Lambaian tanganmu pagi itu, dari lantai dua gedung bercat putih yang tiap hari kau tapaki lantainya.
Aku menyaksikan senyumanmu merekah. Seakan menyambut aku yang pagi itu datang singgah ke kampusmu.
Ah, lagi-lagi baju kita senada, percaya atau tidak, aku selalu memperhatikan apa yang kau kenakan. Dan lagi-lagi percaya atau tidak, tak jarang pula kita mengenakan warna baju yang senada.
Aku menikmati tiap ocehan teman-teman yang menyaksikan langkah kita beriringan di depan mereka. Aku meyakininya adalah doa. Setidaknya mereka ikut bahagia melihat kita berjalan bersama.
Feelingku mungkin tidak terlalu kuat, tapi jarang sekali bilang salah.
Di ruangan yang begitu luas, tempat kami semua duduk menyaksikan tiga orang pembicara membeberkan cerita, berita, dan tawa mereka, aku terkadang diam. Sejenak tidak memerhatikan dialog yang sedang berlangsung.
Tiba-tiba aromamu menguar, seakan ada di sebelahku, seperti biasanya...
Aku sadar, aku merindukanmu. Apalah ini... klise, picisan, atau apa aku tidak tahu. Tapi, kalau ada yang bertanya padaku pada saat itu juga, "siapa yang kau inginkan sekarang ini, Yas?" maka aku akan berdiri, mengambil mic yang dipakai oleh MC acara, lalu meneriakkan namamu keras-keras. Hingga, di gedung manapun kau berada, kau akan mendengar suaraku. Dramatis. Tapi, realistis.
Akhirnya, usai...
Dengan sangat tidak sabaran, aku mencari sosokmu. Dan dengan sangat tidak sulit- pun aku menangkap siluetmu sedang duduk di tangga menuju kantin. Aku tersenyum simpul. Kemudian, sahabatku berbisik padaku, bahwa di sana ada kamu. Ah, Ita, aku sudah tau sedari tadi...
Tau kah kamu? Bahwa tidak ada candaan yang paling aku nantikan selain darimu. Buktinya, aku tak henti-hentinya tersenyum saat berada di sebelahmu.
Canda itu berakhir seperti biasa, saat dimana kita sama-sama bingung harus kemana kita main.Haha. jujur, bagian ini adalah yang paling membuat aku kesal. Hei, sebenarnya kemana pun kamu membawaku, aku turuti. Aku berani janji, aku akan turuti.
Rumahmu.
Ke sanalah tujuan kita, Sabtu siang itu.
Jalanan Kota tercinta Surakarta yang tidak pernah tidak membakar kulit manusia, siang itu menjadi sedikit mendung, setidaknya bagiku yang dengan nyaman berada di belakang kemudimu. Ah, selama apapun perjalanannya aku tidak akan merasa bosan kalau begini rasanya.
Udara dingin mulai terasa, warna hijau pun mulai ada dimana-mana, tampaknya sudah semakin dekat kita ke tujuan utama. Dan sampailah kita ke tempat dimana aku selalu tersenyum melihatnya. Aku ke sana untuk yang kali ketiga, dan ketiganya tidak pernah meninggalkan rasa sesal sedikitpun di dada. Serius!
Yang membuat aku bahagia adalah, aku punya keluarga. Ada mamah, ada bapak, ada adik, ada keponakan. Hal yang paling jarang aku lihat sejak setahun terakhir ini. Tawa yang kalian ciptakan selalu memetakan senyumanku juga. Tingkah adik-adikmu juga. Candaan tentang kopi, latihan mobil sampai obrolan ibu-ibu kampung tentang kegantengan anak laki-laki mereka yang pertama, semuanya berhasil mencetak garis bahagia, menarik ujung bibir kanan dan kiriku untuk membentuk simpul senyuman. Bahagia itu benar-benar-benar-benar sederhana.
Entah mengapa, aku merasa sudah lama ada di sana, bukan satu atau dua jam, tapi seperti sudah.... lama. Ah, mungkin karena aku benar-benar merindukan mamah dan papah. Atau mungkin, karena hati kecilku yang paling dalam, diam-diam mulai merapal nama orang-orang yang kulihat Sabtu sore kemarin itu, dengan sebutan "keluarga".
Seusai Jamaah Sholat Ashar, aku pun berpamitan. Bagian yang paling membuat aku deg-degan, ketika mencium tangan mamah dan bapak. Aku takut aku memberikan kesan yang tidak baik, atau setelah ini, kamu tidak lagi diperbolehkan untuk membawaku ke rumah. Ekspektasi terburuk perlahan mulai aku munculkan agar kebahagian sekecil apapun terasa begitu istimewa.
Kemudian, kalian berempat, mamah, bapak, adik, dan keponakan.. mengantar kepulanganku sampai di garis teras rumah. Itu juga yang membuatku menjerit pelan, "oh, boleh aku bawa mereka ke rumah, Tuhan? boleh aku tidak sekadar 2 jam merasakan kebahagiaan tadi? boleh aku mengambil gambar mereka? kemudian mencetaknya lebar-lebar agar aku bisa merasakan kehadiran mereka di rumahku? boleh?"
Air mata.
Benda yang satu ini adalah dia yang selalu diseka seperti halnya barang yang selalu ditolak kehadirannya, tapi Sabtu itu, aku membiarkan komplotan serdadu air mata itu meluncur semena-mena selama perjalanan pulang. Sepulangnya kamu mengantarku sampai jalan yang aku kenal, tentu.
Untungnya tidak ada yang bertanya padaku saat di lamu merah, "mbak? ada debu sebesar apa yang masuk ke mata? sampai mbak menangis sebegitunya?" hahaha, konyol.
Aku pulaaang.. selamat datang rumah. Rumah yang definisinya seratus delapan puluh derajat berbeda dengan yang seharian aku datangi tadi.
Untung ada adikku, yang membuatku tersenyum dan tetap mengucap salam untuk kemudian masuk.
Aku merndaratkan pesan ke ponselmu, ucapan terimakasih atas secuil bahagia yang baru saja kamu selipkan ke buku-buku jariku, setetes rasa manis yang kamu jejalkan ke lidahku untuk aku kecap bagaimana rasanya bahagia selama diculik. Haha...
Hey, percayakah kamu? saking bahagianya butuh waktu dua hari untuk benar-benar duduk tegap di hadapan laptop dan memulai menulis ini. Menceritakan semuanya ke dalam bentuk tulisan memang tidak pernah sulit bagiku, tapi tidak pernah menguras emosi sedalam yang kali ini...
Ini mungkin sejenis surat prosa yang dua tahun lalu sering aku kirimkan di blog lamaku. Blog yang sudah begitu hina untuk dibuka. Hahaha...
Bedanya, surat prosa yang kali ini sengaja aku layangkan buatmu... secara spesial buatmu...
Selamat tujuh yang ketiga :)
Aku memang menunggu ada momen yang spesial untuk mengucap ini di blogku... Dan Sabtu kemarin, jawabannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar