Sabtu, 28 April 2012

Kerang Mutiara dan Laskar 10-nya (based on true story)


Kerang Mutiara dan Laskar 10-nya

Aiyas Mutiara
(@aiyasmutiara)

Saat raga ini menghadap ke bayangan cermin datar yang rata tanpa celah, saat itu pula aku menatap sosok pantulan gadis enam belas tahun yang kini mulai tumbuh menjadi remaja beranjak dewasa. Ekspresinya mengikuti gerakan otot-ototku. Saat aku tersenyum, maka bayangan itu pun akan tersenyum. Namun, apa yang terjadi padanya jika aku menggerakkan syaraf untuk menangis? Bayangan itu pun akan menangis.
Saat jemari ini menari indah di atas barisan rapih keyboard laptop, saat itu juga aku melihat sebuah layar yang menampilkan hasil karya sepuluh jariku. Yang pun sama… menunjukkan suasana 10 laskar jari-jemari yang bekerja sama menuangkan isi pikiranku. Kutulis b-a-h-a-g-i-a, dan susunan huruf itu yang akan kulihat pada layarnya. Namun, apa yang terjadi jika koordinasi otakku mengisyaratkan si ‘laskar 10’ untuk menulis t-e-r-l-u-k-a? layar kotak beraturan itu pun akan menampilkan barisan huruf yang sama. terluka…




Begitulah aku menuangkan luapan perasaan. Saat bahagia maupun terluka, cermin dan layar kotak itu yang menjadi teman bercerita. Memang hanya satu dimensi, maksudku, hanya aku yang aktif di dalamnya, sementara mereka —cermin dan layar— hanya menuruti kemauanku. Tapi memang itu yang aku mau.

Seperti saat ini, aku susun ratusan huruf yang menggambarkan lukisan hatiku. Ini perasaanku, dan kalian boleh meluangkan sedikit dari kesibukan mata dalam beraktifitas untuk sekedar membacanya.

Setidaknya, aku masih sama… seperti 16 tahun yang lalu, saat seorang wanita tulus berteriak lega karena anaknya lahir secara sehat. Selain waktu yang membawa fisikku tumbuh besar, tak ada yang berubah dari materi-materi penting lainnya di sini. Di hati ini…
Cukup bertele-tele aku sedari tadi. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan angin alami meniup leherku lembut sambil memutar kembali sebuah film dokumenter, yang tidak pernah secara denotasi kurekam dengan kamera apapun. Hanya kucatat baik-baik dalam sedikit memori yang tersisa di otakku.
Dan sebuah tulisan: ‘Elegi Mutiara dalam Kerang Air Mata’ muncul. Kurasa itu judulnya, judul film yang satu tahun yang lalu diperankan oleh gadis dalam cermin yang memiliki ‘laskar 10’ tadi.
Ini bukan memorial happy ending yang selalu menjadi tagline kebanyakan film drama romantis atau semacamnya. Ini elegi, yang entah bagaimana bisa menjadi sedikit hiperbola jika disandingkan dengan sesuatu yang mereka sebut ‘perasaan’.
Tak seberapa lama, saat seseorang menunjukkan perhatian lebih kepada seorang gadis yang belum lepas masa sekolah menengahnya. Hanya ucapan ‘good night’ atau sapaan selamat tidur di tiap harinya. Hingga sebuah watak asli si gadis yang memang perasa, menganggapnya istimewa.

“Nobody knows that heart can roll everything about love easily like wink your eyes”

Setelah hampir melewati tiga bulan, mereka saling mengobati luka setiap harinya, saat sang gadis percaya bahwa sebuah kata paling berharga yaitu ‘cinta’ benar-benar ada, ia tersungkur dalam sebuah lubang gelap dimana tak ada sesuatu apapun yang mampu diraihnya. Semuanya sepi, dingin, anyir, asing dan aneh. Apalagi saat ia menyadari bahwa seseorang telah mengkhianatinya.

Jeritan. Gadis itu menjerit dalam hati sambil menahan tetesan air asin jatuh bebas di lekuk pipinya. Semakin ditahannya, semakin teriris luka hatinya, semakin perih dan ini mengerikan.
Seperti menggaruk luka bakarmu dengan garpu makan. Seperti menaburi codetmu dengan garam, seperti menetesi kedua matamu dengan jeruk nipis. Seperti itu. Dan tak ada dokter manapun yang dapat mengoperasi luka dalammu itu.
Seperti itu sang gadis menahan lukanya, seperti itu sang gadis yang belum mampu bertahan itu meremas kepalan tangannya sendiri untuk tidak mengobrak-abrik seluruh isi kamarnya. Seperti itukah yang dinamakan t-e-r-l-u-k-a?

Sebuah gagang telepon diraihnya pertama kali saat ia sadar yang dialaminya bukan mimpi buruk. Hanya mimpi indah yang bohong, hanya sebuah alunan biola menyedihkan dari seorang maestro yang mereka sebut ‘ketidak adilan’.

“Dia… bohong.” Ucapnya lirih saat sebuah suara menyapanya dengan ‘halo?’
Suara sahabatnya, sahabat yang baru dua setengah tahun ini mengisi hari-harinya.
Seseorang dalam telepon itu ikut menangis. Menyadari bahwa sahabatnya telah dilukai. Yang secara konotasi lebih terluka daripada dihujam pisau.

Seandainya matahari terus-terusan mengisi langit seperti siang, mungkin tak akan ada waktu tidur untuk manusia.
Seandainya seorang sahabat tidak pernah ada memeluknya, mungkin gadis itu telah menjelma menjadi pecundang.
Seandainya tak ada kata terluka, mungkin gadis itu tak akan setegar sekarang. Tersenyum menatap hasil tulisannya. Berupa barisan huruf yang disusunnya sendiri dengan bantuan ‘laskar 10’nya, kali ini tanpa cermin tak bercelah, karena ini bukan sebuah bayangan. Ini sebuah maha karya dari Tuhan yang aku sebut ‘kenyataan’

Sebuah tulisan kembali menerpa pelupuk mataku: ‘tamat’

Akhirnya sampai pada ending dari pemutaran film dokumenter di dalam otakku, menyisakan tarian ‘laskar 10’ yang secara pasti menekan pelan tombol-tombol keyboard sambil tersenyum. Ya, sambil tersenyum.

Senyuman? Apakah ini happy ending? Bukan… akhir dari film itu memang busuk dengan airmata, sehingga dari awal kusebut sebagai sebuah elegi. Namun, senyuman ini adalah awal permulaan dari film yang baru.

Kuberi judul: ‘Harmoni Mutiara dalam Kerang Bahagia’

Beranilah untuk bangkit. Karena sesungguhnya apa yang ada di hadapanmu bukanlah akhir dari pemutaran film dokumentermu. Masih ada lanjutannya dan kamulah pemainnya. Meskipun Tuhan sutradaranya, tetap buat endingnya sebahagia yang kau bisa. 

“Itulah arena bermain kehidupan. Dimainkan oleh malam di atas pentas takdir sebagai tragedi, dinyanyikan oleh siang sebagai himne. Dan, di belakangnya dikawal oleh keabadian sebagai sebongkah batu permata” –Kahril Gibran

-Based on true story-
#MovingOn,
@aiyasmutiara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar