Sabtu, 28 April 2012

Catatan Embun untuk Dunia


Gemulai ayunan tangan seorang penari tarian daerah yang tata riasnya seperti seorang putri itu membuat Embun tersenyum. Embun seperti merasa berada di antara mereka yang dengan hebatnya membawakan sebuah ekspresi maha karya dari koreografer anonim itu. Selain gerakan dan riasannya yang megah, tetapi juga pembawaan dan penghayatan yang selalu membuat bulu kuduk merinding. Embun tersenyum lagi, ia selalu membayangkan bagaimana seandainya ia bisa berada di sana, di antara penari yang membawakan tarian Jawa dari sebuah panggung, dan ditonton ratusan orang. Sungguh membanggakan. Tak akan ada lagi cemoohan yang diterima Embun, tak akan ada lagi tawa meremehkan yang ditujukan untuk Embun. Tak akan ada lagi air yang menetes dari mata Embun yang sedih dan luka setiap menerima ejekan teman-teman sebayanya.
“Saatnya pulang, Embun…” kata seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba menepuk bahu Embun dari belakang, Embun terperanjat dan menoleh, mendapati Bunda Tiar, pengasuhnya di panti asuhan. “Kamu tidak boleh terlalu lelah, Embun…”
Embun menunduk, lalu matanya mulai berkaca-kaca lagi, “Embun masih mau lihat itu, Bun. Bunda tau, kan jadi penari itu impian Embun.”
“Bunda tau, nak. Bunda sangat mengerti, tapi kesehatanmu lebih penting. Sekarang sudah waktunya istirahat. Bunda nggak mau kamu sakit karena kelelahan lagi.”

Embun terdiam, lagi-lagi tak ada pilihan baginya, apa yang terjadi memang sudah merenggut impiannya. Merenggut harapan dan asanya yang selama ini selalu membuat Embun bahagia walau tanpa kedua orang tuanya. Embun mendapatkan energi sendiri dari setiap tarian yang baru ia lihat, seperti charger yang mengisi baterai semangat hidupnya yang kadang mulai down saat ia rindu sosok sebuah keluarga.
Tapi apa yang bisa dilakukan seorang gadis kecil berusia 9 tahun yang hidup di panti asuhan sejak bayi, dan tanpa orang tua? Apa yang bisa gadis manis itu tuntut? Siapa yang harus ia salahkan atas takdir Tuhan yang seakan tidak adil itu? Tidak ada, ini hanya sebuah lelucon yang semakin dipikir semakin rumit. Mata kecil yang lembut dari seorang Embun belum cukup untuk melihat kebenaran dunia yang menghakimi umat manusia seperti tanpa pengacara. Embun terlalu polos untuk berkata ‘dunia ini tidak adil baginya!’
Malam yang pekat dan dingin dua tahun silam menjadi awal mimpi buruk Embun yang masih berusia tujuh tahun. Gadis kecil yang baru saja merayakan ulang tahunnya bersama Bunda Tiar dan teman-teman pantinya itu masih tersenyum bahagia sambil menari tarian Jawa. Baru tadi siang, beberapa mahasiswa datang ke panti dan mengajari anak-anak panti, baca-tulis. Sebagian dari mereka juga mengajarkan tarian Jawa. Tari Golek. Embun sangat antusias mengikuti tarian yang dipercontohkan oleh mahasiswi itu. gerakan dari tangan dan kaki kecil Embun mengundang gelak tawa orang-orang yang menyaksikannya, termasuk Bunda Tiar. Dalam hati Bunda Tiar berkata, “Kelak, anak ini akan membanggakan. Bukan hanya membanggakanku atau panti ini, tapi juga membanggakan bangsa dan negara. Ya, Embun, bunda percaya kamu bisa.”
Tawa Embun masih terpeta jelas di wajahnya sampai pukul lima sore. ia mempraktikkan apa yang diajarkan mahasiswa tadi siang. Di atas secarik kertas, Embun menulis huruf yang masih acak-acakan. Lalu di kertas sebaliknya ia menggambar lingkaran yang seakan memiliki tangan dan kaki. Ada dua gambar serupa di sana. Bunda Tiar menghampiri Embun.
“Siapa itu, Embun?” tanya Bunda Tiar.
“Ini?” Embun balik bertanya, lalu melihat Bunda pantinya, “ini Embun dan…”
“Ibu kamu?” tebak Bunda Tiar, Embun menggeleng pelan masih dengan wajah polos ala anak seumur tujuh tahun.
“Ini Embun dan Bunda Tiar…” katanya, Bunda Tiar terkejut, mengapa ia sempat berpikiran gambar itu adalah Embun dan ibunya? Sedang anak ini belum pernah tau siapa ibunya, bahkan apa itu ibu, Embun tak mengerti. Yang ia tahu hanya Bunda Tiar, sosok yang Embun anggap sebagai ibu kandungnya.
“Lihat Bunda…” Embun menorehkan pastel warna hijau di gambar itu, tepat digambar dirinya sendiri. Ia bilang itu gambar selendang penari, mirip seperti yang dikenakan mahasiswi tadi, “ini Embun. Embun akan menari untuk Bunda kalau Embun sudah besar. Dan Bunda akan…”
Embun memberi goresan melengkung di dalam lingakaran yang satu lagi, “ter-se-nyuum…” katanya sambil menggambar lengkungan bibir yang tersenyum. Saat itu juga Bunda Tiar menitikkan air mata harunya. Dengan erat, ia mendekap Embun. Berterima kasih telah dipertemukan dengan anak itu. Anak perempuan dengan semangat yang hebat. Tidak cengeng dan penyayang. Tuhan, ini anugerah terindah dari-Mu. Jangan biarkan anak ini menangis, Tuhan. Biarkan ia bahagia kelak, dan kabulkan impiannya.
Angin berhembus cukup kencang, meniup kertas gambar Embun. Seperti mustahil, kertas itu terus terbang hingga melewati pagar panti. Dengan segera, Embun melepas pelukannya dari bunda dan berlari mengejar kertas gambar itu. namun, tiba-tiba dari arah kanan, sebuah mobil menyambar tubuh mungil Embun yang baru saja mengambil kertasnya. Bunda menjerit saat tubuh Embun terpental cukup jauh lalu bersimbah darah di atas aspal.
Naas, Embun menjadi korban tabrak lari. Ia segra dilarikan ke rumah sakit dibantu oleh warga sekitar. Dan sekarang, kenyataan pait lagi-lagi harus diterima anak perempuan penuh impian itu. kedua kaki yang biasa digunakannya untuk menari, lumpuh total. Dokter mengatakan, Embun mengalami kelumpuhan permanen akibat kecelakaan itu. tentu saja bunda Tiar meronta histeris mendnegar perkataan dokter pada saat itu, ia hampir pingsan menbayangkan apa jadinya Embun saat tau impiannya akan terenggut karena sebuah kejadian yang begitu singkat, dan bahkan tidak akan terjadi jika Bunda menjaganya dengan benar. Berkali-kali bunda merutuki dirinya sendiri, menganggap telah gagal menjaga anaknya sendiri. anak yang selalu ia banggakan. Ia pasti akan dibenci Embun! Embun pasti akan menganggapnya sebagai penghancur impiannya! Ya, sulit bagi Bunda Tiar untuk memaafkan dirinya sendiri.
Benar, setelah sadarnya Embun akan kelumpuhan yang ia derita, setiap hari Embun hanya menangis. Tidak pernah bermain bersama dengan teman pantinya seperti dulu, bahkan untuk makan saja susah. Sekarang untuk membantu dirinya beraktivitas, Embun menggunakan kursi roda. Alat yang selalu dibenci Embun. Ia selalu berkata, benda itu mengganggunya untuk nisa menari. Mengganggu gerakannya. Ia benci kursi roda. Tapi, lagi-lagi Embun tidak bisa memilih. Paradoks antara harapan dan kenyataan yang kian menjauh itu semakin menenggelamkan semangat hidup dan cita-citanya untuk menjadi penari. Tidak ada senyum, tarian atau gambaran lucu dari Embun yang polos dan mengundang tawa. Tak ada lagi hal-hal yang membuat Bunda Tiar tersenyum bahagia. Hal seperti itu berlangsung sampai dua tahun kemudian. Yaitu saat umur Embun sudah menginjak 9 tahun. Embun masih sering melamun dan menangis.
Tapi, bunda tidak menyerah, setiap hari ia selalu membangkitkan semangat hidup Embun yang dua tahun terakhir ini bagai lenyap tanpa bekas. Ia selalu berusaha membuat Embun tersenyum walau hasilnya tidak pernah maksimal. Embun masih saja cengeng, dan lebih sering melamun di atas kursi rodanya. Apalagi saat beberapa teman pantinya yang mencemooh, Embun selalu menangis tanpa melawan sampai teman-temannya sendiri jengah dan menjauh karena tangisan Embun tak kunjung berhenti. Bunda juga pernah konsultasi kepada psikologi anak, dokter menyarankan agar Embun dialihkan perhatiannya kepada hal lain, seperti pada hal-hal sederhana yang dulu merupakan hobinya, tentu saja selain menari, itu justru akan memperparah kondisinya yang secara moril masih trauma dan shock. Bunda berinisiatif untuk mengajak Embun menulis buku harian, atau paling tidak sebuah catatan tentang apa yang ia lakukan hari ini. dengan begitu, Embun yang pada dasarnya adalah anak yang cerdas akan mencoba melakukan kegiatan baru yang menyenangkan agar catatannya berisi hal-hal menarik selama sehari.
Bunda menemukan Embun sedang menangis di kamarnya suatu hari. Katanya, Embun menangis karena Dion, teman sekolahnya mengejek Embun ‘orang cacat’. Embun menangis sesegukan, hingga Bunda Tiar memberinya sebuah buku kecil dan sebuah bolpen.
“Tulislah apa yang kamu rasakan sekarang di dalam buku ini. hal-hal selama sehari juga bisa kamu tulis. Embun sudah bisa menulis, kan?” tanya Bunda.
Embun berhenti dari isaknya, memperhatikan wanita di hadapannya menerangkan, “Embun boleh menulis apa saja tentang perasaan Embun. Saat Embun senang, sedih apapun itu. embun juga bisa menggambar di sini. Selama ini Embun suka menggambar, kan? Lakukan apa yang membuat kamu senang, nak. Jangan pertahankan sesuatu yang justru membuat kamu bersedih seperi ini. bunda ikut sedih melihat Embun menangis.”
Bunda menitikkan air mata, sedih rasanya harus menyaksikan anak itu sesegukan karena kondisinya, kalau boleh ia mengulang waktu, ia akan menggantikan posisi Embun yang tertabrak mobil, daripada Embun yang seharusnya masih senang-senangnya menikmati masa anak-anak harus rela mengubur harapan yang bahkan belum sama sekali terwujud.
“Mulai sekarang, Embun nggak boleh lagi menangis karena diejek atau karena tidak bisa lagi menari. Mungkin Embun tidak bisa menari lagi, tapi Embun masih punya tangan, pikiran dan hati. Manfaatkan apa yang ada, Nak. Jadikan dunia bangga terhadapmu walau dunia berlaku tak adil kepadamu. Jangan sia-siakan waktu hanya untuk menyesal. Tak berguna, sayang. Berikan yang terbaik bukan hanya untuk Bunda dan sekitarmu, tapi yang utama berikan yang terbaik untuk dirimu sendiri. karena negara kita butuh orang-orang tegar dan pantang menyerah, bukan yang lemah dan putus asa.” Bunda mendekap Embun sangat lama, anak itu belum sepenuhnya mengerti apa maksud perkataan Bundanya, tapi ia tau bahwa Bunda sangat sayang kepadanya, “dulu, Embun pernah bilang, ingin membuat Bunda tersenyum, lakukan itu, Nak. Buat Bunda tersenyum, sayang…”
Embun tersenyum, diterimanya buku dan bolpen pemberian bunda itu, setelah itu dibukanya halaman pertama. Bunda mengernyitkan kening, bingung. Lalu Embun menuliskan sesuatu: ‘Catatan Embun untuk Dunia’. Lalu bunda tersenyum, sekali lagi dipeluknya anak itu, kali ini ditemani air mata bahagia.
Semenjak ada buku itu, Embun jadi sering menulis, apapun yang ia lakukan selama sehari ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Hingga sekarang usia Embun menginjak 12 tahun. Itu artinya selama 5 tahun, Embun harus menjalani kesehariannya di atas kursi roda. Namun suatu hari, tiba-tiba Embun terserang demam tinggi yang cukup lama. Ia juga mengalami kejang-kejang dan menggigil hingga tak sadarkan diri. Dua hari satu malam, ia dirawat di rumah sakit swasta, dan akhirnya seusai menyaksikan pertunjukan tari, Embun menghembuskan nafas terakhirnya di atas ranjang rumah sakit dalam keadaan tidur.
Embun Sinari, 12 tahun. Gadis kecil yang sempat putus asa itu harus meninggal dalam usia semuda itu. tapi, walau raganya telah tiada, Embun mewariskan banyak pelajaran untuk selalu cinta terhadap budaya bangsa, dan tentu saja mengajarkan kita tentang arti kehidupan dan pantang putus asa. Gadi sekecil itu sudah harus memikul takdir yang sedemikian sulit. Lahir tanpa orang tua yang jelas, yang hanya dnegan ketidak bertanggung jawaban meninggalkannya di depan pitu sebuah panti asuhan, dan di saat ia mulai menemukan arti kebahagiaan bersama Bunda Tiar dan teman-temannya, ia kembali dihadapkan pada sebuah takdir pilu, yang bahkan lebih sulit ia terima daripada yang sebelumnya.
Bunda Tiar mengunjungi makam Embun hari ini, meletakkan sebuah buket bunga lalu berdoa. Di tangannya ada sebuah buku. Buku hasil karya Embun. Yaitu buku hasil kumpulan catatan harian Embun. Ternyata, bukan hanya kegiatan sehari-hari yang ditulis Embun di dalam bukunya, tetapi juga puisi, gambar atau hanya sebuah barisan kata-kata tentang perasaannya dan curahan hatinya. Bunda ingat pada sebuah paragraf yang ditulis Embun.

Aku kehilangan cita-citaku, kehilangan semangatku, bahkan seperti kehilangan nyawaku. Tapi aku selalu menoba mengumpulkannya kembali satu persatu, karena aku tau bukan Cuma aku yang menmbutuhkan itu. bunda selalu menungguku untuk membuatnya tersenyum karenaku. Tuhan, karena impianku yang lain sudah tak mungkin terwujud, lancarkan impianku hanya untuk yang satu ini. Embun sayang Bunda….

Bunda Tiar tersenyum, lalu megusap batu nisan Embun.
“Embun, sudahkah kamu bahagia di sana? Apa kamu sedang menari untuk Bunda, Nak? Menarilah. Karena di sana jauh lebih ringan untuk bergerak sebebasmu. Yang jelas, Bunda kemari hanya untuk mengabarkan, bahwa impianmu untuk membuat bunda tersenyum sudah terwujud. Buku karyamu yang membuat Bunda bahagia, buku ini banyak disukai orang-orang di luar sana. Embun bukan hanya membuat bunda tersenyum, tapi semua orang. Semua orang di Indonesia sudah kamu buat tersenyum. Karena kegigihanmu yang hebat itu. terimakasih, Nak. Terimakasih karena kehadiranmu memberi sebuah kenangan indah untuk Bunda bahkan sejuta inspirasi untuk negeri ini. Embun berkali-kali memperlihatkan apa itu keajaiban kepada kami semua… tenanglah di sana, Nak. Mimpi indah…”

-Tamat-

This fictive story is presented by:
Mutiara Larasati Permono/Aiyas Mutiara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar