Sepuluh Jari yang Peduli
Peduli. Kata sederhana yang sangat dalam maknanya. Bahkan lebih dibutuhkan oleh manusia. Siapa yang tidak butuh kepedulian? Siapa yang ingin dicampakkan? Semua wujud pengertianmu, kasih sayangmu, adalah bentuk kepedulianmu. Bukan hanya ditujukan untuk sesama manusia. Kepedulianmu dibutuhkan oleh segala item kehidupan. Dan bukan hanya kehidupanmu, kehidupan bersama lebih memerlukan kepedulian.
Jutaan baris kata yang aku buat selama ini, ataupun segala dedikasiku dalam menulis karya-karya, kutempatkan pada sebuah wadah yang aku sebut dengan wujud kepedulianku. Karena dari sana, aku peduli dengan lingkunganku. Lingkungan yang setiap saat bahkan kapanpun, selalu kutuangkan dalam deretan rapih tombol-tombol keyboard laptopku. Dari sana aku peduli, tentang pribadiku, keseharianku, yang aku catat secara rinci walau aku yakin tidak sempurna. Tentang, kehidupanku, sekolahku, keluargaku, teman, sahabat, musuh dan hal nampak lainnya. Bahkan sebuah frase tentang khayalan yang mereka sebut dengan ‘imaginasi’ tak jarang kutemukan di dalam laptopku.
Aku ingat, saat aku peduli dengan keluargaku, ayahku. Aku menulis sebuah surat yang belum pasti dapat aku sampaikan kepada ayahku sendiri. walau ayahku pasti akan membacanya. Aku menulisnya, dan seakan berkata di hadapan ayahku. Baru aku sampai pada paragraf ketiga, saat airmataku bercucuran dan menyebabkanku kesulitan bernafas. Aku tak tidak tahu persis, apa faktornya. Mengapa bisa aku menangis sedemikian hingga. Aku hanya memandang laptopku, menarikan jemariku di atas keyboardnya, dan semua mengalir dengan sendirinya. Tanpa terfikirkan sedikitpun apa yang akan aku tulis di baris kata berikutnya. Tapi, air mata itu terus saja mengalir bahkan melebihi kecepatan jariku menekan tombol keyboard. Seperti rekaman film. Ya, seperti itulah yang ada di kepalaku saat itu. semuanya seperti ada slide show tentang kenanganku bersama ayah selama 16 tahunku ini, dan aku seperti hanya mengcopinya ke dalam monitor laptop. Ini, yang aku sebut peduli.
Tulisanku itu sudah tercetak dalam beberapa halaman buku yang sudah diterbitkan. Dan aku memesannya tanpa sepengetahuan orang-tuaku. Aku menghadiahkannya saat anniversary mama-papa yang ke 17 tahun. Aku peduli.
Aku juga ingat, tentang pedulinya aku pada tugas-tugas sekolah. Pembuatan makalah, sampai pembuatan cerpen. Aku tak tahu apa hubungannya dengan kepedulian. Tapi seandainya aku tidak memiliki rasa peduli itu sendiri, aku yakin, segala tugas tanganku tak akan rampung, atau bahkan tak akan aku kerjakan. Kebiasaan malas para pelajar adalah wujud konkret dari sebuah ketidak pedulian mereka terhadap masa depannya. Benar, bukan?
Aku juga ingat saat aku menulis sebuah monolog, hampir seperti ini. seperti yang sedang kalian baca. Hanya saja aku menulis tentang kepedulianku kepada sahabatku yang baru aku kenal sejak masuk SMA ini. Mungkin aku bisa mencuplikan paragraf-paragraf itu:
Ujianku sekarang ini adalah gimana caranya mengembalikan semangat hidup seseorang yang kehilangan cintanya. Dia bahkan seperti bosan hidup. Sahabatku. Ya, sahabat yang baru aku kenal lebih dekat sejak masuk SMA. Dia tipe yang sulit ngelupain mantannya. Hampir setiap hari dia curhat tentang mantan, yang bahkan nggak aku kenal.
Bukan! Sahabatku ini bukan lebay soal cinta anak SMA. Sebab, bukan hanya karena mantannya itu, dia kehilangan semangat hidup. Sebuah penyakit terhambatnya oksigen ke otak yang selalu membuatnya pucat dan pusing, adalah faktor yang lain. Bahkan tiap minggu ia harus merelakan kulit-kulitnya disuntiki. Aku sangat miris melihat setiap plester yang menutupi kulit bekas suntikan di tangannya. Aku tau dia pasti sembuh, tapi, aku butuh keyakinan dari dirinya sendiri, yang bahkan hampir mustahil kutemukan di dalam dirinya…
Sempat, sahabatku itu seperti orang gila, matanya bengkak, dia bilang semalaman nggak tidur, dan nggak makan. Kenapa? Karena mantan yang selama ini selalu menyemangatinya, terlihat mesra berboncengan motor di dalam sebuah foto. Aku benci mantannya itu! Damn!
Selama ini aku masih berusaha mendengar setiap curhatan darinya. Mengajaknya tertawa bersamaku, dan nggak membiarkan ia melamun sendiri. aku tau ia butuh seseorang yang mengerti dirinya dengan sangat. Tentu saja di luar keluarganya. Aku selalu menempatkan diriku sebagai orang itu. semoga bisa…
Tapi kadang aku bingung, mana watak asli sahabatku ini. Kadang ia ceria sekali hingga cantiknya terpancar jelas, kadang ia seperti orang gila yang kerjanya hanya marah-marah tiap hari, siapa saja bisa kena marahnya. Tapi kadang ia bisa menjadi orang yang sangat pendiam, sehari-harinya hanya merenung, matanya kosong, dan putus asa. Bahkan tak jarang aku mendapati kedua matanya bengkak dan berkaca-kaca. Ini yang membuatku prihatin. Apa begitu terlukanya ia hingga seperti ini? Kalau boleh kutilik isi hatinya, ingin aku mempelajari seluk beluk isi hatinya dan mengatakan padanya bahwa ia tak sepantasnya begitu. Tapi, aku hanya manusia biasa…
Untungnya, bukan hanya aku yang menjalankan misi ini, banyak temanku yang lain, yang juga peduli pada sahabatku. Kami sepakat kerjasama mengembalikan senyum sahabatku. Belum terlalu berhasil, tapi kami sama-sama yakin, sahabatku adalah cewek tegar yang mampu menghadapi semua cobaannya. Tuhan, bantu kami kok… kuharap kalian juga mendoakan…
Itu adalah cuplikan dari apa yang aku tulis tentang sahabatku. Ya, aku peduli padanya. Sangat peduli. Bahkan aku selalu memperhatikannya. Aku tidak ingin ia sakit terus-terusan. Aku miris dengan keadaannya sekarang. Ia masih sering mimisan, karena penyakitnya. Ya, aku tahu penyakit itu memang tidak begitu berbahaya, dan aku yakin bisa disembuhkan. Tapi, itu jika sahabatku itu mematuhi segala perintah dokter. Tapi tidak, sahabatku yang keras kepala itu sering mengabaikan nasihat dokternya. Pantangannya yang dilarang minum es itu tak jarang dilanggarnya. Aku tidak mengerti bagaimana caranya agar sahabatku itu tahu wujud peduliku. Padahal, dia sudah membaca segala tulisanku tentangnya itu, tapi tak cukup banyak perubahan di dalam dirinya.
Aku peduli dengan para pembaca cerita-cerita di blogku. Atau sahabat-sahabat dunia mayaku. Aku peduli dengan segalanya. Aku selalu berusaha peduli walau mungkin ada yang tak mempedulikanku. Karena aku selalu ingat kepada sebuah pepatah:
“Jangan tanyakan apa yang sudah dunia berikan kepadamu, tapi tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang sudah kau berikan untuk dunia.”
Aku bukan Kahlil Gibran atau Chairil Anwar yang bisa menciptakan mahakarya berupa susunan kata menyentuh tiap karyanya. Aku juga bukan Ebiet G. Ade atau Iwan Fals yang memiliki sejuta lagu bermakna untuk orang banyak. Aku hanya sepuluh jari yang selalu menarikan sebuah kepedulianku terhadap dunia luarku ke atas barisan tombol. Dan aku berharap bisa menjadi salah satu nama yang kalian anggap berharga.
Dariku, wujud kepedulianku.
***
Peduli. Kata sederhana yang sangat dalam maknanya. Bahkan lebih dibutuhkan oleh manusia. Siapa yang tidak butuh kepedulian? Siapa yang ingin dicampakkan? Semua wujud pengertianmu, kasih sayangmu, adalah bentuk kepedulianmu. Bukan hanya ditujukan untuk sesama manusia. Kepedulianmu dibutuhkan oleh segala item kehidupan. Dan bukan hanya kehidupanmu, kehidupan bersama lebih memerlukan kepedulian.
Jutaan baris kata yang aku buat selama ini, ataupun segala dedikasiku dalam menulis karya-karya, kutempatkan pada sebuah wadah yang aku sebut dengan wujud kepedulianku. Karena dari sana, aku peduli dengan lingkunganku. Lingkungan yang setiap saat bahkan kapanpun, selalu kutuangkan dalam deretan rapih tombol-tombol keyboard laptopku. Dari sana aku peduli, tentang pribadiku, keseharianku, yang aku catat secara rinci walau aku yakin tidak sempurna. Tentang, kehidupanku, sekolahku, keluargaku, teman, sahabat, musuh dan hal nampak lainnya. Bahkan sebuah frase tentang khayalan yang mereka sebut dengan ‘imaginasi’ tak jarang kutemukan di dalam laptopku.
Aku ingat, saat aku peduli dengan keluargaku, ayahku. Aku menulis sebuah surat yang belum pasti dapat aku sampaikan kepada ayahku sendiri. walau ayahku pasti akan membacanya. Aku menulisnya, dan seakan berkata di hadapan ayahku. Baru aku sampai pada paragraf ketiga, saat airmataku bercucuran dan menyebabkanku kesulitan bernafas. Aku tak tidak tahu persis, apa faktornya. Mengapa bisa aku menangis sedemikian hingga. Aku hanya memandang laptopku, menarikan jemariku di atas keyboardnya, dan semua mengalir dengan sendirinya. Tanpa terfikirkan sedikitpun apa yang akan aku tulis di baris kata berikutnya. Tapi, air mata itu terus saja mengalir bahkan melebihi kecepatan jariku menekan tombol keyboard. Seperti rekaman film. Ya, seperti itulah yang ada di kepalaku saat itu. semuanya seperti ada slide show tentang kenanganku bersama ayah selama 16 tahunku ini, dan aku seperti hanya mengcopinya ke dalam monitor laptop. Ini, yang aku sebut peduli.
Tulisanku itu sudah tercetak dalam beberapa halaman buku yang sudah diterbitkan. Dan aku memesannya tanpa sepengetahuan orang-tuaku. Aku menghadiahkannya saat anniversary mama-papa yang ke 17 tahun. Aku peduli.
Aku juga ingat, tentang pedulinya aku pada tugas-tugas sekolah. Pembuatan makalah, sampai pembuatan cerpen. Aku tak tahu apa hubungannya dengan kepedulian. Tapi seandainya aku tidak memiliki rasa peduli itu sendiri, aku yakin, segala tugas tanganku tak akan rampung, atau bahkan tak akan aku kerjakan. Kebiasaan malas para pelajar adalah wujud konkret dari sebuah ketidak pedulian mereka terhadap masa depannya. Benar, bukan?
Aku juga ingat saat aku menulis sebuah monolog, hampir seperti ini. seperti yang sedang kalian baca. Hanya saja aku menulis tentang kepedulianku kepada sahabatku yang baru aku kenal sejak masuk SMA ini. Mungkin aku bisa mencuplikan paragraf-paragraf itu:
Ujianku sekarang ini adalah gimana caranya mengembalikan semangat hidup seseorang yang kehilangan cintanya. Dia bahkan seperti bosan hidup. Sahabatku. Ya, sahabat yang baru aku kenal lebih dekat sejak masuk SMA. Dia tipe yang sulit ngelupain mantannya. Hampir setiap hari dia curhat tentang mantan, yang bahkan nggak aku kenal.
Bukan! Sahabatku ini bukan lebay soal cinta anak SMA. Sebab, bukan hanya karena mantannya itu, dia kehilangan semangat hidup. Sebuah penyakit terhambatnya oksigen ke otak yang selalu membuatnya pucat dan pusing, adalah faktor yang lain. Bahkan tiap minggu ia harus merelakan kulit-kulitnya disuntiki. Aku sangat miris melihat setiap plester yang menutupi kulit bekas suntikan di tangannya. Aku tau dia pasti sembuh, tapi, aku butuh keyakinan dari dirinya sendiri, yang bahkan hampir mustahil kutemukan di dalam dirinya…
Sempat, sahabatku itu seperti orang gila, matanya bengkak, dia bilang semalaman nggak tidur, dan nggak makan. Kenapa? Karena mantan yang selama ini selalu menyemangatinya, terlihat mesra berboncengan motor di dalam sebuah foto. Aku benci mantannya itu! Damn!
Selama ini aku masih berusaha mendengar setiap curhatan darinya. Mengajaknya tertawa bersamaku, dan nggak membiarkan ia melamun sendiri. aku tau ia butuh seseorang yang mengerti dirinya dengan sangat. Tentu saja di luar keluarganya. Aku selalu menempatkan diriku sebagai orang itu. semoga bisa…
Tapi kadang aku bingung, mana watak asli sahabatku ini. Kadang ia ceria sekali hingga cantiknya terpancar jelas, kadang ia seperti orang gila yang kerjanya hanya marah-marah tiap hari, siapa saja bisa kena marahnya. Tapi kadang ia bisa menjadi orang yang sangat pendiam, sehari-harinya hanya merenung, matanya kosong, dan putus asa. Bahkan tak jarang aku mendapati kedua matanya bengkak dan berkaca-kaca. Ini yang membuatku prihatin. Apa begitu terlukanya ia hingga seperti ini? Kalau boleh kutilik isi hatinya, ingin aku mempelajari seluk beluk isi hatinya dan mengatakan padanya bahwa ia tak sepantasnya begitu. Tapi, aku hanya manusia biasa…
Untungnya, bukan hanya aku yang menjalankan misi ini, banyak temanku yang lain, yang juga peduli pada sahabatku. Kami sepakat kerjasama mengembalikan senyum sahabatku. Belum terlalu berhasil, tapi kami sama-sama yakin, sahabatku adalah cewek tegar yang mampu menghadapi semua cobaannya. Tuhan, bantu kami kok… kuharap kalian juga mendoakan…
Itu adalah cuplikan dari apa yang aku tulis tentang sahabatku. Ya, aku peduli padanya. Sangat peduli. Bahkan aku selalu memperhatikannya. Aku tidak ingin ia sakit terus-terusan. Aku miris dengan keadaannya sekarang. Ia masih sering mimisan, karena penyakitnya. Ya, aku tahu penyakit itu memang tidak begitu berbahaya, dan aku yakin bisa disembuhkan. Tapi, itu jika sahabatku itu mematuhi segala perintah dokter. Tapi tidak, sahabatku yang keras kepala itu sering mengabaikan nasihat dokternya. Pantangannya yang dilarang minum es itu tak jarang dilanggarnya. Aku tidak mengerti bagaimana caranya agar sahabatku itu tahu wujud peduliku. Padahal, dia sudah membaca segala tulisanku tentangnya itu, tapi tak cukup banyak perubahan di dalam dirinya.
Aku peduli dengan para pembaca cerita-cerita di blogku. Atau sahabat-sahabat dunia mayaku. Aku peduli dengan segalanya. Aku selalu berusaha peduli walau mungkin ada yang tak mempedulikanku. Karena aku selalu ingat kepada sebuah pepatah:
“Jangan tanyakan apa yang sudah dunia berikan kepadamu, tapi tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang sudah kau berikan untuk dunia.”
Aku bukan Kahlil Gibran atau Chairil Anwar yang bisa menciptakan mahakarya berupa susunan kata menyentuh tiap karyanya. Aku juga bukan Ebiet G. Ade atau Iwan Fals yang memiliki sejuta lagu bermakna untuk orang banyak. Aku hanya sepuluh jari yang selalu menarikan sebuah kepedulianku terhadap dunia luarku ke atas barisan tombol. Dan aku berharap bisa menjadi salah satu nama yang kalian anggap berharga.
Dariku, wujud kepedulianku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar