ruang TU. Nanti jam istirahat, kalian yang ke ruang kepsek buat minta tanda tangan, ya?” cerocos Leia, kemudian, meninggalkan ruangan.

“Aku… masuk kelas dulu ya.” Pamitku.

“Ehm, Rin!” panggil pemuda itu dari belakang, “Aku mau ngomong sesuatu, ini tentang Leia. Jadi sebenernya…”

“Teeet teeet!”

“Udah masuk, Ri. Aku ke kelas ya.” Pamitku sekali lagi.

“Ehm, tapi… oh, oke, nanti ketemu di jam istirahat ya!”

Aku melangkah ke menuju pintu keluar, tapi kemudian berbalik lagi, “Ehm, Orion?”

“Iya?”

“Lebih baik kamu aja yang minta tanda tangan kepsek.

“Sendirian?”

“Sama Leia."

Kemudian, aku benar-benar keluar dari ruangan itu.

***

Lapangan basket memang selalu ramai. Saat pulang sekolah sekalipun. Dari kejauhan aku melihat Farha, teman sebangkuku saat kelas X, ia melambaikan tangannya, memanggilku, aku pun menghampirinya.

“Ada apa?”

“Tumben nggak nonton?”

“Apa?”

“Ini loh. Pacar kamu tanding one on one sama Galih, kapten basket loh.” Jawab Farha menunjuk ke 
lapangan. Aku terdiam. Apa katanya? Pacar? Ha-ha-ha.

“Sorry, Far. Aku pulang dulu, ya!”

“Loh? Kenapa? Kalian marahan?”
Aku diam, tidak menggeleng maupun mengangguk. Pemuda bernama Orion itu sedang keren-kerennya mendrible bola. Biasanya, aku selalu ada di tribun paling depan, meneriaki namanya sambil membawa sebotol air minum dingin yang nantinya akan langsung dia minum ketika break permainan.

“Aku pulang dulu, Far.” Pamitku.

“Yakin nggak ikut nonton?”

Gelenganku menjawab Farha, lalu aku berlalu. Tungkaiku mengayun tanpa arah. Dan tiba di sebuah ruangan yang agak lebar daun pintunya. Entah untuk apa aku ke sini, tapi pandanganku terpaku pada sebuah kulkas yang berisi minuman botol. Dan tangan kananku membukanya.

“Hei, Arinda!” sesorang menepuk bahuku. Aku menoleh. Lagi-lagi Leia.

“Kamu mau beli buat Orion? Nggak perlu! Ini aku baru aja disuruh Orion buat beli. Ehm, kamu aja ya yang antar ke dia? Dia pasti lebih suka kalau kamu yang kasih dia air minum. Lagipula, kamu juga suka, kaan?”
Aku membanting pintu kulkas kantin begitu kencang, sampai botol-botol beling di dalamnya berdentingan.

“Cukup ya, Lei! Udah berapa kali aku ngebiarin kamu kaya gini!” bentakku ke Leia cukup menarik perhatian.

“Kaya gini, apa, Rin??” balas gadis Chinese ini.

“Nggak usah sok nggak tau, Lei. Kamu bahkan udah tau kabar tentang aku dan Orion kan?! Dari siapa? Oh, iya aku lupa, Orion pasti cerita semuanya tentang aku, kan?? Tentang kebodohanku? Tentang puluhan kesalahan-kesalahanku?!”

Leia terpaku, tangannya masih memegang erat sebotol Pocari Sweat, dan menatap mataku ketakutan.

“Aku… sudah cukup tahu diri untuk nggak mendekati Orion lagi, ya Lei. Tapi, kamu… buat aku muak sama akal-akalan kamu yang selalu nyuruh aku berhubungan sama Orion!”

“Maksud kamu apa, Riiin…” tanyanya gemetaran, tapi tidak kuladeni lagi, karena aku melihat seseorang memasuki kantin dan berdiri di depan pintu. Orion.

“Permisi.” Pamitku lalu meninggalkan kerumunan. Berlalu melewati pemuda yang masih mengenakan 
seragam basket dengan jutaan tanda tanya di batok kepalanya.

***

Layar digital mini yang berada tepat di atas ring basket kian bertambah seiring jumlah bola yang berhasil aku masukkan. Peluhku menetes begitu buas, tidak kalah dengan pemain basket yang sedang tanding di lapangan. Masih tersisa dua koin untuk satu putaran lagi, yang baru saja aku masukkan ke dalam lubang koin. Bola basket itu menggelinding lagi ke arahku, dengan sekali tembak, angka digital di atas ring pun mulai bertambah.
Menyedihkan, di saat kacau begini pun hanya tempat ini yang mampu menghiburku. Tempat yang begitu 
sering aku datangi, dulu. Hanya saja, aku sendirian sekarang, tanpa ada yang mengusap ubun-ubun kepalaku ketika aku berhasil memasukkan semua bolanya.
Permainan berakhir, tidak ada satu bola pun yang meleset. Tapi kemudian, bola mataku panas, perutku mual, dan air mataku pecah, mungkin kelopaknya tak kuat lagi menahan beban. Aku… menangis dalam diam. Sesegukan, di tengah keramaian, begitu menyedihkan.

***

Orion berdiri di depan pintu putih. Entah apa yang membuatnya ada di sana sekarang. Sesaat kemudian, seseorang membuka pintu.

“Rin?” ucapnya, “eh, Cika? Mbak Arinda ada?”

Cika mengernyitkan kening, apa yang dilakukan orang ini di depan rumahnya setelah kurang lebih sebulan seakan hilang dari peradaban.

“Cika?”

“Mbak Arinda belum pulang sekolah. Cika kira sama Mas Ori. Emangnya kalian nggak pulang bareng?”

“Belum pulang? Tapi tadi… eh, boleh aku tunggu Arinda di dalem?”

“Maaf, Mas. Mamih lagi nggak ada. Aku di suruh jaga rumah sendiri. Nggak mungkin Mas Ori aku bolehin masuk.”

“Oh… yaudah…” Orion menggaruk tengkuknya, sifat kedua kakak beradik ini memang begitu mirip. Saklek. Senyuman tersungging di wajah Orion, mengingat gadis manis penggila keju itu.

“Arinda nggak bilang sama kamu dia mau mampir kemana sepulang sekolah?”

“Nggak. Tadi dia bilang, mau cepet pulang karena mau buaaang… eh! Sebentar Mas! Kamu tunggu di sini, jangan coba-coba buat masuk! Aku ambil sesuatu sebentar.”

“Eh? i..iya.”

Cika memasuki rumahnya lagi, lalu langkahnya terdengar menaiki tangga, sementara Orion dibiarkannya di luar rumah. Kekhawatiran tiba-tiba menyergap pikiran Orion, kejadian di kantin tadi terngiang lagi. Apalagi, setelah Leia menceritakan apa saja yang dikatakan Arinda. Entahlah, tapi Orion rasa ia harus meluruskan keadaan. Setidaknya, dia yang paling bertanggung jawab di sini.

“Ini!” Cika kembali dengan sebuah kotak berwarna abu-abu di tangannya.

“Apa ini?”

“Entahlah, Cika rasa Mas Ori harus tau. Bawa pulang, buka, dan pikir sendiri.” Jawab Cika kemudian menutup pintu, tanpa menggubris Orion yang masih tidak mengerti.

***

Bibir tipisku menyedot habis milk shake di tangan, sampai bunyinya terdengar dan orang-orang memperhatikan. Aku tidak peduli apa yang dipikirkan oleh orang-orang di sekitar. “Ada orang dengan mata sembab, sendirian, dan bertingkah aneh dengan minuman yang dibawanya.” Mungkin seperti itu.
Handphone di sakuku bergetar, aku mengambil benda itu, lalu membaca pesan yang baru saja mendarat di sana.

From: Dek Cika
Mbak? Lg dmn? Cepet pulang. Aku sndirian di rumah.

Aku tersenyum pahit, lalu membalasnya.

Gue juga sendirian, Cik. Haha, bener-bener sendirian. Mungkin loe belum tau rasanya ditinggal dan dicampakkan macem gue. Gue nyerah, Cik. sama semuanya. Gue janji gue bakal nyerah. Gue udah nyoba berkali-kali, dan kali ini gue yakin, gue nye-rah.

Kemudian, aku me-nonaktifkan handphoneku.

***

To: Mbak Arinda
Mbak? Mbak ngomong apa sih?! Mbak dimana?! Biar aku susul! Mbaak please…

Cika mulai panik. Pasalnya, kakak perempuannya itu belum pernah ber-gue-loe dengannya sekalipun dan kalimat-kalimat yang ditulis Arinda barusan membuat perasaan Cika tidak enak. Berkali-kali ia mencoba menghubungi handphone kakaknya itu, tetapi percuma, nomornya tidak aktif. Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan??

***

Di atas sebuah meja, berserakan begitu banyak foto-foto, ada beberapa tiket nonton, gantungan kunci berbentuk setengah hati, bungkus cokelat valentine, novel dengan pita ungu yang mengikatnya, sebuah scrapbook, dan sebuah surat.

Seorang pemuda memegang selembar surat itu sambil duduk dan memijit-mijit keningnya yang mulai pusing. Ia menyesal habis-habisan. Barisan kalimat di dalam surat itu, telah menjelaskan semuanya. Kemudian, pemuda itu meraih handphone-nya. Baru saja ia akan menghubungi seseorang, sebelum handphone itu berbunyi tanda ada telepon masuk.

“Halo? Iya, Cika, ada apa? Ha? Arinda kenapa? Tapi dimana? Oh, sial! Ok, ok Mas Ori coba cari. Ok, Cika, Mbak Arinda bakal baik-baik aja.”

Orion meraih kunci mobilnya lalu bergegas pergi, entah kemana tujuannya, di kepalanya hanya ada satu nama. Arinda.
Kemana kamu, Rin?

***

Mobil Orion melaju dengan kencang, baru saja ia menemukan tempat yang paling mungkin kudatangi di saat seperti ini. Setelah memarkir mobilnya, ia pun memasuki tempat itu. Latte Café. Café favorit kami.
Manik mata Orion menyapu ke seluruh ruangan, mencari sesosok gadis. Malam Minggu begini, café ini tentu sangat ramai, membuat Orion kesulitan mencari tubuhku yang kelewat mungil. Kemudian, pandangannya terpaku pada seorang gadis yang menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan lengan. Aku. Aku terlihat begitu menyedihkan, mungkin. Dengan segelas cappuccino yang sudah habis isinya.
Arinda? Pemuda itu pun menghampiri.

“Maaf, café kami mau tutup, Mbak.” Ucap pemuda itu. Aku, gadis di hadapannya mengulet. Lalu terbangun.

“Ini kan malem minggu, Mas. Café ini tutup jam 12 malem kalau hari Minggu, kan?” kataku.

“Iya. Emang gitu, Mbak. Mbak pasti sudah hafal sama kebiasaan café ini ya?”
Aku tersenyum, bahkan aku belum tahu betul siapa pemuda yang mengajak bicara ini.

“Tunggu… saya kenal suara mas…” aku mengucek mataku yang masih sembab, “Kamu… Orion??”

“Iya. Ini aku, Rin. Kamu… apa kabar?”

“Hai…”

Hai selamat bertemu lagi
Aku sudah lama, menghindarimu
Sialku lah, kau ada di sini…

“Darimana… kamu tau aku di sini?” suaraku terdengar serak. Bodoh! Seharusnya aku tidak boleh terlihat sebegini kacau di depan orang ini. Aku berdiri, bermaksud meninggalkan Orion, tapi tubuhku terhuyung, menangis seharian tadi telah membuat kepalaku begitu pening. Aku merasakan Orion menopang tubuhku. Lalu membantuku duduk lagi.

Sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernafas lagi
Tegak berdiri di depanmu kini

“Kamu sakit?”

“Sakit? Kamu tanya aku? Kamu yakin kamu perlu tanya, hah? Orion?”

“Arinda… aku tanya baik-baik…”

“Berhenti panggil namaku dengan nada begitu! Kamu nggak seharusnya ada di sini sama aku. Kita kan udah 
nggak ada apa-apa.”

“Arinda, kita pulang ya? Kamu sakit…”

“Sakit? Oh, iya sakit! Di sini…” aku menunjuk dadaku, tempat yang memang terasa begitu sesak sekarang ini.

Sakitnya, menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati

 “Mana Leia? Kamu sembunyiin di mana dia? Kalian pasti dateng berdua kan? Oh Tuhan! Ini malem Minggu! Apa? Ngedate? Ternyata emang dia, ya…”

Orion mengambil sesuatu di saku jaketnya. Selembar surat dengan amplop cokelat dan pita merah di ujung penutupnya. Hei, itu kan…
Aku merebut surat itu darinya, “Darimana kamu dapet ini?!”

“Sudahlah, Rin. Aku udah baca semuanya. Sekarang aku faham apa maksud kamu… aku tau aku salah, kamu lebih peduli aku, jauh dari yang aku kira…”
Air mataku merebak, mengingat isi surat itu. Dan betapa menyedihkannya aku sekarang.

“Kamu puas? Dulu, segimana kamu nunjukin kesalahan-kesalahanku tanpa kamu tanya dan minta penjelasan dari aku? Tanpa sedikitpun kamu aku kasih kesempatan kedua? Aku.. cuma kamu anggep rongsokan…”

“Arinda, kamu salah…” Orion meraih tanganku, tapi, buru-buru aku tepis.

“Begitu kamu tau, Leia juga balas perasaan kamu ke dia, dulu. Kamu lepas aku gitu aja. Kamu buang… apa itu namanya bukan rongsokan?”

“Aku nggak maksud begitu, Arinda.. kamu harus dengerin penjelasanku…”

“Apa waktu itu kamu kasih aku waktu untuk ngejelasin semuanya? Atau, kamu ninggalin aku di kelas sendirian, dan langsung ke lapangan basket karena di sana ada Leia?”

“Ini semua nggak ada hubungannya sama Leia, Rin!” pemuda di hadapanku ini mulai meninggi nada bicaranya. “Ok, aku minta maaf soal kejadian sebulan yang lalu, aku emang udah capek sama kamu, Rin. Itu pun karena aku nggak tau bahwa kamu nyiapin semuanya. Kalau bukan karena surat itu, mungkin aku masih jadi orang terbodoh sedunia sampai detik ini juga.”

Aku menyusut air mata, hal yang belum pernah aku lakukan sendiri karena selalu ada Orion yang melakukannya.

“Sekarang, izinin aku buat minta maaf, Rin. Aku menyesal, dan aku…”

“Aku udah nyerah, Ri. Upayaku buat tahu diri selama ini, ternyata nggak selamanya berhasil. Aku udah coba buat menghindari kamu. Tapi, sialnya, kita masih sering ketemu kan? Sering ketemu, tapi nggak pernah bersama. Jadi, lebih baik kamu pergi, atau cukup aku aja yang pergi. Menghilang dari kamu…”

Dan upayaku tahu diri
Tak selamanya berhasil
‘pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah
Menghilang saja lah lagi

“Arinda, please maafin aku… aku masih sayang sama kamu, Rin. Leia nggak ada apa-apanya dibanding kamu. Rasaku ke kamu nggak pernah berubah. Aku mau kita balik kaya dulu…”

“Maaf, Ri. Kita udah pernah pisah. Dan selamanya akan begini. Aku terlanjur sakit hati, Ri. Kalaupun kita emang takdir, kita pasti bersatu lagi, tapi bukan sekarang. Dan bukan kamu yang meminta, juga bukan aku." pandangan mataku kabur, menahan air mata untuk tidak menetes lagi, ternyata sebegini perih.

"Makasih buat dua tahun terakhir yang kita habisin berdua. Semoga kamu dapet pengganti yang lebih baik dari aku.”
Aku tersenyum, secara tidak sadar, aku memainkan jari-jariku menelusuri tepian gelas cappuccino yang tadi kupesan. Bibirku perlahan menggumam.

“Leia itu.. cantik, baik, dan supel. Dia pasti cocok kalau bersanding sama kamu. Kamu juga sempurna… dulu, bagian yang paling aku suka adalah mandangin wajah kamu. Tapi, sekarang, lebih baik kamu nggak ada di sini, daripada aku harus keracunan candumu. Hahaha…”

Orion diam mendengarkan orasiku, aku memang sudah tidak waras malam ini. Biarkan asal aku puas.

“Kita yang kemarin itu seumpama cerita di negeri dongeng ya, yang selama ini cuma jadi khayalan, aku kira endingnya bakal bahagia. Ternyata malam ini kita ketemu di sini dan dalam keadaan begini.”

Bye, selamat berpisah lagi
Meski masih ingin memandangimu
Lebih baik kau tiada di sini
Sungguh tak mudah bagiku
Menghentikan segala
Khayalan gila, jika kau ada
Dan kucuma bisa meradang menjadi yang di sisimu
Membenci nasibku yang tak berubah

Aku menyalakan handphone-ku, sesaat setelahnya belasan sms masuk, termasuk beberapa notification miscall.
“Hallo? Iya, Cika… ini mbak Arinda. Kamu jemput mbak ya. Di depan Latte Café. Ok. Mbak baik-baik aja.”

Dan upayaku tahu diri
Tak selamanya berhasil
‘pabila kau muncul terus begini
Tanpa pernah kita bisa bersama
Pergilah
Menghilang saja lah lagi..

***

Dari Arinda Kanya untuk seseorang yang sudah dua tahun ini menggamit lengannya, Orion Sahel..
Happy birthday, sayaaang…. Selamat 18 tahuuun…
 
Gadis manis ini sengaja bikin surprise buat kamuu.. jadi jangan heran kalau aku diemin kamu seminggu ini yaa… haha, semua itu demi kejutan yang aku buat. semoga suka sama scrapbooknya ya, sayaaang.. love you…
 
Oiya, aku minta maaf, Ri… aku mungkin nggak sesempurna Leia yang emang jadi cinta pertama kamu. Aku masih sering cemburu waktu kalian kerja bareng di rapat OSIS. Bodoh ya? Sehebat apapun dia, toh aku yang dapetin kamu, kan? Harusnya aku bersyukur jadi orang yang kamu pilih.. Aku minta maaf, ya Orion. 

Kesalahan-kesalahan yang beberapa hari lalu kamu bentak ke aku, udah aku catet rapih di diary aku, aku janji, nggak akan ngulangin lagi. Aku peduli sama kamu, Orion. Lihat aja ke scrap book ini, semua benda yang berhubungan sama kita, sekecil apapun aku tempel di sana. Love you, Orion Sahel.
 
Dariku, Arinda Kanya.

***

Berkali-kali kau berkata, kau cinta tapi tak bisa
Berkali-kali ku tlah berjanji…
Menyerah…

2 komentar:

  1. Kak ceritanya keren. aku suka loh sama pemilihan kata-katanya :) kita lanjut lagi yuk kak

    BalasHapus
  2. hehehe... makasih dek.. ayok sf ke 5 apa nii?

    BalasHapus