Sabtu, 11 Mei 2013

Ruang Nostalgia (Songfiction Terjebak Nostalgia - Raisa)

Ruang Nostalgia

Jari-jari lentik milik seorang gadis bergerak memutar-mutar lensa kamera besar yang dibawanya. Mata indahnya membidik objek-objek yang yang menarik perhatiannya. Ia jatuh cinta pada sebuah objek. Yaitu sebuah lukisan seorang laki-laki yang memiliki pahatan rahang yang tegas, menciptakan garis yang saklek. Tetapi, dari pancaran mata sosok di dalam lukisan itu, terpeta jelas, bahwa siapapun pelukisnya ingin menunjukan ekspresi khawatir dan penuh kasih sayang dari seorang pemuda kepada orang yang dicintainya. Gadis pembawa kamera itu jadi teringat sesuatu. Ia merasa pernah menyaksikan ekspresi itu sebelumnya, ekspresi sosok di dalam lukisan itu.
Jejariannya mengusap perlahan kanvas berukuran 100x80 cm itu, kelopak matanya terpejam. Ia belum pernah sebegini jatuh hati pada lukisan. Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, mengerjap perlahan lalu menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi ia mengingatnya. Kemudian, ia memutuskan untuk mengabadikan lukisan itu lewat kamera DSLR nya. Beberapa gambar diperolehnya.

“Hai…” seseorang mengejutkan sang gadis, seorang pemuda dengan kamera DSLR di tangan, berdiri di sebelahnya. “Loe pasti anak fotografi, kan?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh sang gadis.

“Haah, akhirnya gue nemuin spesies gue di sini. Loe tau dari tadi Cuma ada pelukis-pelukis gondrong di sini, dan gue ngerasa jadi alien yang nentent-nenteng benda beginian, sementara mereka bawa kayu dengan bulu-bulu di ujungnya.” Cicit pemuda itu sambil menunjukkan kameranya. Tapi, gadis di hadapannya itu tidak bergeming, membuatnya jadi canggung.

“Ehm… gue… Dega. Fotografi 2013. Loe juga angkatan 2013?”
Lagi-lagi sang gadis hanya mengangguk.

“Nama… loe?” tanya Dega lagi kali ini sambil mengulurkan jabatan tangan.

“Arinda. Arinda Kanya.”
***

 

Pertemuan pertama. Ya, di sebuah pameran lukisan Universitas Indonesia, Dega dan Arinda pertama kali saling bertemu dan berkenalan. Seminggu setelahnya, mereka bertemu lagi di ruang cetak foto film. Yaitu, ketika Dega menjumpai gadis mungil itu yang sedang diam-diam mencetak hasil fotonya yang menggunakan kamera manual. Kemudian, karena sering terlibat dalam perkumpulan mahasiswa fotografi, mereka jadi semakin akrab. Tak ayal jika banyak orang yang salah mengira mereka berpacaran.
‘Cklik!’ lampu bleach dari sebuah DSLR mengerjap memantul pada kaca mata seorang gadis yang sedang sibuk mengelap lensa kameranya.
“Stop, Ga… mau sampe kapan kamu ambil fotoku terus-terusan?” omel sang gadis, Arinda.
“Sampe kamu nggak cuman diem aja kaya sekarang ini.” Jawab Dega sambil mengamati hasil jepretannya.
“Kamu mau aku lari-lari muterin lapangan ini sambil bawa pom-pom?”
“Kalo emang Cuma itu pilihan lain selain ‘diem’, silakaaan....” goda Dega.
“Ish!” Arinda menoyor bahu Dega, pelan.
Pemuda di sebelah cewek jutek itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian mengeluh lapar.
“Sebentar lagi kelas kita mulai, Gaa…” larang Arinda.
“Ayolah please.. telat sepuluh menit masih nggak masalah kan? Lagipula, hari ini Cuma kelas filsafat kan, Rin? Nggak pentiing…”
“Tapi, Ga…”
“Ah ayooo… lamaa…”
Dega menarik paksa tangan Arinda menuju kantin kampus. Melahap gorengan hangat atau minum Milo panas agaknya menjadi pilihan utama di cuaca yang dingin dan lembab di musim hujan begini. Benar saja, langit mendung yang sedari tadi menggantung di langit Kota Jakarta menumpahkan segala bebannya ke ranah bumi. Hujan pun mulai deras, padahal jarak antara kantin ke Gedung Jurusan Fotografi cukup jauh, dan mustahil untuk tiba di sana tanpa kebasahan.

“Ya ampuuun, aku nggak mau alfa ya di mata kuliah kali ini…” gumam Arinda, “gara-gara kamu sih!!”

“Loh? Kenapa jadi nyalahin aku? Kamu juga ikutan nyomot risoles dua biji yaa.. berarti kamu juga ikutan
salah kalo kali ini kita bener-bener musti alfa.”

“Yang narik tanganku kan kamu!”

“Tapi kan kamu juga butuh! Makanmu aja kaya macan kelaperan gitu…”

“Heh enak aja! daripada kamu! Apa tadi? Bakwan, risoles, nasi goreng dua piring? Dasar gorilla!”

“Gorilla nggak makan nasi goreng, yaaa…”

“Bodo amat! Yang jelas kamu bikin aku alfa!”

“Aku juga alfa ya, Non!”

“Tapi kan…”

“Mas, mbak?” suara ibu kantin menghentikan pertengkaran mereka, “kalau mau berantem jangan di sini,
kasian yang pada makan…” ujar bu kantin begitu sabar.

“Ma.. maaf, Bu…” jawab mereka berdua bersamaan. “Kamu siiih…”

“Eh kamu yaa…”

“Sudah-sudah. Ini pake ini dulu aja, Mas, Mbak…” bu kantin menyodorkan sebuah payung kecil yang
lumayan cukup untuk berdua.
Alhasil, Arinda dan Dega berpayungan berdua menuju ke gedung fotografi, walaupun payung itu tidak cukup berguna, karena baik Arinda maupun Dega tetap saja kebasahan, tapi, tawa Arinda yang berkali-kali muncul menghiasi wajah tirusnya mampu membuat hati Dega berdesir. Ia paling suka bagian itu. Gadis ini, selalu terlihat cantik dalam keadaan apapun, tapi lebih sempurna saat tertawa. Dalam hati ia bersyukur, telah menjadi pencetak tawa itu.
***

Dega membuka perlahan pintu kelas. Tentu saja ia dan Arinda terlambat. Pak Gede mengernyitkan kening melihat dua orang yang basah kuyub itu, sedang mahasiswa lain justru tertawa, malah ada yang ber-ciye-ciye.

“Kalian satu kost?” tanya Pak Gede, dosen filsafat asal Bali.

“Nggak lah, Pak. Kami Cuma sama-sama dari kantin dan kehujanan. Maaf terlambat, Pak.” Jawab Arinda
diamini oleh Dega.
Pak Gede membetulkan kaca matanya, lalu berdehem, “Oke. Saya maafkan. Masuk dan ikuti mata kuliah saya. Masih ada lima belas menit.”
Dega dan Arinda masih cekikikan. Selama perjalanan ke sini, tadi, mereka mencoba berbalas pantun, dan pantun-pantun dari Dega selalu membuat Arinda terbahak-bahak.

“Saya mulai lagi membaca bukunya. Jadi, buat yang baru saja datang, saya akan membacakan sebuah paragraf dari buku yang berjudul Nostalgia Cinta.”
Dega tersenyum, ia merasa pelajaran filsafat kali ini akan sedikit lebih menyenangkan karena berbau-bau romansa. Tapi, kontra dengan Arinda, gadis itu justru terlihat malas-malasan sambil menopang dagu.

“Adalah nostalgia. Sebuah frasa yang mewakili sederetan kenangan yang kembali sengaja dikenang. Adalah hari ini yang bercerita tentang kemarin. Adalah jemari yang menyusun puing-puing masa lalu. Sederhana. Sejurus pandang saja, mata manusia mampu menyeret akal pikiran dan hati menuju saluran lain yang membawa mereka ke dalam alam kenangan. Dan gemuruh perasaan yang lama terkubur itu pun, akan mengapung lagi di permukaan. Saat itu manusia memejamkan matanya. Merasakan serpihan kenangan, potret, sentuhan bahkan aroma yang pernah dihirupnya dulu kala. Dan bila saat itu tiba, itu lah nostalgia. Ruang nostalgia. Dikatakan sebagai ruang, karena akan ada yang terjebak di sana nantinya. Mereka yang kehilangan arah karena merasa begitu rindu dan…”
‘SREEKK!’ suara meja digeser terdengar, menghentikan Pak Gede yang masih membaca, bahkan menghentikan aktivitas mahasiswa lain yang masih menikmati bahkan hingga memejamkan mata. Seorang gadis keluar dari tempat duduknya. Dega terkejut, mendapati Arinda maju ke depan, berbicara sebentar dengan Pak Gede lalu berlalu meninggalkan kelas. Ada apa dengan gadis itu.

“Baik semuanya, waktu mengajar saya sudah habis. Tugas Anda adalah mengumpulkan foto hasil jepretan Anda sendiri tentang seseorang yang membuat Anda hampir terjebak ke dalam nostalgia. Berikan narasi minimal tiga paragraf untuk tambahan nilai bahasa. Dan kumpulkan minggu depan, di meja saya. Terima kasih.”
***

“Arinda!!” panggil Dega kepada gadis yang sedang menuju parkiran dengan sangat terburu-buru. Tanpa ia ketahui, gadis itu sedang kepayahan menyusut air matanya. “Arinda!”
Skakmat, Dega berhasil menarik lengan Arinda dan menatap wajah gadis itu lekat-lekat. Ada bekas air mata di sudut matanya.

“Kamu… ada apa? Kamu nangis?” tanya Dega. Tentu saja Arinda menutupinya dengan gelengan.

“Kita ke Latte Café ya? Mau? Aku traktir kamu asal kamu mau cerita.”

“Maaf, Ga. Aku butuh sendirian.”

“Tapi…”

“Please…”
Dega sama sekali tidak mengerti dengan gadis ini, baru saja ia menyaksikan senyuman yang maha manis dari bibirnya, tapi sekarang, gadis ini sangat jelas terlihat menahan kelopak matanya untuk tidak menangis. Tapi kemudian ia mengiyakannya.

“Ok… aku Cuma mau kasih tau tugas dari Pak Gede. Nanti aku kirim sms aja.”

“Iya… makasih…”


Arinda berbalik dan menghilang di balik mobil parkir, meninggalkan Dega yang berdiri mematung kebingungan. Apa ia melakukan kesalahan??
***

Layar laptop Arinda memutar screen saver berupa slide show foto-fotonya dengan Dega ketika mereka hunting foto ke sebuah padang ilalang. Arinda terlihat begitu ceria di sana, dengan dress floral dan rambut yang dikucir asal-asalan tapi tetap manis. Berbagai ekspresi ditunjukannya ke kamera yang dikendalikan Dega.

Arinda selonjor di sofa biru di sudut kamarnya, ia melihat-lihat foto dari DSLR-nya, melihat hasil jepretannya belum-belum lama ini. Dan jari-jarinya berhenti menekan tombol next ketika foto menampilkan gambar seorang laki-laki di balik kaca jendela café yang cukup lebar. Di hadapan pemuda itu duduk lah seorang gadis dengan mata sipit yang terlihat begitu cantik dengan blus birunya. Mereka berdua saling berpegangan tangan, sambil tersenyum. Sang gadis bahkan sedikit tertawa dan terlihat begitu bahagia.
Apakah ini adil? Aku di sini bahkan belum melupakanmu barang semenit pun. Tapi ternyata kamu sudah bahagia di luar sana. Dengan seorang gadis yang menyayangimu tentunya.  Aku menyedihkan bukan?
Ponsel Arinda bergetar, ada pesan masuk dari Dega yang memberitahunya tentang tugas dari Pak Gede, tadi. Foto tentang nostalgia. Great! Arinda menggigit bibir bawahnya, merasakan air matanya merebak lagi. Ia yakin benar, apa yang akan ia kumpulkan sebagai tugasnya, nanti.

***

Seminggu berlalu begitu hampa, bagi Dega. Gadis yang selama ini berjalan di sampingnya seperti menjaga jarak dengannya, sekarang. Arinda sering datang terlambat di kelas, lalu pulang lebih awal, kemudian berujung pada Dega yang kehilangan jejak gadis itu dan menunggu esok hari untuk menemuinya, tapi ternyata hal itu berlangsung terus-menerus hingga hari ini. Dega tak tahan lagi. Benar apa yang pernah dikatakan Pak Gede pada pelajaran filsafatnya dulu, bahwa orang yang berharga adalah orang yang saat ia hilang, kau akan merasa ada yang kurang. Dan bagi Dega, kalimat itu semakin memperkuat perasaannya selama ini. Dega bukan hanya menaruh rasa kagum maupun sayang dengan gadis bernama Arinda itu. Tapi, entah zat candu serupa apa yang digunakan Arinda, hingga Dega merasa sakau tanpa sosoknya. Berkali-kali Dega berpikir, benarkah ini yang selama ini dia rasakan? Dega jatuh cinta pada Arinda.

***

Suara bel rumah Arinda terdengar nyaring hingga ke kamarnya. Arinda mengirim sms untuk adiknya yang sedang berada di halaman belakang, untuk membukakan pintu.

“Iyaaa! Udah dengeeer!!” teriak sang adik dari bawah, menjawab sms kakak perempuannya.

“Siapa?” tanya Cika, adik perempuan Arinda.

“Aku Dega, temannya Arinda. Dulu aku pernah ke sini antar tas kamera kakakmu, masa lupa?”

“Oh, yang waktu itu… ada perlu apa?”

“Kakakmu ada?”

“Mbaaak Arindaaa! Ada tamuuu!”

“Siapaaa??” jawab Arinda dari lantai dua.

“Mas Degaa!”

Arinda terbangun dari kasur. Untuk apa orang itu datang ke rumah?? Buru-buru ia meraih cardigan abu-abunya lalu mengganti celana hotpants-nya dengan jeans panjang. Kemudian, langkah gontainya mulai menuruni tangga.

“Tunggu di sini, ya Mas Dega. Jangan coba-coba buat masuk!” larang Cika yang dibalas anggukan pemuda
itu sambil menahan heran.
Sesaat kemudian, Dega melihat sosok itu berjalan lunglai, tapi tetap saja tidak mengurangi kecantikan wajahnya. Semoga ini saat yang tepat.

“Ada apa?” tanya gadis itu.

“Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Ada yang mau aku bicarain.”

“Di sini aja.”

“Ayolah, Rin… berhenti anggap aku invisible. Aku kehilangan kamu selama seminggu ini. Aku Cuma mau bicara sebentar, aku janji bakal nganter kamu pulang lagi.”
Arinda menunduk, ia menoleh ke adiknya yang menyembul dari pintu belakang. Cika mengangguk. Dan Arinda pun sama.

***

“Jadi… hal penting apa?” tanya Arinda seusai mereka berdua tiba di sebuah padang ilalang yang dulu pernah mereka datangi. Langit kemerahan karena senja menjadi pemandangan yang terhampar luas di hadapan mereka. Menyelimuti dengan bentuk bulat mirip mangkuk. Seakan dua insan yang sedang duduk di sebuah bale-bale itu hanyalah dua ekor ikan hias di dalam akuarium.

“Kaya yang udah aku bilang tadi, Rin… aku kehilangan kamu…” ucap Dega perlahan tapi pasti.

“Aku nggak kemana-mana, Ga. Aku Cuma sibuk buat tugas Pak Gede. Kamu mah enak udah ngerjain dan udah selesai, nah aku? Hahaha!” Arinda tertawa, sudut mata Dega tau, itu bukan tawa Arinda yang biasanya. Ada sedikit nada memaksa di sana.

“Bohong.” Ucapan Dega cukup membuat Arinda menelan ludah, “sejak kejadian hari itu, kamu bener-bener menghindar dari aku, Rin.”
Arinda memejamkan matanya, ingin sekali ia berteriak ‘iya’ kepada pemuda di sebelahnya itu. Iya, Arinda memang benar-benar bermaksud menjaga jaraknya dengan Dega sekarang. Apalagi kalau bukan sosok yang menghantui benak Arinda akhir-akhir ini. Ah, tidak, sosok itu memang selalu ada di pikiran Arinda, tanpa abesn sedikit pun.

“Aku… udah lama nahan semua ini, Rin. Aku nggak bisa Cuma jadi sahabatmu.”
Arinda terkejut. Ditatapnya bola mata berwarna gelap milik pemuda itu.

“Maksud kamu?”

“Kamu tau maksudku, Rin. Aku yakin kamu tau.”

“Dega, aku…”

“Aku sayang sama kamu.”

Telak. Kalimat itu sudah terlanjur meluncur dari bibir Dega. Kalimat yang entah mengapa tidak berpengaruh
apapun bagi Arinda sejak kurang lebih dua tahun yang lalu. Arinda, perlahan tapi pasti, menggelengkan kepalanya.

“Kamu nggak seharusnya bilang itu ke aku. Kamu salah…”

Kening Dega bertaut, “Apa maksud kamu? Apa kamu pikir aku bercanda?” Dega membetulkan posisinya, kini ia tepat berhadapan dengan Arinda, “Aku sama sekali nggak salah, Rin. Aku serius sama yang aku bilang tadi. Awalnya, aku emang Cuma anggap kamu sahabat aku, sejak pertama kali kita ketemu di pameran waktu itu, dan semua memang berjalan seperti itu, sampai kamu ninggalin aku selama seminggu ini, dan aku merasa ada yang salah. Aku merasa ada something losts di sini…” Dega menunjuk dadanya.

“Tapi Dega, aku Cuma anggap kamu sahabatku. Nggak lebih. Dan kamu mencintai orang yang salah.”

“Nggak, Rin…”

“Iya. Aku… nggak bisa nerima cinta kamu, Ga. Maaf. Lebih baik, kamu jauhin aku.”

Arinda berdiri, bermaksud meninggalkan Dega di padang ilalang itu. tapi kemudian tangannya ditarik lagi.

“Aku cinta kamu dan aku nggak peduli.”

***

Malam itu berakhir dengan Dega yang mengantar Arinda pulang. Gadis itu berkali-kali menghapus air matanya. Dan adik gadis itu faham betul apa yang telah terjadi.

“Aku… aku minta maaf. Sedikit pun aku nggak nyakitin kakak kamu tadi. Kami Cuma jalan-jalan ke padang ilalang, duduk di bale-bale dan…”

“Dan Mas Dega nyatain perasaan ke Mbak Arinda?” tebak Cika.
Dega terkejut, adik sahabatnya itu mengapa bisa menebak apa yang terjadi tadi.

“Gimana… kamu tau, Cik?”

“Pemuda kaya Mas, udah berkali-kali Cika temuin.”

“Maksud kamu?”

“Sebelum ini, Cika pernah ngalamin kejadian yang sama. Waktu Mas Galih, temen SMA Mbak Arinda
nganter Mbak Arinda yang nangis. Persis sama kaya sekarang.”
Dega semakin tidak menegerti, “Sebenernya, apa yang terjadi? Maksudku, sebenernya ada apa sama Arinda, Cik?”

Cika menghela napas, bayangan kakaknya muncul dalam pejaman matanya, “Entahlah, Mas. Mbak Arinda jadi irasional sejak dua tahun terakhir. Apapun yang dialaminya berakhir dengan tangis. Dia berubah jadi sentimental sejak…”

“Cikaaa!!!” suara Arinda menggema dari lantai dua rumah itu.

“Ah, Mas… mending sekarang Mas Dega pulang ya…”

“Tunggu Cik, cerita kamu belum selesai.”

“Lain kali ya, Mas. Atau lebih baik Mas tau dari Mbak Arinda sendiri…”

“Tunggu!” Dega mencegah Cika yang baru akan menutup pintu, “bilang ke kakak kamu, perasaan aku ke
dia, nggak pernah salah.”

Pemuda itu berbalik, lalu berlalu meninggalkan Cika di ambang pintu. Berkali-kali ia mendesah, memikirkan nasib kakak perempuannya, dan siapapun pemuda yang telah ditolak olehnya.

***

Dega selesai menata semuanya. Ia tidak mau begitu saja menyerah dalam memperjuangkan cintanya. Semalam tadi, ia tidak bisa tidur karena memikirkan gadis itu. bahkan di sela perjuangannya memejamkan mata semalam, suara gadis itu terdengar, bahkan terngiang. Suara penolakan yang terdengar begitu menyakitkan.

Sekali lagi, pemuda itu memperhatikan sekitar, bibirnya mengucapkan pengharapan, semoga Arinda bersedi amembuka hatinya setelah melihat apa yang ia perjuangkan dalam semalam itu.

“Ini untukmu, Rin. Aku mencintaimu.”

***

To: Arinda Kanya
Temuin aku di ruang cetak foto sekarang, Rin. Penting. Kayanya semalem ada maling yg masuk ke ruang cetak.

Bola mata Arinda terbelalak membaca sms dari Dega. Apa katanya? Maling? Astaga! Arinda meninggalkan computer tabletnya di ruangan itu. Jangan-jangan dicuri!
Arinda membatalkan maksudnya untuk mengumpulkan tugas ke Pak Gede, kemudian mempercepat langkah menuju ruang cetak foto.

“Dega!” teriak Arinda setibanya di ruang fotografi. setelah meletakkan map tebalnya, ia pun memasuki ruang cetak foto yang memang berada di ruangan itu.

“Dega laptopku!” Arinda mendapati Dega yang berdiri sambil memandangi sebuah foto, sementara ruangan masih remang-remang tanpa cahaya lampu. Hanya sebuah lampu bohlam kuning tepat di hadapan Dega.

“Ini… siapa Rin?” tanya Dega, menunjukkan foto seorang pemuda dengan seragam SMA disamping foto Arinda.

Arinda melotot, lalu meraih foto itu dari tangan Dega, “darimana kamu dapat ini?!”

“Jadi bener itu milik kamu? Siapa? Pacar? Jadi dia yang bikin kamu nolak aku semalam?”

“Dega! Berhenti campuri urusan aku! Siapapun dia, kamu nggak perlu tau!”


“Aku perlu tau, Rin! Aku sayang kamu!”

Dega membentak. Lalu mencengkeram kedua bahu Arinda dengan begitu kuat.

“Terserah kamu mau bilang apa, aku tetep sayang sama kamu. Dan aku nggak akan berhenti mencintaimu sebelum kamu ngasih tau siapa cowok yang ada di foto itu dan apakah dia pacar kamu atau bukan.”

“Dega lepasin aku…” rintih Arinda yang mulai menangis.
Dega melepaskan tangannya, lalu berkali-kali mengucap maaf atas apa yang baru dilakukannya.

“Kuharap, kamu mau berubah pikiran setelah lihat ini, Rin…” Dega menekan saklar, menyalakan lampu. Dan Arinda mengerti apa yang dimaksud Dega.

“Dega, ini…” bola mata Arinda membelalak. Ia berjalan mendekati dinding, dimana di sana tertempel ratusan foto potret dirinya dalam berbagai pose. Bukan hanya di satu sisi dinding, melainkan di semua sisinya. Foto yang keseluruhannya diambil oleh Dega dengan kameranya, baik secara sengaja maupun foto candid. Arinda mencabut sebuah foto, foto yang pertama kali diambil Dega yaitu di pameran lukisan dulu.

“Untuk apa kamu… semua ini…?” tanya Arinda masih terbisu.

“Untuk buktiin ke kamu, betapa aku serius sama perasaan aku, Rin.” Dega menggenggam tangan Arinda, keduanya. Mencoba mengalirkan perasaannya yang membuncah dan hampir tidak dapat ditahannya lagi itu, agar dapat membaginya dengan gadis mungil di hadapannya itu.
Arinda memejamkan kelopak matanya kuat-kuat. Ia bukan gadis bodoh yang mau dengan sia-sia menolak kasih sayang pemuda yang mencintainya begitu dalam ini. Tapi, ia juga dalam perjuangannya menghapus sebuah bayangan di batok kepalanya. Dan entah kali keberapa, bayangan itu selalu menang. Arinda menggeleng.

“Nggak, Ga.” Dilepaskannya genggaman Dega. “Aku nggak mau kamu ada di hidupku hanya untuk sebuah pelampiasan. Atau sebuah kamu yang terselimuti bayangan. Aku nggak mau menyia-nyiakan hidupmu hanya untuk cintaku yang telah lama kubuang untuk orang yang salah.”

“Siapa dia, Arinda?”

“Kamu… nggak akan mengerti. Aku emang bodoh, Ga… aku terjebak… di dalam nostalgiaku sendiri…”

Telah lama, kutahu engkau punya rasa untukku
Kini saat dia tak kembali
Kau nyatakan cintamu

Aku aku takkan pernah bisaku

Takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Kuterjebak di ruang nostalgia

Semua yang kurasa kini, tak berubah sejak dia pergi
Maafkanlah kuhanya ingin sendiri ku di sini

***

Dega berdiri mematung. Untuk kedua kalinya, usahanya meyakinkan Arinda, gagal sudah. Gadis itu baru saja meninggalkannya di ruang fotografi, sendirian. Sambil menangis. Dega memijit tengkuknya yang sudah sangat lelah. Semalaman ia tidak tidur, hanya demi menyiapkan ratusan foto dan menempelkannya satu persatu di dinding ruang cetak. Hanya demi meyakinkan gadis pujaannya akan cinta tulus yang ia punya. Dan betapa menyedihkannya ia, menerima penolakan… lagi.

Takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Kuterjebak di ruang nostalgia

Pandangan mata Dega beralih ke sebuah tumpukan map di meja kecil di dekat pintu masuk ruang fotografi. Map berwarna peach yang sama sekali tidak asing bagi Dega. Milik Arinda.

Dia. Sosok yang belum pernah lepas dari ingatanku. Dia. Yang pernah mengisi kekosongan hatiku. Dan meracuni otakku untuk selalu berkata ‘tidak’ di setiap kalimat selamat tinggal darinya.

Dia. Sosok yang pertama kali menggenggam jari-jariku dengan begitu berbeda. Yang pertama kali memanggil namaku dengan nada yang begitu berbeda. Yang mengajarkanku untuk selalu tersenyum, meskipun semua orang menyakitiku, termasuk bila itu dirinya.

Dia. Sosok yang terlalu lama melekat, tapi terlalu cepat menghilang. Dia yang membuatkanku sekotak sangkar, lalu memasukkanku ke dalamnya. Dan setelah aku lama mendiaminya, baru aku tau, itulah ruang nostalgia darimu. Tempat dimana aku masih terjebak tanpa udara. Hingga hari ini, bahkan selamanya.

Takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Kuterjebak di ruang nostalgia

Tenggorokan Dega tercekat. Membaca tiga buah paragraf hasil tulisan tangan. Tanpa perlu ada nama di sana, pemuda yang masih berdiri mematung itu sudah yakin betul siapa yang menulisnya, dan untuk siapa. Di lembar kedua, Dega menemukan sebuah foto. Foto pemuda yang sama dengan yang ia temukan di ruang cetak foto. Di sudut kirinya bertuliskan.
Ini kamu, pujaan hatiku. Orion Sahel. Dan ini kamu, pemilik hatiku. Orion Sahel. Selamanya.
Pemuda bernama Dega yang masih berdiri itu… menyerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar