Belum Bisa Terima (songfiction Terjebak Nostalgia – Raisa)
(oleh @Lisa_nasi_damay)
Kakiku terasa lemas menyaksikan pemandangan itu. Dadaku terasa terhimpit, sesak yang kini aku rasakan. Aku mulai melangkahkan kakiku mendekat ke pemandangan itu. walaupun aku mengetahui betul, bahwa hatiku akan tersayat kembali, tergores lagi hingga menimbulkan luka.
Aku mencoba untuk tetap menghiasi wajahku dengan senyuman. Senyum getir lebih tepatnya. Aku tak ingin menodai kebahagiaan dua insan itu dengan linangan air mataku. Ini hari bahagia dia bersama Shilla. Bagaimanapun juga dia tetap sahabatku dan pernah ada dihatiku serta hidupku. Aku mempunyai kisah tersendiri bersama dia.
Dia menemukan keberadaanku. Dia langsung melemparkan senyuman. Aku semakin mendekati dia dan Shilla yang ada di pelaminan itu.
“Selamat ya!”ucapku pelan namun penuh kegetiran. Aku mulai menyalami dia dan Shilla secara bergantian.
“Terima kasih ya, Fy. Karena kamu sudah menepati janjimu. Saya senang sekali,”ungkapnya yang langsung menarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku tersentak atas perlakuannya ini. Mana mungkin dia melakukan ini di depan pujaan hatinya. Jika aku tak berusaha. Mungkin air hangat sudah luruh dari kedua sudut mataku. Bagaimana ini Tuhan?
Aku melirik kearah Shilla dan Shilla tetap tersenyum. Tuhan aku sungguh tidak sanggup lagi! Aku benar-benar tersiksa.
“Oke, tapi kamu tidak perlu berlebihan seperti ini, Yo. Malu tuh sama Shilla.”
Dia melepaskan pelukan itu lalu mengaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal itu. Aku mencoba untuk mengatur alunan nafasku.
“Sekali lagi selamat ya!”gumamku dan mulai melangkah, berjalan meninggalkan dia dan Shilla. Namun, entah mengapa langkahku terasa berat. Sulit sekali rasanya. Tiba-tiba langkahku terhenti dan semua ini tanpa alasan.
Aku memutar langkahku kembali mendekat kembali kearah dia dan Shilla. Kali ini, aku mendekati Shilla.
“Aku menyukai pujaan hatimu dari dulu hingga sekarang. Bahkan perasaan ini semakin tak terbendung, Shill. Apakah aku salah, Shill? Kita mencintai orang yang sama. Tapi kamu yang memiliknya. Tapi, kamu perlu tahu satu hal. Mungkin Kario belum pernah memberitahumu. Jadi, biar aku saja yang memberitahumu,”bisiku dengan jantung yang berdegup kencang dan air mata yang sudah terjatuh.
Aku menghela nafas sebentar sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang menyakitkan untuknya. “Ehem. Jadi… Kario itu mempunyai perasaan yang sama denganku hahhaha,”ceplosku dengan tertawa keras. Tidak, aku malah menangis histeris.
Kedua bola mata Shilla semakin besar dan PLAK! Sebuah tamparan mendarat mulus dipipiku, senyumnya dengan cepat pudar. Rahangnya semakin mengeras. Shilla langsung mencengkramku lalu kemudian mendorong tubuhku.
Shilla memecahkan gelas yang terletak diatas meja dan memilihnya secara acak. Semua yang ada disana memekik ketakutan dan mulai mundur. Shilla mendekatiku dengan pecahan gelas yang ada di genggaman tangannya. Pecahan itu mulai tertuju mendekati wajahku. Aku langsung memejamkan mataku.
“AAAAA!”teriaku ketakutan.
Aku mulai membuka mataku dengan nafas yang memburu dan keringat yang mulai bercucuran. Aku melihat sekelilingku. Tidak ada Shilla apalagi dia. Aku sekarang berada dikamarku. Aku baru sadar bahwa ada sebuah novel digenggaman tanganku. Iya, ini novel dia.
Bola mataku mulai berputar-putar mencoba mengingat kembali. Ternyata! Yang barusan itu ada bunga tidur. Iya, lebih tepatnya bunga tidur yang paling buruk. Aku menghela nafas lega. Bersyukur karena itu hanya bunga tidur.
Bola mataku mulai bergerak kembali menuju novel yang ada digenggaman tanganku. Aku tersentak membaca kalimat yang dia tulus. Sungguh itu membuat aku menintihkan air mata.
Cinta itu tidak harus memiliki. Jika, pada akhirnya kita tidak bersatu. Jangan coba-coba menyalahkan siapapun. Apalagi, Tuhan. Jangan pernah lupa, jika Tuhan yang mempertemukan aku dan kamu. Lalu, menimbulkan perasaan itu dihati kita. Harusnya aku dan kamu bersyukur karena tidak ada cinta yang bertepuk tangan diantara kita. Hanya saja kita tidak dapat memiliki.
Semua sudah diatur Tuhan. Tuhan yang menuliskan kisah ini. Tuhan juga yang bertindak sebagai sutradara yang bertindak mengatur hidup kita. Tuhan bisa menjelma menjadi apapun. Karena Tuhan adalah Maha Segalanya.
Aku berdoa agar kamu baik-baik saja. Aku yakin bahwa Tuhan akan segera mengirimkan seseorang yang jauh lebih baik dariku yang akan mendampingimu.
~Kario Utama Perwira
***
“Kamu mau pergi, Fy?”tanya Sivia yang langsung mengambil posisi duduk disampingku. Sivia terus-terusan menatapku. Sepertinya Sivia mulai gusar. Bahkan, Sivia langsung merangkulku. Melihat aku yang tak kunjung membuka mulutku.
“Kalau kamu enggak dateng. Rio pasti kecewa berat, Fy. Pasti juga dia merasa sangat bersalah karena ketidak hadiranmu itu. Tapi kalau kamu dateng… kamu pasti merasakan sakit itu dua kali lipat. Hmm… aku tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Tapi, jika kamu berniat mengahirinya, aku selalu siap menemanimu,”hibur Sivia yang langsung tersenyum untuk meyakinkan diriku.
Aku hanya mampu membalas perkataan Sivia dengan menyunggingkan sebuah senyuman. Seolah mengatakan tenang. Aku akan baik-baik saja.
“Aku selalu mendukung apapun keputusanmu itu, Fy. Tapi, aku tidak akan bakal diam melihat kamu terus-terusan uring-uringan seperti ini. Aku ingin kamu membuka lembaran baru,”ungkap Sivia sembari menepuk-nepuk bahuku.
Aku langsung mengerutkan keningku dan kemudian menggeleng pelan. “Tidak secepat itu, Vi. Tidak semudah dan sesederhana itu. kenangan itu tiba-tiba saja menari-nari diatas kepalaku. Padahal, sesesungguhnya aku membenci itu.”
Telah lama ku tahu engkau
Punya rasa untukku
“kamu lupa ada Gabriel yang selalu menunggu kamu. Dia tidak pernah berubah, Fy. Walaupun sudah dimakan waktu. Dia selalu menunggu kamu. sembuhkan luka itu bersama Gabriel,”tandas Sivia yang langsung to the point.
Aku terpenjarat mendengar perkataan Sivia. Iya, yang dimaksud Sivia itu adalah kamu. Kamu yang selalu mengharapkan aku akan membalas perasaanmu. Aku menelan ludahku.
“Dia tadi nitip ini buat kamu, Fy,”gumam Sivia yang langsung menyodorkan seikat bunga mawar.
Aku menerima sembari tersenyum. Lantas, aku mulai meletakan seikat bunga mawar itu secara sembarang.
“Aku belum bisa, Vi. Sama sekali belum bisa.”
Aku terus menggeleng-gelengkan kepalaku dengan mata yang terpejam. Dadaku semakin terasa terhimpit. Pasokan oksigen yang aku hirup seolah menipis dan lagi-lagi menimbulkan kesesakan.
“Setidaknya kamu harus buka hatimu, Fy. Kamu tidak akan pernah bisa, jika kamu tidak mencobanya. Orang juga leleh jika harus terus-terusan mengetuk pintu hatimu. Namun, kamu sama sekali tidak membukakan pintu hatimu, sekecil apapun itu, Fy.”
Tubuhku terasa lemas mendengar perkataan Sivia. Bibirku bergetar dan aku sudah tak mampu untuk berkata-kata lagi. Bibirku tertutup rapat. Aku mengumpat dan mengerutuki diriku sendiri.
“Aku udah ngatur semuanya. Aku sudah bikin perjanjian sama Gabriel tanpa sepentahuanmu. Maaf. Besok malam, di Caffe yang biasanya kamu kunjungi dengan Kario.”
Kalimat Sivia barusan terdengar samar. Karena telingaku dipenuhi dengan omongan-omongan yang tidaka aku mengerti darimana asalnya.
***
Dengan langkah yang gontai aku memantapkan langkahku. Aku mulai masuk kedalam Caffe itu dengan membawa seikat buga mawar yang kamu berikan kemarin. Aku mulai mengedarkan pandanganku. Mencari kamu yang sudah sedari tadi menungguku.
Kamu memanggil namaku dengan melambaikan tanganmu kearahku dan tidak lupa pula kamu melemparkan senyuman. Harusnya kamu tahu, senyumanmu itu mengingatkanku dengannya. Aku langsung meluncur kearah kamu.
“Maaf lama,”kataku basa-basi dan mulai duduk dihadapannya.
Kamu menggeleng pelan. “Oke, enggak apa-apa. Ini belum seberapa kok, Fy. Oh ya, makasih karena kamu sudah bersedia datang.”
Aku tersenyum tipis. Aku mulai menyodorkan seikat bunga mawar itu ke kamu. kamu menatapku heran dengan kening yang berkerut. “Maaf. Aku enggak bisa nerima bunga ini. Aku enggak suka dengan bunga mawar. Sekali lagi, maafkanku,”gumam dengan tulus dan segenap hati. Aku tertunduk. Aku tak mampu menatap kedua bola matamu itu berlama-lama. Karena itu akan membuatku semakin bersalah.
Kamu menggelengkan kepalamu pelan. “Tidak, fy. Seharusnya akulah yang meminta maaf kepadamu. Karena banyak hal yang belum aku pahami tentangmu. Dari dulu sampai sekarang. Mungkn karena itu kamu sampai sekarang belum bisa membuka hatimu untuku.”
Tenggorokanku tiba-tiba saja terasa tercekat. Aku menelan ludah. Aku menggeleng pelan.
“Bukan itu, Yel. Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Jauh lebih sakit, Yel. Aku yakin kamu enggak bakal ngerasainnya,”cetusku dengan masih tertunduk.
Kini saat dia tak kembali
Kau nyatakan cintamu
Namun aku takkan pernah bisa
“Kamu salah, Fy. Aku tidak perlu menjadi kamu untuk merasakan itu semua. Aku juga merasakan sakit itu, Fy. Tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk menunggu kamu. aku bisa, Fy. Aku pasti bisa menyembuhkan lukamu dengan dia. Sivia udah cerita semuanya denganku. Beri aku kesempatan,”ucapmu meyakinkanku.
“Yel, maaf. Maaf aku belum bisa. Mengertilah…”
Aku mendengar kamu sedang menghela nafas panjang. Kamu mulai mengatur aluanan nafasmu. Alunan nafas yang penuh dengan kepasrahan.
“Fy, harus aku buktikan dengan apa, Fy? Aku menyanyangimu lebih dari yang orang tahu, Fy. Apa belum cukup pembuktianku dengan selalu menunggumu selama ini?”
Aku terdiam. Bibirku seolah terkunci. Bibirku mulai bergetar dan aku menggigit bibir bawahku. Aku berusaha agar itu tidak luruh. Aku berusaha agar aku tidak ingin melihat kamu juga merasakan hal yang sama lagi.
Ku takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Ku terjebak di ruang nostalgia
“Maaf, Yel…”ucapku dengan suara yang parau dan bergetar hebat. “Aku enggak mau kamu malah tambah sakit. Aku enggak mau kamu hanya jadi pelampiasanku. Dia masih selalu menghantuiku. Dia masih membayangiku. Aku belum bisa, Yel.”
Aku sudah berusaha. Iya, berusaha membendung air hangat ini agar tidak berjatuhan. Namun, aku tidak sekuat itu. air hangat itu dengan alunan yang semakin cepat berjatuhannya.
Semua yang ku rasa kini
Tak berubah sejak dia pergi
Maafkanlah ku hanya ingin sendiri ku di sini
“Fy…”
“Saat ini hati aku masih jatuh untuknya, Yel. Jujur, sebenarnya aku membenci diriku sendiri. Kenapa harus dia, Yel? Kenapa?”isaku dengan teriak histeris pada kata-kata yang terakhir.
“Kalau aku bisa. Sudah dari dulu aku menerimamu. Lalu, aku tidak akan pernah tersiksa seperti ini. Aku lelah, Yel. Aku lelah harus terus-terusan mikirin dia bukan kamu. Andai saja perasaan itu bisa dipaksakan. Aku akan memilih hatiku jatuh dikamu. Tapi, kenyataanya aku enggak bisa!”
Tangisku semakin tumpah dengan terus berkejar-kejaran. Aku benar-benar tersiksa.
“Takdir yang bisa mengubah semuanya. Jika waktunya tiba, lukaku pasti sembuh. Tapi, bukan sekarang. Akan ada waktunya. Mengertilah, Yel…”
Bola mata kamu mulai memerah dan berkaca-kaca.
~THE END
(oleh @Lisa_nasi_damay)
Kakiku terasa lemas menyaksikan pemandangan itu. Dadaku terasa terhimpit, sesak yang kini aku rasakan. Aku mulai melangkahkan kakiku mendekat ke pemandangan itu. walaupun aku mengetahui betul, bahwa hatiku akan tersayat kembali, tergores lagi hingga menimbulkan luka.
Aku mencoba untuk tetap menghiasi wajahku dengan senyuman. Senyum getir lebih tepatnya. Aku tak ingin menodai kebahagiaan dua insan itu dengan linangan air mataku. Ini hari bahagia dia bersama Shilla. Bagaimanapun juga dia tetap sahabatku dan pernah ada dihatiku serta hidupku. Aku mempunyai kisah tersendiri bersama dia.
Dia menemukan keberadaanku. Dia langsung melemparkan senyuman. Aku semakin mendekati dia dan Shilla yang ada di pelaminan itu.
“Selamat ya!”ucapku pelan namun penuh kegetiran. Aku mulai menyalami dia dan Shilla secara bergantian.
“Terima kasih ya, Fy. Karena kamu sudah menepati janjimu. Saya senang sekali,”ungkapnya yang langsung menarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku tersentak atas perlakuannya ini. Mana mungkin dia melakukan ini di depan pujaan hatinya. Jika aku tak berusaha. Mungkin air hangat sudah luruh dari kedua sudut mataku. Bagaimana ini Tuhan?
Aku melirik kearah Shilla dan Shilla tetap tersenyum. Tuhan aku sungguh tidak sanggup lagi! Aku benar-benar tersiksa.
“Oke, tapi kamu tidak perlu berlebihan seperti ini, Yo. Malu tuh sama Shilla.”
Dia melepaskan pelukan itu lalu mengaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal itu. Aku mencoba untuk mengatur alunan nafasku.
“Sekali lagi selamat ya!”gumamku dan mulai melangkah, berjalan meninggalkan dia dan Shilla. Namun, entah mengapa langkahku terasa berat. Sulit sekali rasanya. Tiba-tiba langkahku terhenti dan semua ini tanpa alasan.
Aku memutar langkahku kembali mendekat kembali kearah dia dan Shilla. Kali ini, aku mendekati Shilla.
“Aku menyukai pujaan hatimu dari dulu hingga sekarang. Bahkan perasaan ini semakin tak terbendung, Shill. Apakah aku salah, Shill? Kita mencintai orang yang sama. Tapi kamu yang memiliknya. Tapi, kamu perlu tahu satu hal. Mungkin Kario belum pernah memberitahumu. Jadi, biar aku saja yang memberitahumu,”bisiku dengan jantung yang berdegup kencang dan air mata yang sudah terjatuh.
Aku menghela nafas sebentar sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang menyakitkan untuknya. “Ehem. Jadi… Kario itu mempunyai perasaan yang sama denganku hahhaha,”ceplosku dengan tertawa keras. Tidak, aku malah menangis histeris.
Kedua bola mata Shilla semakin besar dan PLAK! Sebuah tamparan mendarat mulus dipipiku, senyumnya dengan cepat pudar. Rahangnya semakin mengeras. Shilla langsung mencengkramku lalu kemudian mendorong tubuhku.
Shilla memecahkan gelas yang terletak diatas meja dan memilihnya secara acak. Semua yang ada disana memekik ketakutan dan mulai mundur. Shilla mendekatiku dengan pecahan gelas yang ada di genggaman tangannya. Pecahan itu mulai tertuju mendekati wajahku. Aku langsung memejamkan mataku.
“AAAAA!”teriaku ketakutan.
Aku mulai membuka mataku dengan nafas yang memburu dan keringat yang mulai bercucuran. Aku melihat sekelilingku. Tidak ada Shilla apalagi dia. Aku sekarang berada dikamarku. Aku baru sadar bahwa ada sebuah novel digenggaman tanganku. Iya, ini novel dia.
Bola mataku mulai berputar-putar mencoba mengingat kembali. Ternyata! Yang barusan itu ada bunga tidur. Iya, lebih tepatnya bunga tidur yang paling buruk. Aku menghela nafas lega. Bersyukur karena itu hanya bunga tidur.
Bola mataku mulai bergerak kembali menuju novel yang ada digenggaman tanganku. Aku tersentak membaca kalimat yang dia tulus. Sungguh itu membuat aku menintihkan air mata.
Cinta itu tidak harus memiliki. Jika, pada akhirnya kita tidak bersatu. Jangan coba-coba menyalahkan siapapun. Apalagi, Tuhan. Jangan pernah lupa, jika Tuhan yang mempertemukan aku dan kamu. Lalu, menimbulkan perasaan itu dihati kita. Harusnya aku dan kamu bersyukur karena tidak ada cinta yang bertepuk tangan diantara kita. Hanya saja kita tidak dapat memiliki.
Semua sudah diatur Tuhan. Tuhan yang menuliskan kisah ini. Tuhan juga yang bertindak sebagai sutradara yang bertindak mengatur hidup kita. Tuhan bisa menjelma menjadi apapun. Karena Tuhan adalah Maha Segalanya.
Aku berdoa agar kamu baik-baik saja. Aku yakin bahwa Tuhan akan segera mengirimkan seseorang yang jauh lebih baik dariku yang akan mendampingimu.
~Kario Utama Perwira
***
“Kamu mau pergi, Fy?”tanya Sivia yang langsung mengambil posisi duduk disampingku. Sivia terus-terusan menatapku. Sepertinya Sivia mulai gusar. Bahkan, Sivia langsung merangkulku. Melihat aku yang tak kunjung membuka mulutku.
“Kalau kamu enggak dateng. Rio pasti kecewa berat, Fy. Pasti juga dia merasa sangat bersalah karena ketidak hadiranmu itu. Tapi kalau kamu dateng… kamu pasti merasakan sakit itu dua kali lipat. Hmm… aku tidak tahu apa yang harus kamu lakukan. Tapi, jika kamu berniat mengahirinya, aku selalu siap menemanimu,”hibur Sivia yang langsung tersenyum untuk meyakinkan diriku.
Aku hanya mampu membalas perkataan Sivia dengan menyunggingkan sebuah senyuman. Seolah mengatakan tenang. Aku akan baik-baik saja.
“Aku selalu mendukung apapun keputusanmu itu, Fy. Tapi, aku tidak akan bakal diam melihat kamu terus-terusan uring-uringan seperti ini. Aku ingin kamu membuka lembaran baru,”ungkap Sivia sembari menepuk-nepuk bahuku.
Aku langsung mengerutkan keningku dan kemudian menggeleng pelan. “Tidak secepat itu, Vi. Tidak semudah dan sesederhana itu. kenangan itu tiba-tiba saja menari-nari diatas kepalaku. Padahal, sesesungguhnya aku membenci itu.”
Telah lama ku tahu engkau
Punya rasa untukku
“kamu lupa ada Gabriel yang selalu menunggu kamu. Dia tidak pernah berubah, Fy. Walaupun sudah dimakan waktu. Dia selalu menunggu kamu. sembuhkan luka itu bersama Gabriel,”tandas Sivia yang langsung to the point.
Aku terpenjarat mendengar perkataan Sivia. Iya, yang dimaksud Sivia itu adalah kamu. Kamu yang selalu mengharapkan aku akan membalas perasaanmu. Aku menelan ludahku.
“Dia tadi nitip ini buat kamu, Fy,”gumam Sivia yang langsung menyodorkan seikat bunga mawar.
Aku menerima sembari tersenyum. Lantas, aku mulai meletakan seikat bunga mawar itu secara sembarang.
“Aku belum bisa, Vi. Sama sekali belum bisa.”
Aku terus menggeleng-gelengkan kepalaku dengan mata yang terpejam. Dadaku semakin terasa terhimpit. Pasokan oksigen yang aku hirup seolah menipis dan lagi-lagi menimbulkan kesesakan.
“Setidaknya kamu harus buka hatimu, Fy. Kamu tidak akan pernah bisa, jika kamu tidak mencobanya. Orang juga leleh jika harus terus-terusan mengetuk pintu hatimu. Namun, kamu sama sekali tidak membukakan pintu hatimu, sekecil apapun itu, Fy.”
Tubuhku terasa lemas mendengar perkataan Sivia. Bibirku bergetar dan aku sudah tak mampu untuk berkata-kata lagi. Bibirku tertutup rapat. Aku mengumpat dan mengerutuki diriku sendiri.
“Aku udah ngatur semuanya. Aku sudah bikin perjanjian sama Gabriel tanpa sepentahuanmu. Maaf. Besok malam, di Caffe yang biasanya kamu kunjungi dengan Kario.”
Kalimat Sivia barusan terdengar samar. Karena telingaku dipenuhi dengan omongan-omongan yang tidaka aku mengerti darimana asalnya.
***
Dengan langkah yang gontai aku memantapkan langkahku. Aku mulai masuk kedalam Caffe itu dengan membawa seikat buga mawar yang kamu berikan kemarin. Aku mulai mengedarkan pandanganku. Mencari kamu yang sudah sedari tadi menungguku.
Kamu memanggil namaku dengan melambaikan tanganmu kearahku dan tidak lupa pula kamu melemparkan senyuman. Harusnya kamu tahu, senyumanmu itu mengingatkanku dengannya. Aku langsung meluncur kearah kamu.
“Maaf lama,”kataku basa-basi dan mulai duduk dihadapannya.
Kamu menggeleng pelan. “Oke, enggak apa-apa. Ini belum seberapa kok, Fy. Oh ya, makasih karena kamu sudah bersedia datang.”
Aku tersenyum tipis. Aku mulai menyodorkan seikat bunga mawar itu ke kamu. kamu menatapku heran dengan kening yang berkerut. “Maaf. Aku enggak bisa nerima bunga ini. Aku enggak suka dengan bunga mawar. Sekali lagi, maafkanku,”gumam dengan tulus dan segenap hati. Aku tertunduk. Aku tak mampu menatap kedua bola matamu itu berlama-lama. Karena itu akan membuatku semakin bersalah.
Kamu menggelengkan kepalamu pelan. “Tidak, fy. Seharusnya akulah yang meminta maaf kepadamu. Karena banyak hal yang belum aku pahami tentangmu. Dari dulu sampai sekarang. Mungkn karena itu kamu sampai sekarang belum bisa membuka hatimu untuku.”
Tenggorokanku tiba-tiba saja terasa tercekat. Aku menelan ludah. Aku menggeleng pelan.
“Bukan itu, Yel. Aku juga merasakan apa yang kamu rasakan. Jauh lebih sakit, Yel. Aku yakin kamu enggak bakal ngerasainnya,”cetusku dengan masih tertunduk.
Kini saat dia tak kembali
Kau nyatakan cintamu
Namun aku takkan pernah bisa
“Kamu salah, Fy. Aku tidak perlu menjadi kamu untuk merasakan itu semua. Aku juga merasakan sakit itu, Fy. Tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk menunggu kamu. aku bisa, Fy. Aku pasti bisa menyembuhkan lukamu dengan dia. Sivia udah cerita semuanya denganku. Beri aku kesempatan,”ucapmu meyakinkanku.
“Yel, maaf. Maaf aku belum bisa. Mengertilah…”
Aku mendengar kamu sedang menghela nafas panjang. Kamu mulai mengatur aluanan nafasmu. Alunan nafas yang penuh dengan kepasrahan.
“Fy, harus aku buktikan dengan apa, Fy? Aku menyanyangimu lebih dari yang orang tahu, Fy. Apa belum cukup pembuktianku dengan selalu menunggumu selama ini?”
Aku terdiam. Bibirku seolah terkunci. Bibirku mulai bergetar dan aku menggigit bibir bawahku. Aku berusaha agar itu tidak luruh. Aku berusaha agar aku tidak ingin melihat kamu juga merasakan hal yang sama lagi.
Ku takkan pernah merasa
Rasakan cinta yang kau beri
Ku terjebak di ruang nostalgia
“Maaf, Yel…”ucapku dengan suara yang parau dan bergetar hebat. “Aku enggak mau kamu malah tambah sakit. Aku enggak mau kamu hanya jadi pelampiasanku. Dia masih selalu menghantuiku. Dia masih membayangiku. Aku belum bisa, Yel.”
Aku sudah berusaha. Iya, berusaha membendung air hangat ini agar tidak berjatuhan. Namun, aku tidak sekuat itu. air hangat itu dengan alunan yang semakin cepat berjatuhannya.
Semua yang ku rasa kini
Tak berubah sejak dia pergi
Maafkanlah ku hanya ingin sendiri ku di sini
“Fy…”
“Saat ini hati aku masih jatuh untuknya, Yel. Jujur, sebenarnya aku membenci diriku sendiri. Kenapa harus dia, Yel? Kenapa?”isaku dengan teriak histeris pada kata-kata yang terakhir.
“Kalau aku bisa. Sudah dari dulu aku menerimamu. Lalu, aku tidak akan pernah tersiksa seperti ini. Aku lelah, Yel. Aku lelah harus terus-terusan mikirin dia bukan kamu. Andai saja perasaan itu bisa dipaksakan. Aku akan memilih hatiku jatuh dikamu. Tapi, kenyataanya aku enggak bisa!”
Tangisku semakin tumpah dengan terus berkejar-kejaran. Aku benar-benar tersiksa.
“Takdir yang bisa mengubah semuanya. Jika waktunya tiba, lukaku pasti sembuh. Tapi, bukan sekarang. Akan ada waktunya. Mengertilah, Yel…”
Bola mata kamu mulai memerah dan berkaca-kaca.
~THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar