Sabtu, 18 Mei 2013

Memulai (Songfiction Kekasih Sejati – Monita)

Memulai (Songfiction Kekasih Sejati – Monita)
by: @lisa_nasi_damay

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau mebuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu

Pikiranku semakin kacau. Sekarang. Bukan hanya dia yang ada didalam pikiranku. Tetapi ada kamu, Gabriel yang mulai berkeliaran secara liar dikepalaku. Aku mulai mengacak-ngacak rambutku dan mulai menghempaskan tubuh di atas kasur.

Aku menghela nafas. Sudah lama aku menyimpan semuanya sendiri. Menyimpan perasaan ini. Mencintai dia dengan diam-diam. Dan sakitnya terasa dua kali lipat. Aku ingin marah ketika dia dikelilingi dengan perempuan yang lain. Tapi, siapa aku? Aku ini bukan siapa-siapa dia. Aku hanya temannya. Sudah itu saja tidak lebih.

Mungkin ini akibatnya, karena aku tidak membiarkan orang yang aku sayang tahu tentang perasaan ini. Sehingga aku terlambat. Terlambat, mengetahui jika dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku.

Aku merasakan sakit itu, pedih, pilu, ngilu itu. Tapi, aku sendiri juga menyakiti kamu. Iya, kamu Gabriel yang tak pernah bosan menungguku. Padahal, aku merasakan apa yang kamu rasakan.

Betapa jahatnya diriku ini. Mungkin, aku memang pantas diberi gelar sebagai tersangka yang telah menorehkan luka di hati kamu. emhh… ternyata setelah kuingat-ingat bukan hanya kamu. iya, di luar sana banyak lelaki yang selalu menatikan aku membuka pintu hatiku. Namun, sayang mereka tak segigih kamu yang terus-terusan berjuang mengetuk pintu hatiku.

Andaikan hatiku jatuh di kamu. Waktuku pasti tidak akan terbuang percuma hanya untuk memikirkan dia, Rio yang benar-benar akan menjadi milik Shilla.

Aku beranjak dari kasurku, lalu berjalan mendekat kearah meja yang terletak disudut kamarku. Membuka lacinya dan mengambil semua barang yang ada didalamnya tanpa tersisa. Tak lupa aku mengambil gunting yang tergeletak diatas meja itu.

Entah mengapa, tiba-tiba kakiku terasa berat untuk melangkah. Aku mulai terjatuh. Seperti anak kecil ketika terjatuh. Aku menangis pilu. Kali ini aku terjatuh bukan karena tersandung batu atau apapun. Tapi, karena kenangan itu kembali terputar. Aku berteriak histeris.

Ponsel mulai berdering dengan suara yang nyaring. Aku merogoh kantongku. Kulihat nama yang tertera di layar ponselku dan itu adalah… dia. Mengapa dia harus menghubungiku ketika aku sedang menangis karenanya. Aku mulai mengatur nafasku.

“Halo! Ini Nitify Clarissa Andita. Ada yang bisa aku bantu. Kalau enggak ada mending tutup aja. Udah malam nih, udah ngatuk. Mau bobo, bobo cantik hehehehe.” Aku tertawa. Iya, tertawa getir lebih tepatnya yang berlomba dengan isak tangisku.

“Kalau gitu saya ganggu kamu, ya. Maaf. Kamu boleh tidur sekarang,”gumamnya dengan nada suara datar.

“Aku bercanda, Rio.”

“Aku tahu itu. aku selalu tahu tanpa pernah kamu bilang sekalipun.”

Kalimat itu. Aku paling membenci kalimat itu. Aku merasa ini memang tidak adil untuku. Lalu, apakah dia tahu? Lagi-lagi aku menghabiskan malamku dengan menangisinya? Apakah dia tahu?

Aku semakin terisak. Meremas ujung baju dan menggigit bibir bawahku.

“Aku hanya menggingatkanmu. Bahwa kamu sudah berjanji akan hadir di hari istimewa saya dan Shilla. Kamu tidak lupakan?”tanyanya dengan nada suara yang terdengar senang.

Aku memejamkan kedua mataku dan menahan nafasku. “Aku tidak akan lupa, Kario Utama Perwira. Aku akan selalu memenuhi janjiku…”

“Oke, kalau begitu. Selamat malam Ify. Selamat tidur cantik,”godanya dan dia mulai memutuskan panggilan itu.

Aku semakin berteriak histeris, mengacak-ngacak rambut atau bahkan sesekali menjambaki rambutku sendiri. Tanganku yang lemas dan semakin bergetar ini mulai mengetikan pesan untuk sahabatku sembari melirik kearah gunting yang ada digenggaman tangan kiriku.

To: Sivia Ariza

Seperti apa yang kamu bilang, Vi. Aku akan melupakan segalanya dan mengakhiri segalanya. Selamat tinggal Nitify Clarissa Andita. Karena kamu tak akan menemuinya lagi. Sahabatmu…

Aku melempar ponselku secara sembarang. Ketika menatap gunting itu aku menelan ludahku. Aku mulai menggerakan gunting itu keatas. Ini pilihan yang terbaik. Aku tahu Sivia yang rumahnya disebelah rumahku langsung kemari jika membaca pesan itu. jadi, sebelum Sivia datang. Aku lebih baik melakukannya terlebih dahulu.

Aku meyakinkan diriku. Aku mulai memejamkan mataku. Menggerakan gunting itu semakin dekat… dan dekat.

“IFY BUKA PINTUNYA!”

Aku tahu itu suara Sivia dan aku tahu dibelakang Sivia sudah ada keluargaku dan keluarganya. Tapi, maaf Vi aku belum bisa membuka pintu itu sebelum aku melakukanya.

Gunting itu semakin dekat dan…. semakin liar bergerak. Tangisku semakin kencang dan aku semakin histeris. Aku menjerit kencang. Tak lama, kurasakan kepalaku semakin berat dan penglihatanku mulai tak jelas. Gunting itu terjatuh serentak dengan jatuhnya tubuhku. Aku berhasil. Dan pintu kamarku juga berhasil di dobrak.

Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa begini

***

Mataku mulai terbuka secara perlahan-lahan. Setelah itu, aku mulai mengedarkan pandanganku. Aku langsung menemukan Sivia yang sudah memasang tampang cemberut dengan kedua tangan yang disilangkan didadanya.

“Untung ya. Untung banget, kamu itu masih hidup ya. Kalau kamu ngelakuin hal gila kayak gitu lagi. Aku yakin kita gak bakal ketemu lagi. Dan kamu tahu, Fy? Aku akan menangis sejadi-jadinya,”ucap Sivia yang panjang lebar dan mulai berjalan mondar-mandir kayak gosokan. Aku tertawa kecil memperhatikan tingkah lakunya yang seperti ibu-ibu namun seperti anak kecil.

“kamu ketawa, Fy? Ngetawain kalau ini semua lucu, gitu? Apa-apaan coba kamu sms kayak gitu. Hahaha iya, ya lucu banget. Sampe-sampe bikin jantungan orang sekomplek. Puas?”

Aku tertunduk dan semakin tersudutkan. “Maaf, Vi. Maksud aku. Aku akan melupakan dia. Mengubur dia dalam-dalam. Aku akan memulai hidupku yang baru. Makanya untuk melupakan itu. aku harus melenyapkan semua barang yang pernah dia kasih ke aku. Dan hal yang paling utama itu, aku harus melenyapkan foto aku dan dia. Kamu tahu kan foto yang aku maksud?”

Sivia berhenti dari aktivitasnya. Menatapku dan mengangguk.

Iya, aku merobek-robek, mengoyakan foto itu dengan gunting. Foto yang diambil ketika aku dan dia ada di taman. Dia yang merangkul dan tetap memandang lurus kedepan. Sedangkan aku tersipu-sipu dan tertunduk malu. Kata Sivia ketika itu, semua orang juga tahu kalau aku menyukainya ketika melihat foto itu. Memang bodoh sekali aku ini.

“Oke, itu bagus. Tapi dengan tidak nge-sms-in aku dengan sok misterius gitu, Ngerti?”tanya Sivia dengan tersenyum menggoda. Aku mengangguk.

“Ya udah. Aku pulang dulu. Mau nenangi diri. Dan diluar sana sudah ada orang yang dari tadi cemas dan cerewetnya minta ampun melibihi nyakop aku dan mpok atik.”

Sivia dengan cepat menghilang. Tak lama, terlihat kamu yang sudah berada diambang pintu. Menghentikan langkahmu sejenak. Menatapku. Menyunggingkan senyuman. Dan mulai melangkah mendekatiku. Aku berusaha mengangkat tubuhku dan membalas senyumu.

“Gimana, Fy? Kamu baik-baik aja kan?”tanya kamu cemas dan telapak tangan kananmu langsung memeriksa keningku.

“Aku baik dan akan selalu baik-baik saja.”

“Kamu sedang terluka, Fy. Kamu sedang rapuh. Pelan-pelan, Fy jika ingin melupakannya. Kalau kau terburu-buru , luka itu bukannya mengecil tetapi malah bertambah besar. Dan aku tidak mau kamu terluka.”

Aku menatap matanya. Kemudian keheningan mulai menyelimuti suasana dikamarku. Aku dan kamu mulai beradu pandangan. Aku meraih lengan kanannya dan mencoba menjauhkan dari keningku.

Aku tersenyum tipis. “Jangan membuat aku semakin bersalah dengan segala perhatian yang telah kau berikan padaku. ”

“Kamu tidak perlu khawatir. Karena luka itu akan segera sembuh.”

Kedua alismu mulai beradu hingga membuat keningmu berkerut. Aku tertawa melihat air mukamu itu. dan jika kamu seperti itu kamu begitu mirip dengan… tidak! Kamu adalah kamu. dia adalah dia.

“Karena aku ingin memulainya bersamamu. Bantu aku, Yel. Aku ingin mencoba membuka hatiku untukmu. Maka itu, gak ada salahnya kan jika kita coba terlebih dahulu?”tanyaku sambil menatapnya mencoba meyakinkan.

“Kamu serius, Fy?”tanya kamu yang tak percaya. Senyum diwajahmu itu semakin mengembang. Aku mengangguk.

***

Hari ini, aku merasakan diriku yang tidak lagi terperangkap diantara sekat-sekat. Aku bahagia, aku senang. Karena ada kamu yang mau melalui hari-harimu bersamaku. Walaupun aku tak tahu, apakah dia benar-benar menghilang dari hatiku atau… entahlah.

Aku berjalan bersamanya ke Caffe yang biasanya aku dan dia kunjungi. Kamu sama sekali tidak keberatan. Namun, ketika pandanganku tertuju kesudut Caffe ini. Aku menahan nafas. Kamu menyenggol lenganku.

“Ada dia disudut sana. kamu mau nyamperin atau pura-pura tidak tahu?”tanyamu yang langsung mendapat jawaban dariku dengan melihat kalau akau mengankat bahuku.

“Sebaiknya kamu nyamperin dia. Lagian disitu juga ada Shilla dan… aku pastinya.”

Aku mengganguk dan menuruti langkahnya. kamu mulai berjalan mendekat kearah meja dia dengan mengandeng tanganku.

“Ify,”gumamnya sambil tersenyum tipis.

“Hai, Rio! Hai, Shilla. Kenalin ini Gabriel.”

Kamu mulai mengulurkan tanganmu dan langsung dibalas dia dan Shilla. Aku dan kamu mulai duduk.

“Gabriel ini siapa kamu, Fy? Pacar kamu?”tanya Shila sembari menaikan kedua alisnya dan menggodaku.

“kita teman kok, Shill.”

“Teman atau demen? Hahaha,”godanya sembari tertawa. “Oh ya, Yo. Aku ke toilet sebentar ya.” Dia hanya mengangguk.

“Kalian udah kenal lama?” akhirnya dia mulai membuka suara.

“Lumayan,”jawabmu yang langsung mengalihkan perhatian ke ponselmu yang sudah berdiring sedari tadi. “Bentar ya, aku angkat dulu.” Kamu segera menjauh.

Sekarang. Hanya aku dan dia yang tertinggal dan dia mulai menatapku. Aku menelan ludah.

“Kamu menyukainya? Tapi saya tak yakin kamu bisa secepat itu menyukainya dan secepat itu pula melupakan saya,”ceplosnya. Kerongkonganku langsung terasa tercekat.

“Jangan jadikan dia pelarian, Fy. kamu tak kasihan padanya? Saya tahu kamu cemburu pada saya. Jangan pernah mencoba untuk berbohong. Karena saya tahu segalanya tanpa pernah kamu bilang sekalipun.”

“kamu sok tahu. Aku tidak cemburu. Aku sudah mengikhlaskanmu. Lagian, aku sudah bilang tadi kan. Kalau aku dan dia hanya teman. Mungkin kamu yang cemburu padaku. Ayo, mengaku saja,”tandasku.

Dia mulai mendengus. “Kalau saya bilang saya cemburu apa kamu mau menjauhinya? Lalu, membuat lukamu semakin besar? Maaf, saya tidak sejahat itu. maka itu saya akan bilang kalau saya tidak cemburu padamu. Kamu bilang dia temanmu. Tapi, dia berharap lebih, Fy.”

Tuhan. Aku benar-benar membencinya. Karena dia selalu membuatku merasa bersalah. Dan karena dia selalu membuat aku tersudutkan. Aku menghela nafas. Sesak.

“Justru aku senang. Karena sepertinya dia lebih baik dariku dan lebih pantas jika bersamamu. Aku akan selalu mendoakanmu. Aku yakin kamu akan baik-baik saja.”

Kamu mulai duduk kembali disampingku sembari melempar senyum kerah dia. Lalu, Shilla juga kembali. Aku sama sekali tak mengerti ini semua.

Dia mulai beranjak ketika Shila membisikannya sesuatu.

“Pokoknya kamu harus datang ya, fy. minggu depan nanti,”pintanya yang langsung mengacak-ngacak poniku.Ternyata dia masih mengingatkanku. Aku mengangguk. Dia mulai berjalan pergi.

“Kamu dateng aja. Gak perlu bingung kamu bisa nginep dirumah aku, Fy. pokoknya harus datang ya. Aku gak mau lihat Rio yang terus-terusan manyun hehehe. Dah! Sampai ketemu di Bandung,”timpal Shilla sembari melambaikan tangannya dan menyusul dia dengan berlari kecil.

Oh mungkin aku bermimpi menginginkan dirimu
Untuk ada di sini menemaniku
Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku
Semoga tak sekedar harapku

***

Aku tidak tahu dengan apa yang aku rasakan sekarang. Menangis atau tersenyum tapi dalam hati meringis. Aku sama sekali tidak tahu. Sekarang mobil ini sudah memasuki kota Bandung. Dan sekarang… adalah hari dia dan Shilla. Aku menghela nafas sembari menatap kamu yang terus menyetir.

Ponsel terus-terusan berdering. Aku tahu siapa yang menghubungiku. Ya, itu pasti Sivia yang udah berkoar-koar. Karena acaranya akan dimulai. Acara dia dan Shilla. Sivia memang lebih dahulu ke Bandung karena mamanya Sivia itu teman baiknya mamanya dia. Bahkan sudah seperti saudara. Ternyata, banyak hal yang masih belum aku mengerti.

“Iya, Vi kenapa?”tanyaku langsung.

“Fy, bisa cepetan dikit gak sih. Mau mulai, nih. cepetan kek. Awas aja kalau telat. Aku sama Rio bakal marah besar. Oke bye!” Seketika panggilan itu langsung terputus. Aku menghela nafas. Kamu menatapku sebentar sembari tersenyum penuh arti.

Bila kau tlah menjadi milikku
Aku takkan menyesal kelak
Telah jatuh hati

Aku memejapkan mataku dan berusaha mengatur irama nafasku. Andai, ini adalah hari aku bersama dia. Betapa bahagianya aku. Andai yang ada diposisi Shilla itu aku. Betapa bersyukurnya aku, Tuhan. Aku sama sekali tak akan menyesalinya.

Aku merasakan laju mobil ini mulai kamu pelankan. Buru-buru aku langsung membuka mataku.

“Ada apa?”

“kayaknya ada kecelakaan.”

“Coba aku lihat.”

Aku langsung menghambur keluar. Mencoba menyaksikan apa yang terjadi. Mencoba mencari celah diantara kerumunan itu. aku hanya bisa melihat sedikit. Dan sepertinya aku merasa tak asing lagi dengan korban yang ada didalam mobil itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak mungkin. Tidak mungkin! Ini sama sekali tidak mungkin! Ini hari bahagia mereka. Tidak mungkin ada disini. Aku mulai berjalan mundur sembari terus menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku mulai berlari dan masuk kedalam mobil.

“Kamu kenapa, Fy? emang siapa yang kecelakaan?”tanya kamu.

Nafasku semakin memburu. Wajah itu terus menari-nari dikepalaku. Darah yang terus mengalir dan menodai bajunya serta suara yang meringgis-ringgis kesakitan.

“Yel mending kita langsung jalan lagi aja. Supaya cepat sampai gitu. Supaya Sivia enggak nelpon terus-terusan.”

Kamu menurut dan langsung memacu mobilmu kembali. Sedangkan aku hanya berharap bahwa akan baik-baik saja dan aku salah melihat orang.

Ponselku kembali berdering. Lagi-lagi dari Sivia.

“Fy, Fy. kabar buruk Fy. kamu cepetan kesini. Kemungkinan gak tertolong.”

Deg. Jantungku semakin berpacu.

“Vi, bicara yang jelas dong. Maksudnya apaan? Jangan bikin panik tau. Aku kan juga ikut panik.”

Ponselku terlepas dari genggaman tanganku dan tangaku mulai bergetar. Tubuhku terasa lemas. Bahkan bibirku juga ikut bergetar. Air bening itu langsung meluruh dan saling berlomba-lomba berjatuhan. Apa maksudnya ini, Tuhan? Permainan apa lagi yang akan dimainkan? Aku harus bagaimana?

Semoga tak sekedar harapku

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar