opini berisi pendapat dan sudut pandang penulis mengenai suatu peristiwa atau isu tertentu dengan tetap bersumber pada fakta.
Menuntut Anak Superior
P
|
sikologi anak adalah
komponen yang sejatinya dapat dibentuk oleh orang tua sejak dini. Bagaimana
peran orang tua di dalam keluarga sangat berpengaruh untuk membentuk psikologi
anak dan kemudian dapat mendukung aspek kognitif anak.
Ketika
hal biasa sudah tidak ada apa-apanya. Ketika yang dinilai bukan lagi yang biasa
saja. Ketika setiap manusia menuntut semuanya luar biasa. Mendekati sempurna.
Pandangan itu mendadak menjadi doktrin bagi orang-orang yang tidak ingin
ketinggalan di belakang. Manusia yang memang tidak pernah merasa puas, selalu
menginginkan seratus, dan tidak akan puas jika hanya mendapat sembilan puluh
sembilan.
Para
orang tua misalnya, mereka selalu menuntut anak mereka untuk menjadi unggul.
Tidak hanya rata-rata. Mereka mengusahakan apapun untuk menjadikan anak-anak
mereka lebih daripada anak-anak lainnya. Maka tak heran, jika segala cara
dilakukan orang tua untuk menjadikan anak mereka superior.
Usia
4,5 tahun masih dianggap sebagai usia balita yang seharusnya masih menghabiskan
waktu sehari-hari mereka untuk bermain. Usia itu adalah usia paling optimal
untuk merekam aktivitas apapun yang dilihat anak. Mereka akan bergerak aktif
ketika bermain, dan mengoptimalkan gerak motorik. Secara sosiologi, tahapan
anak di usia 3-5 tahun adalah tahap game play.
Dimana di usia tersebut, anak-anak melalui proses imitasi, yaitu proses
meniru apapun yang dilihatnya. Secara tidak langsung, orang tua berperan
sebagai contoh yang setiap hari dilihat anak. Pada tahap game play, anak-anak tidak dianjurkan untuk mempelajari hal-hal
kognitif, mereka cukup diajarkan bagaimana cara bermain dengan potensi-potensi
belajar. Cara bermain yang dimaksud adalah bermain sambil belajar, tetapi bukan
mempelajari aspek-aspek akademis, seperti membaca, menulis, menghitung dan
menghafal. Memforsir kinerja otak anak untuk aktivitas-aktivitas kognitif
seperti itu hanya akan mempersempit area eksplorasi bermain anak.
Seorang
ahli psikologi anak, Tika Bisono berpendapat bahwa di usia-usia 3-5 tahun
adalah pantangan bagi orang tua untuk mengajari calistung (membaca menulis dan
menghitung) anak-anak mereka. Orang tua hanya boleh mengajari anak-anak mereka
untuk bermain, menyanyi, mengenalkan mereka dengan benda-benda yang mereka
anggap baru, membedakan antara benda hidup dan benda mati serta menirukan
suara-suara hewan.
Padahal,
seiring dengan perubahan zaman, orang tua justru melakukan hal yang sebaliknya,
yang mereka anggap benar sebagai metode mendidik anak mereka. Mengajarkan anak
untuk mampu calistung lebih dini memang perlu, untuk kesiapan mereka menuju
usia sekolah dasar, tetapi jangan sampai mengganggu usia bermain anak, yaitu
usia 3-5 tahun. Di lingkungan metropolitan misalnya, karena kesibukan yang
tidak dapat orang tua hindari, kerap kali nasib anak-anak mereka yang menjadi
taruhannya. Dengan segera mereka memasukkan anak-anak mereka ke kursus-kursus
calistung. Dengan iming-iming ‘cepat bisa
membaca’ atau ‘lancar membaca alam
seminggu’. Dibalik semua slogan-slogan itu, kebutuhan anak untuk bermain
perlahan-lahan sedang dibunuh. Anak-anak memang lancar calistung, bahkan
mendahului anak lainnya, orang tua pun merasa bangga dengan anak mereka yang
superior itu, tapi di sisi lain, secara psikologis, anak kehilangan momen
terpenting di dalam hidup mereka untuk bermain dan mengeksplor dunia mereka
dengan teman-teman sebayanya.
Dampak
dari teburu-burunya sikap orang tua dalam mendidik anaknya tersebut tidak
dirasakan secara serta merta pada saat itu juga. Sampai di bangku sekolah
dasar, anak-anak superior memang selalu unggul di bidang akademis dan kognitif.
Mereka akan cepat menyerap pelajaran karena memang sudah lancar dalam membaca,
menulis dan berhitung. Lebih dari anak-anak lain seusia mereka yang kadang
terhambat karena faktor belum bisa calistung. Akan tetapi menjelang remaja, anak-anak
superior akan merasakan dampaknya, otak mereka terlalu sering dipaksa untuk
berpikir dan berpikir, sehingga kesulitan untuk bersosialisasi dengan dunia
yang sebenarnya yaitu dunia di dalam lingkungan masyarakat. Berbeda dengan anak
yang pada usia 3-5 tahun dioptimalkan aktivitas bermainnya. Mereka yang belum
mengenal akademik di usia-usia itu akan lebih mampu menempatkan diri mereka di
lingkungan bermasyarakat.
Tika
Bisono memaparkan lagi bahwa pembunuhan karakter anak melalui pembelajaran
akademis yang terlalu dini dapat memengaruhi kondisi psikologi anak menjelang
usia akil balik. Hal itu juga dapat memengaruhi emosional mereka sehingga tak
jarang anak menuntut hal-hal yang berlebihan kepada orang tua mereka.
Pada
akhirnya, orang tua sendiri lah yang kesulitan menghadapi kondisi anak yang
demikian itu. Apalagi setiap anak akan melalui fase berontak, dimana mereka
tidak akan mau diatur-atur oleh orang tua mereka, mereka ingin dihargai bukan
lagi sebagai anak kecil tapi sebagai remaja yang ingin dianggap telah dewasa
dan tidak perlu lagi aturan-aturan dari orang tua mereka.
Perilaku
paling ekstrem yang dapat dilakukan oleh anak yang psikologinya terganggu
akibat pembunuhan karakter tersebut adalah penyalahgunaan fasilitas yang
diberikan orang tua. Terkadang, sering kita jumpai anak yang meminta
barang-barang yang sebenarnya belum perlu. Tuntutan-tuntutan seperti itu
biasanya disertai dengan ancaman yang mengkhwatirkan orang tua mereka.
“Aku
mau handphone baru! Kalo papah nggak belikan aku nggak mau belajar!”
Kalimat
seperti itu lah yang kadang memprihatinkan orang tua. Anak yang sedang berada
di fase berontak, sering menggunakan ancaman-ancaman untuk mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Setelah apa yang mereka mau dipenuhi pun akan menimbulkan
permasalahan baru. Seperti penyalahgunaan barang-barang tersebut.
Rasa
ingin tahu yang tinggi menjadi faktornya. Ditambah ketersediaan fasilitas.
Handphone misalnya, akun-akun sosial media yang dapat diakses melalui handphone
dimana saja dan kapan saja mengakibatkan anak lebih sering menghabiskan waktu
mereka untuk menatap layar handphone, sehingga parahnya, waktu mereka untuk
belajar maupun untuk bersosialisasi tersita.
Bagi
keluarga yang berada, handphone mungkin sudah menjadi barang yang biasa saja. Pada
akhirnya orang tua mulai menjanjikan sebuah mobil untuk anak mereka. Usia
remaja sama sekali belum pantas untuk mengemudikan mobil dengan alasan apapun.
Secara hukum maupun secara psikologis. Secara hukum, jelas, usia remaja sekitar
13-16 tahun belum mendapatkan izin secara resmi untuk mengemudi. Secara
psikologis pun demikian, emosi anak usia remaja masih belum stabil, mereka
belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kasus
remaja yang menjadi tersangka kecelakaan beruntun yang juga menewaskan total
tujuh orang beberapa minggu lalu menjadi bukti, bahwa orang tua mengambil peran
utama dalam membentuk psikologi anak. Psikologi anak dapat dibentuk sejak dini,
seperti memberikan rasa aman dan nyaman ketika anak di rumah, tidak menuntut
anak untuk menjai lebih baik dari teman-temannya, termasuk membiarkan anak
belajar dengan caranya masing-masing, termasuk dengan membiarkan anak bermain
sepuasnya ketika berusia 3-5 tahun. Setelah usia itu baru lah orang tua diperbolehkan
untuk memasukkan anak mereka ke Taman Kanak-kanak dimana anak akan mulai diberi
pelajaran akademis sesuai dengan kurikulum. Setelah anak diberi persiapan
secara matang di bangku TK, anak baru akan dinyatakan siap untuk memasuki
jenjang yang berikutnya yaitu di bangku sekolah dasar atau SD. (mlp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar