Kamis, 10 Oktober 2013

#MARKA3: Opini "Menuntut Anak Superior"

opini berisi pendapat dan sudut pandang penulis mengenai suatu peristiwa atau isu tertentu dengan tetap bersumber pada fakta. 

Menuntut Anak Superior

P
sikologi anak adalah komponen yang sejatinya dapat dibentuk oleh orang tua sejak dini. Bagaimana peran orang tua di dalam keluarga sangat berpengaruh untuk membentuk psikologi anak dan kemudian dapat mendukung aspek kognitif anak.



Ketika hal biasa sudah tidak ada apa-apanya. Ketika yang dinilai bukan lagi yang biasa saja. Ketika setiap manusia menuntut semuanya luar biasa. Mendekati sempurna. Pandangan itu mendadak menjadi doktrin bagi orang-orang yang tidak ingin ketinggalan di belakang. Manusia yang memang tidak pernah merasa puas, selalu menginginkan seratus, dan tidak akan puas jika hanya mendapat sembilan puluh sembilan.
Para orang tua misalnya, mereka selalu menuntut anak mereka untuk menjadi unggul. Tidak hanya rata-rata. Mereka mengusahakan apapun untuk menjadikan anak-anak mereka lebih daripada anak-anak lainnya. Maka tak heran, jika segala cara dilakukan orang tua untuk menjadikan anak mereka superior.
Usia 4,5 tahun masih dianggap sebagai usia balita yang seharusnya masih menghabiskan waktu sehari-hari mereka untuk bermain. Usia itu adalah usia paling optimal untuk merekam aktivitas apapun yang dilihat anak. Mereka akan bergerak aktif ketika bermain, dan mengoptimalkan gerak motorik. Secara sosiologi, tahapan anak di usia 3-5 tahun adalah tahap game play. Dimana di usia tersebut, anak-anak melalui proses imitasi, yaitu proses meniru apapun yang dilihatnya. Secara tidak langsung, orang tua berperan sebagai contoh yang setiap hari dilihat anak. Pada tahap game play, anak-anak tidak dianjurkan untuk mempelajari hal-hal kognitif, mereka cukup diajarkan bagaimana cara bermain dengan potensi-potensi belajar. Cara bermain yang dimaksud adalah bermain sambil belajar, tetapi bukan mempelajari aspek-aspek akademis, seperti membaca, menulis, menghitung dan menghafal. Memforsir kinerja otak anak untuk aktivitas-aktivitas kognitif seperti itu hanya akan mempersempit area eksplorasi bermain anak.
Seorang ahli psikologi anak, Tika Bisono berpendapat bahwa di usia-usia 3-5 tahun adalah pantangan bagi orang tua untuk mengajari calistung (membaca menulis dan menghitung) anak-anak mereka. Orang tua hanya boleh mengajari anak-anak mereka untuk bermain, menyanyi, mengenalkan mereka dengan benda-benda yang mereka anggap baru, membedakan antara benda hidup dan benda mati serta menirukan suara-suara hewan.
Padahal, seiring dengan perubahan zaman, orang tua justru melakukan hal yang sebaliknya, yang mereka anggap benar sebagai metode mendidik anak mereka. Mengajarkan anak untuk mampu calistung lebih dini memang perlu, untuk kesiapan mereka menuju usia sekolah dasar, tetapi jangan sampai mengganggu usia bermain anak, yaitu usia 3-5 tahun. Di lingkungan metropolitan misalnya, karena kesibukan yang tidak dapat orang tua hindari, kerap kali nasib anak-anak mereka yang menjadi taruhannya. Dengan segera mereka memasukkan anak-anak mereka ke kursus-kursus calistung. Dengan iming-iming ‘cepat bisa membaca’ atau ‘lancar membaca alam seminggu’. Dibalik semua slogan-slogan itu, kebutuhan anak untuk bermain perlahan-lahan sedang dibunuh. Anak-anak memang lancar calistung, bahkan mendahului anak lainnya, orang tua pun merasa bangga dengan anak mereka yang superior itu, tapi di sisi lain, secara psikologis, anak kehilangan momen terpenting di dalam hidup mereka untuk bermain dan mengeksplor dunia mereka dengan teman-teman sebayanya.
Dampak dari teburu-burunya sikap orang tua dalam mendidik anaknya tersebut tidak dirasakan secara serta merta pada saat itu juga. Sampai di bangku sekolah dasar, anak-anak superior memang selalu unggul di bidang akademis dan kognitif. Mereka akan cepat menyerap pelajaran karena memang sudah lancar dalam membaca, menulis dan berhitung. Lebih dari anak-anak lain seusia mereka yang kadang terhambat karena faktor belum bisa calistung. Akan tetapi menjelang remaja, anak-anak superior akan merasakan dampaknya, otak mereka terlalu sering dipaksa untuk berpikir dan berpikir, sehingga kesulitan untuk bersosialisasi dengan dunia yang sebenarnya yaitu dunia di dalam lingkungan masyarakat. Berbeda dengan anak yang pada usia 3-5 tahun dioptimalkan aktivitas bermainnya. Mereka yang belum mengenal akademik di usia-usia itu akan lebih mampu menempatkan diri mereka di lingkungan bermasyarakat.
Tika Bisono memaparkan lagi bahwa pembunuhan karakter anak melalui pembelajaran akademis yang terlalu dini dapat memengaruhi kondisi psikologi anak menjelang usia akil balik. Hal itu juga dapat memengaruhi emosional mereka sehingga tak jarang anak menuntut hal-hal yang berlebihan kepada orang tua mereka.
Pada akhirnya, orang tua sendiri lah yang kesulitan menghadapi kondisi anak yang demikian itu. Apalagi setiap anak akan melalui fase berontak, dimana mereka tidak akan mau diatur-atur oleh orang tua mereka, mereka ingin dihargai bukan lagi sebagai anak kecil tapi sebagai remaja yang ingin dianggap telah dewasa dan tidak perlu lagi aturan-aturan dari orang tua mereka.
Perilaku paling ekstrem yang dapat dilakukan oleh anak yang psikologinya terganggu akibat pembunuhan karakter tersebut adalah penyalahgunaan fasilitas yang diberikan orang tua. Terkadang, sering kita jumpai anak yang meminta barang-barang yang sebenarnya belum perlu. Tuntutan-tuntutan seperti itu biasanya disertai dengan ancaman yang mengkhwatirkan orang tua mereka.
“Aku mau handphone baru! Kalo papah nggak belikan aku nggak mau belajar!”
Kalimat seperti itu lah yang kadang memprihatinkan orang tua. Anak yang sedang berada di fase berontak, sering menggunakan ancaman-ancaman untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Setelah apa yang mereka mau dipenuhi pun akan menimbulkan permasalahan baru. Seperti penyalahgunaan barang-barang tersebut.
Rasa ingin tahu yang tinggi menjadi faktornya. Ditambah ketersediaan fasilitas. Handphone misalnya, akun-akun sosial media yang dapat diakses melalui handphone dimana saja dan kapan saja mengakibatkan anak lebih sering menghabiskan waktu mereka untuk menatap layar handphone, sehingga parahnya, waktu mereka untuk belajar maupun untuk bersosialisasi tersita.
Bagi keluarga yang berada, handphone mungkin sudah menjadi barang yang biasa saja. Pada akhirnya orang tua mulai menjanjikan sebuah mobil untuk anak mereka. Usia remaja sama sekali belum pantas untuk mengemudikan mobil dengan alasan apapun. Secara hukum maupun secara psikologis. Secara hukum, jelas, usia remaja sekitar 13-16 tahun belum mendapatkan izin secara resmi untuk mengemudi. Secara psikologis pun demikian, emosi anak usia remaja masih belum stabil, mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kasus remaja yang menjadi tersangka kecelakaan beruntun yang juga menewaskan total tujuh orang beberapa minggu lalu menjadi bukti, bahwa orang tua mengambil peran utama dalam membentuk psikologi anak. Psikologi anak dapat dibentuk sejak dini, seperti memberikan rasa aman dan nyaman ketika anak di rumah, tidak menuntut anak untuk menjai lebih baik dari teman-temannya, termasuk membiarkan anak belajar dengan caranya masing-masing, termasuk dengan membiarkan anak bermain sepuasnya ketika berusia 3-5 tahun. Setelah usia itu baru lah orang tua diperbolehkan untuk memasukkan anak mereka ke Taman Kanak-kanak dimana anak akan mulai diberi pelajaran akademis sesuai dengan kurikulum. Setelah anak diberi persiapan secara matang di bangku TK, anak baru akan dinyatakan siap untuk memasuki jenjang yang berikutnya yaitu di bangku sekolah dasar atau SD. (mlp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar