Senin, 27 Mei 2013

Semangat Yaa

Buat masku yg tiap malem ngucap selamat bobok dan tiap bangun ngucap selamat pagi..
Jangan sedih karna aku nangis, ya.. Ayas nangis karna kesel kenapa orang se-wow masku bisa meleset.
Dan rasanya percuma banget aku seneng2 kalo masku belom seneng..
Tenang mas, Allah still prepares something special for you..
Ayas bakal support selaluuu :'

-buat kamu, pemilik angka tujuh

Sabtu, 18 Mei 2013

Memulai (Songfiction Kekasih Sejati – Monita)

Memulai (Songfiction Kekasih Sejati – Monita)
by: @lisa_nasi_damay

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau mebuat waktuku
Tersita dengan angan tentangmu

Pikiranku semakin kacau. Sekarang. Bukan hanya dia yang ada didalam pikiranku. Tetapi ada kamu, Gabriel yang mulai berkeliaran secara liar dikepalaku. Aku mulai mengacak-ngacak rambutku dan mulai menghempaskan tubuh di atas kasur.

Aku menghela nafas. Sudah lama aku menyimpan semuanya sendiri. Menyimpan perasaan ini. Mencintai dia dengan diam-diam. Dan sakitnya terasa dua kali lipat. Aku ingin marah ketika dia dikelilingi dengan perempuan yang lain. Tapi, siapa aku? Aku ini bukan siapa-siapa dia. Aku hanya temannya. Sudah itu saja tidak lebih.

Mungkin ini akibatnya, karena aku tidak membiarkan orang yang aku sayang tahu tentang perasaan ini. Sehingga aku terlambat. Terlambat, mengetahui jika dia juga mempunyai perasaan yang sama denganku.

Aku merasakan sakit itu, pedih, pilu, ngilu itu. Tapi, aku sendiri juga menyakiti kamu. Iya, kamu Gabriel yang tak pernah bosan menungguku. Padahal, aku merasakan apa yang kamu rasakan.

Betapa jahatnya diriku ini. Mungkin, aku memang pantas diberi gelar sebagai tersangka yang telah menorehkan luka di hati kamu. emhh… ternyata setelah kuingat-ingat bukan hanya kamu. iya, di luar sana banyak lelaki yang selalu menatikan aku membuka pintu hatiku. Namun, sayang mereka tak segigih kamu yang terus-terusan berjuang mengetuk pintu hatiku.

Andaikan hatiku jatuh di kamu. Waktuku pasti tidak akan terbuang percuma hanya untuk memikirkan dia, Rio yang benar-benar akan menjadi milik Shilla.

Aku beranjak dari kasurku, lalu berjalan mendekat kearah meja yang terletak disudut kamarku. Membuka lacinya dan mengambil semua barang yang ada didalamnya tanpa tersisa. Tak lupa aku mengambil gunting yang tergeletak diatas meja itu.

Entah mengapa, tiba-tiba kakiku terasa berat untuk melangkah. Aku mulai terjatuh. Seperti anak kecil ketika terjatuh. Aku menangis pilu. Kali ini aku terjatuh bukan karena tersandung batu atau apapun. Tapi, karena kenangan itu kembali terputar. Aku berteriak histeris.

Ponsel mulai berdering dengan suara yang nyaring. Aku merogoh kantongku. Kulihat nama yang tertera di layar ponselku dan itu adalah… dia. Mengapa dia harus menghubungiku ketika aku sedang menangis karenanya. Aku mulai mengatur nafasku.

“Halo! Ini Nitify Clarissa Andita. Ada yang bisa aku bantu. Kalau enggak ada mending tutup aja. Udah malam nih, udah ngatuk. Mau bobo, bobo cantik hehehehe.” Aku tertawa. Iya, tertawa getir lebih tepatnya yang berlomba dengan isak tangisku.

“Kalau gitu saya ganggu kamu, ya. Maaf. Kamu boleh tidur sekarang,”gumamnya dengan nada suara datar.

“Aku bercanda, Rio.”

“Aku tahu itu. aku selalu tahu tanpa pernah kamu bilang sekalipun.”

Kalimat itu. Aku paling membenci kalimat itu. Aku merasa ini memang tidak adil untuku. Lalu, apakah dia tahu? Lagi-lagi aku menghabiskan malamku dengan menangisinya? Apakah dia tahu?

Aku semakin terisak. Meremas ujung baju dan menggigit bibir bawahku.

“Aku hanya menggingatkanmu. Bahwa kamu sudah berjanji akan hadir di hari istimewa saya dan Shilla. Kamu tidak lupakan?”tanyanya dengan nada suara yang terdengar senang.

Aku memejamkan kedua mataku dan menahan nafasku. “Aku tidak akan lupa, Kario Utama Perwira. Aku akan selalu memenuhi janjiku…”

“Oke, kalau begitu. Selamat malam Ify. Selamat tidur cantik,”godanya dan dia mulai memutuskan panggilan itu.

Aku semakin berteriak histeris, mengacak-ngacak rambut atau bahkan sesekali menjambaki rambutku sendiri. Tanganku yang lemas dan semakin bergetar ini mulai mengetikan pesan untuk sahabatku sembari melirik kearah gunting yang ada digenggaman tangan kiriku.

To: Sivia Ariza

Seperti apa yang kamu bilang, Vi. Aku akan melupakan segalanya dan mengakhiri segalanya. Selamat tinggal Nitify Clarissa Andita. Karena kamu tak akan menemuinya lagi. Sahabatmu…

Aku melempar ponselku secara sembarang. Ketika menatap gunting itu aku menelan ludahku. Aku mulai menggerakan gunting itu keatas. Ini pilihan yang terbaik. Aku tahu Sivia yang rumahnya disebelah rumahku langsung kemari jika membaca pesan itu. jadi, sebelum Sivia datang. Aku lebih baik melakukannya terlebih dahulu.

Aku meyakinkan diriku. Aku mulai memejamkan mataku. Menggerakan gunting itu semakin dekat… dan dekat.

“IFY BUKA PINTUNYA!”

Aku tahu itu suara Sivia dan aku tahu dibelakang Sivia sudah ada keluargaku dan keluarganya. Tapi, maaf Vi aku belum bisa membuka pintu itu sebelum aku melakukanya.

Gunting itu semakin dekat dan…. semakin liar bergerak. Tangisku semakin kencang dan aku semakin histeris. Aku menjerit kencang. Tak lama, kurasakan kepalaku semakin berat dan penglihatanku mulai tak jelas. Gunting itu terjatuh serentak dengan jatuhnya tubuhku. Aku berhasil. Dan pintu kamarku juga berhasil di dobrak.

Mencoba lupakan
Tapi ku tak bisa
Mengapa begini

***

Mataku mulai terbuka secara perlahan-lahan. Setelah itu, aku mulai mengedarkan pandanganku. Aku langsung menemukan Sivia yang sudah memasang tampang cemberut dengan kedua tangan yang disilangkan didadanya.

“Untung ya. Untung banget, kamu itu masih hidup ya. Kalau kamu ngelakuin hal gila kayak gitu lagi. Aku yakin kita gak bakal ketemu lagi. Dan kamu tahu, Fy? Aku akan menangis sejadi-jadinya,”ucap Sivia yang panjang lebar dan mulai berjalan mondar-mandir kayak gosokan. Aku tertawa kecil memperhatikan tingkah lakunya yang seperti ibu-ibu namun seperti anak kecil.

“kamu ketawa, Fy? Ngetawain kalau ini semua lucu, gitu? Apa-apaan coba kamu sms kayak gitu. Hahaha iya, ya lucu banget. Sampe-sampe bikin jantungan orang sekomplek. Puas?”

Aku tertunduk dan semakin tersudutkan. “Maaf, Vi. Maksud aku. Aku akan melupakan dia. Mengubur dia dalam-dalam. Aku akan memulai hidupku yang baru. Makanya untuk melupakan itu. aku harus melenyapkan semua barang yang pernah dia kasih ke aku. Dan hal yang paling utama itu, aku harus melenyapkan foto aku dan dia. Kamu tahu kan foto yang aku maksud?”

Sivia berhenti dari aktivitasnya. Menatapku dan mengangguk.

Iya, aku merobek-robek, mengoyakan foto itu dengan gunting. Foto yang diambil ketika aku dan dia ada di taman. Dia yang merangkul dan tetap memandang lurus kedepan. Sedangkan aku tersipu-sipu dan tertunduk malu. Kata Sivia ketika itu, semua orang juga tahu kalau aku menyukainya ketika melihat foto itu. Memang bodoh sekali aku ini.

“Oke, itu bagus. Tapi dengan tidak nge-sms-in aku dengan sok misterius gitu, Ngerti?”tanya Sivia dengan tersenyum menggoda. Aku mengangguk.

“Ya udah. Aku pulang dulu. Mau nenangi diri. Dan diluar sana sudah ada orang yang dari tadi cemas dan cerewetnya minta ampun melibihi nyakop aku dan mpok atik.”

Sivia dengan cepat menghilang. Tak lama, terlihat kamu yang sudah berada diambang pintu. Menghentikan langkahmu sejenak. Menatapku. Menyunggingkan senyuman. Dan mulai melangkah mendekatiku. Aku berusaha mengangkat tubuhku dan membalas senyumu.

“Gimana, Fy? Kamu baik-baik aja kan?”tanya kamu cemas dan telapak tangan kananmu langsung memeriksa keningku.

“Aku baik dan akan selalu baik-baik saja.”

“Kamu sedang terluka, Fy. Kamu sedang rapuh. Pelan-pelan, Fy jika ingin melupakannya. Kalau kau terburu-buru , luka itu bukannya mengecil tetapi malah bertambah besar. Dan aku tidak mau kamu terluka.”

Aku menatap matanya. Kemudian keheningan mulai menyelimuti suasana dikamarku. Aku dan kamu mulai beradu pandangan. Aku meraih lengan kanannya dan mencoba menjauhkan dari keningku.

Aku tersenyum tipis. “Jangan membuat aku semakin bersalah dengan segala perhatian yang telah kau berikan padaku. ”

“Kamu tidak perlu khawatir. Karena luka itu akan segera sembuh.”

Kedua alismu mulai beradu hingga membuat keningmu berkerut. Aku tertawa melihat air mukamu itu. dan jika kamu seperti itu kamu begitu mirip dengan… tidak! Kamu adalah kamu. dia adalah dia.

“Karena aku ingin memulainya bersamamu. Bantu aku, Yel. Aku ingin mencoba membuka hatiku untukmu. Maka itu, gak ada salahnya kan jika kita coba terlebih dahulu?”tanyaku sambil menatapnya mencoba meyakinkan.

“Kamu serius, Fy?”tanya kamu yang tak percaya. Senyum diwajahmu itu semakin mengembang. Aku mengangguk.

***

Hari ini, aku merasakan diriku yang tidak lagi terperangkap diantara sekat-sekat. Aku bahagia, aku senang. Karena ada kamu yang mau melalui hari-harimu bersamaku. Walaupun aku tak tahu, apakah dia benar-benar menghilang dari hatiku atau… entahlah.

Aku berjalan bersamanya ke Caffe yang biasanya aku dan dia kunjungi. Kamu sama sekali tidak keberatan. Namun, ketika pandanganku tertuju kesudut Caffe ini. Aku menahan nafas. Kamu menyenggol lenganku.

“Ada dia disudut sana. kamu mau nyamperin atau pura-pura tidak tahu?”tanyamu yang langsung mendapat jawaban dariku dengan melihat kalau akau mengankat bahuku.

“Sebaiknya kamu nyamperin dia. Lagian disitu juga ada Shilla dan… aku pastinya.”

Aku mengganguk dan menuruti langkahnya. kamu mulai berjalan mendekat kearah meja dia dengan mengandeng tanganku.

“Ify,”gumamnya sambil tersenyum tipis.

“Hai, Rio! Hai, Shilla. Kenalin ini Gabriel.”

Kamu mulai mengulurkan tanganmu dan langsung dibalas dia dan Shilla. Aku dan kamu mulai duduk.

“Gabriel ini siapa kamu, Fy? Pacar kamu?”tanya Shila sembari menaikan kedua alisnya dan menggodaku.

“kita teman kok, Shill.”

“Teman atau demen? Hahaha,”godanya sembari tertawa. “Oh ya, Yo. Aku ke toilet sebentar ya.” Dia hanya mengangguk.

“Kalian udah kenal lama?” akhirnya dia mulai membuka suara.

“Lumayan,”jawabmu yang langsung mengalihkan perhatian ke ponselmu yang sudah berdiring sedari tadi. “Bentar ya, aku angkat dulu.” Kamu segera menjauh.

Sekarang. Hanya aku dan dia yang tertinggal dan dia mulai menatapku. Aku menelan ludah.

“Kamu menyukainya? Tapi saya tak yakin kamu bisa secepat itu menyukainya dan secepat itu pula melupakan saya,”ceplosnya. Kerongkonganku langsung terasa tercekat.

“Jangan jadikan dia pelarian, Fy. kamu tak kasihan padanya? Saya tahu kamu cemburu pada saya. Jangan pernah mencoba untuk berbohong. Karena saya tahu segalanya tanpa pernah kamu bilang sekalipun.”

“kamu sok tahu. Aku tidak cemburu. Aku sudah mengikhlaskanmu. Lagian, aku sudah bilang tadi kan. Kalau aku dan dia hanya teman. Mungkin kamu yang cemburu padaku. Ayo, mengaku saja,”tandasku.

Dia mulai mendengus. “Kalau saya bilang saya cemburu apa kamu mau menjauhinya? Lalu, membuat lukamu semakin besar? Maaf, saya tidak sejahat itu. maka itu saya akan bilang kalau saya tidak cemburu padamu. Kamu bilang dia temanmu. Tapi, dia berharap lebih, Fy.”

Tuhan. Aku benar-benar membencinya. Karena dia selalu membuatku merasa bersalah. Dan karena dia selalu membuat aku tersudutkan. Aku menghela nafas. Sesak.

“Justru aku senang. Karena sepertinya dia lebih baik dariku dan lebih pantas jika bersamamu. Aku akan selalu mendoakanmu. Aku yakin kamu akan baik-baik saja.”

Kamu mulai duduk kembali disampingku sembari melempar senyum kerah dia. Lalu, Shilla juga kembali. Aku sama sekali tak mengerti ini semua.

Dia mulai beranjak ketika Shila membisikannya sesuatu.

“Pokoknya kamu harus datang ya, fy. minggu depan nanti,”pintanya yang langsung mengacak-ngacak poniku.Ternyata dia masih mengingatkanku. Aku mengangguk. Dia mulai berjalan pergi.

“Kamu dateng aja. Gak perlu bingung kamu bisa nginep dirumah aku, Fy. pokoknya harus datang ya. Aku gak mau lihat Rio yang terus-terusan manyun hehehe. Dah! Sampai ketemu di Bandung,”timpal Shilla sembari melambaikan tangannya dan menyusul dia dengan berlari kecil.

Oh mungkin aku bermimpi menginginkan dirimu
Untuk ada di sini menemaniku
Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku
Semoga tak sekedar harapku

***

Aku tidak tahu dengan apa yang aku rasakan sekarang. Menangis atau tersenyum tapi dalam hati meringis. Aku sama sekali tidak tahu. Sekarang mobil ini sudah memasuki kota Bandung. Dan sekarang… adalah hari dia dan Shilla. Aku menghela nafas sembari menatap kamu yang terus menyetir.

Ponsel terus-terusan berdering. Aku tahu siapa yang menghubungiku. Ya, itu pasti Sivia yang udah berkoar-koar. Karena acaranya akan dimulai. Acara dia dan Shilla. Sivia memang lebih dahulu ke Bandung karena mamanya Sivia itu teman baiknya mamanya dia. Bahkan sudah seperti saudara. Ternyata, banyak hal yang masih belum aku mengerti.

“Iya, Vi kenapa?”tanyaku langsung.

“Fy, bisa cepetan dikit gak sih. Mau mulai, nih. cepetan kek. Awas aja kalau telat. Aku sama Rio bakal marah besar. Oke bye!” Seketika panggilan itu langsung terputus. Aku menghela nafas. Kamu menatapku sebentar sembari tersenyum penuh arti.

Bila kau tlah menjadi milikku
Aku takkan menyesal kelak
Telah jatuh hati

Aku memejapkan mataku dan berusaha mengatur irama nafasku. Andai, ini adalah hari aku bersama dia. Betapa bahagianya aku. Andai yang ada diposisi Shilla itu aku. Betapa bersyukurnya aku, Tuhan. Aku sama sekali tak akan menyesalinya.

Aku merasakan laju mobil ini mulai kamu pelankan. Buru-buru aku langsung membuka mataku.

“Ada apa?”

“kayaknya ada kecelakaan.”

“Coba aku lihat.”

Aku langsung menghambur keluar. Mencoba menyaksikan apa yang terjadi. Mencoba mencari celah diantara kerumunan itu. aku hanya bisa melihat sedikit. Dan sepertinya aku merasa tak asing lagi dengan korban yang ada didalam mobil itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak mungkin. Tidak mungkin! Ini sama sekali tidak mungkin! Ini hari bahagia mereka. Tidak mungkin ada disini. Aku mulai berjalan mundur sembari terus menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku mulai berlari dan masuk kedalam mobil.

“Kamu kenapa, Fy? emang siapa yang kecelakaan?”tanya kamu.

Nafasku semakin memburu. Wajah itu terus menari-nari dikepalaku. Darah yang terus mengalir dan menodai bajunya serta suara yang meringgis-ringgis kesakitan.

“Yel mending kita langsung jalan lagi aja. Supaya cepat sampai gitu. Supaya Sivia enggak nelpon terus-terusan.”

Kamu menurut dan langsung memacu mobilmu kembali. Sedangkan aku hanya berharap bahwa akan baik-baik saja dan aku salah melihat orang.

Ponselku kembali berdering. Lagi-lagi dari Sivia.

“Fy, Fy. kabar buruk Fy. kamu cepetan kesini. Kemungkinan gak tertolong.”

Deg. Jantungku semakin berpacu.

“Vi, bicara yang jelas dong. Maksudnya apaan? Jangan bikin panik tau. Aku kan juga ikut panik.”

Ponselku terlepas dari genggaman tanganku dan tangaku mulai bergetar. Tubuhku terasa lemas. Bahkan bibirku juga ikut bergetar. Air bening itu langsung meluruh dan saling berlomba-lomba berjatuhan. Apa maksudnya ini, Tuhan? Permainan apa lagi yang akan dimainkan? Aku harus bagaimana?

Semoga tak sekedar harapku

***

Dia yang Sejati (songfiction Kekasih Sejati – Monita Idol)

Dia yang Sejati
(songfiction Kekasih Sejati – Monita Idol)

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku tersita dengan angan tentangmu
Mencoba lupakan tapi kutakbisa
Mengapa begini…
Oh mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada di sini menemaniku
Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku,
semoga tak sekedar harapku.
Bila tak menjadi milikku
Aku takkan menyesal telah jatuh hati
***

“Oke, kalo kamu emang nggak bisa buka hatimu buat aku. Aku bersedia, Rin. Aku rela. Asalkan kamu… berhenti anggap aku transparan. Aku benci sikap kamu yang kaya gini…”

Gadis mungil bernama Arinda itu baru sekali mendengar ada lelaki yang benar-benar memohon kepadanya.

“Aku mohon, Rin. Mencintai kamu adalah pilihanku. Dan juga adalah hak kamu buat nerima aku atau enggak. Percaya, Rin… aku nggak akan banyak berharap lagi dari kamu, tapi… izinin aku untuk bisa selalu sama kamu. Terserah kamu, sebagai apa.”

“Dega…” Arinda menahan air matanya, “maafin aku…”

***

“Cinta itu mencintai. Kalau kau memilih untuk mencintai seseorang, itu lah cinta. Dan jangan paksakan dia untuk membalasnya. Kalaupun dia membalas perasaanmu, itu Cuma bonus. Cinta yang sebenarnya adalah saat seseorang memutuskan untuk mencintai seseorang. Bukan saat cinta dibalas cinta.” –anonim

***

“Aku tunggu di mobil?” tanya Dega, pemuda yang duduk di belakang setir kemudinya.

“Boleeh… tapi kalau mau ikut masuk, juga nggak apa-apa.”

“Oke deh. Nanti aku nyusul. Mau parkir dulu.”

“Siap, bos!”

Arinda keluar dari mobil, berjalan beberapa langkah, tapi lalu berbalik lagi, dan melongok ke jendela mobil lagi.

“Kopi cokelat? Kamu pesan itu?” tanya Arinda.

Dega tertawa kecil, “iya, pikuuun. Pernah aku ganti selera? Kaya biasanya aja deh…”

“Oke.”

Kini, Arinda benar-benar sudah melangkah menjauhi mobil Dega dan memasuki Café itu. Latte Café, yang banyak menjadi saksi cerita dari gadis mungil itu.

Siang bolong begini, suasana café memang tidak terlalu ramai, tapi tetap saja Arinda harus mengantre di meja pesan, karena banyak pengunjung yang membeli untuk dibawa pulang.

“Ada yang bisa dibantu, Mbak? Mau pesan apa?” tanya petugas café.

“Kopi cokelat satu. Cappuccino satu.”

“Silakan ditunggu ya Mbak.”

Arinda mengangguk, sambil memamerkan senyumannya. Pandangannya beredar ke sekeliling, lalu terpaku pada seorang gadis dengan blues putih yang duduk membelakanginya. Arinda merasa pernah mengenal gadis itu. Jangan-jangan…

“Chocolate Coffe sama Cappucino. Silakan Mbaak.” Ucapan si petugas café menglihkan perhatian Arinda dari gadis dengan blues putih itu.

“Cappucino? Ternyata beneran kamu, ya?”

Untuk kedua kalinya, Arinda dibuat terkejut, kali ini ucapan pemuda di belakangnya. Arinda mendongak untuk melihat wajah orang yang memang kelewat lebih tinggi darinya itu.

“Kamu…”

“Orion Sahel. Lupa?”

Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku tersita dengan angan tentangmu

***

“Kenapa nggak jadi nyusul?” tanya Arinda setibanya di mobil tempat Dega menunggu.

“Kamu sendiri? Habis ketemu siapa, kok keliatan bahagia banget?”

“Ha?” Arinda memutar bola matanya, mencari jawaban, “ah masa sih? Perasaan kamu aja kali, Ga…”

“Aku nungguin kamu. Di sini, sendirian. Dan aku nggak tau, kamu sadar atau nggak kalau aku tungguin. Karena kamu lama. Jahat.”

Ucapan Dega barusan membuat kening Arinda bertaut. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba Dega berkata sedingin itu? Apa Arinda melakukan kesalahan?

***

“Argh sial!” umpat Dega membanting tubuhnya di atas kasur. “emangnya aku nggak liat Rin? Ekspresi kamu langsung berubah total setelah ketemu orang itu… apa bener-bener nggak ada aku di hidupmu? Bener-bener nggak ada namaku di hatimu??”

Ya, Dega memang menyaksikan kejadian di café tadi, keputusannya untuk menyusul Arinda ternyata salah, bersama pemuda masa lalunya itu, Arinda terlihat tersenyum begitu lepas, bahkan sesekali tertawa. Entah apa namanya, mungkin itu yang dimksud orang-orang sebagai ‘cemburu’. Yang jelas, Dega tidak terima, jika ada orang lain memasuki hidup Arinda dan mendominasinya, padahal orang itu sudah banyak menyakitinya.

***

Kelas dimulai pukul satu hari ini. Dosen adalah orang ter-semaunya-sendiri-di-dunia. Kelas yang menurut jadwal sudah dimulai sejak pukul 11 pagi, mendadak diundur dua jam. Dan itu membuat mahasiswa maupun mahasiswi fotografi jadi pengangguran di sekitar kampus. Seperti saat ini, Dega dan Arinda sedang duduk di rumput taman kampus. Dega keasikan mengutak-atik kamera Arinda yang sedikit trouble, sementara Arinda sibuk dengan tabletnya.

“Arinda liat sini!” panggil Dega yang bersiap mengambil gambar Arinda. Gadis itu tersenyum begitu manis, dan Dega berhasil mengabadikannya.

“Kamu harus jadi model tetap aku, Rin. Foto kamu selalu bagus.”

“Fotografernya yang bagus itu… hahaha”

“Modelnya juga cantik nggak ketulungan sih…”

“Apa deh kamu nih…”

Arinda dan Dega asik bercanda, sampai terdengar nada nyaring berbunyi dari tablet Arinda. Ada yang mem-BUZZ!! Akun Y!M nya.

“Kamu sekarang pake Y!M?” tanya Dega yang tidak menjawab apapun oleh Arinda.

Gadis itu hanya senyum-senyum sambil menatap layar tabletnya. Dalam hati, Dega tau benar, siapa yang barusan mem-BUZZ!! Arinda.

***

Mencoba lupakan tapi kutakbisa

“Hai cantiik…”

“Ri? Ya ampuun, kamu dimana?”

“Tebak doong, kamu udah nggak sepeka dulu ya?”

“Orion, aku udah nunggu kamu hampir setengah jam ya! Udah nggak usah main-main. Kamu dimana?”

“Iya iya, ampuun. Arah jam 6 dari tempat kamu berdiri.”

Gadis mungil dengan blues lengan panjang dan rok panjang semata kaki berbahan sifon itu berbalik, mengedarkan pandang, dan menemukan pemuda itu berdiri di hadapannya, kini. Melihat Orion tersenyum, Arinda pun sama. Pemuda dengan kemeja hitam itu selalu berhasil menjadi smile-maker bagi Arinda.

“Jadi… Cika minta dikado apa?” tanya Orion. Mereka memang berencana untuk bersama-sama membelikan Cika kado ulang tahun. Adik Arinda yang manis tapi kelewat jutek itu baru saja akan menginjak usia 18 tahun, besok lusa.

“Entahlah, Ri. Aku juga bingung. Cika nggak kaya abg lain, yang bisa dengan gampang dikasih hadiah.”
Orion mengangguk-angguk, memang benar kata gadis itu.

“Spongebob? Denger-denger Cika suka banget sama Spongebob? Mungkin kamu bisa beliin dia aksesoris atau mug Spongebob?”

“Ah! Iya! Minggu lalu dia pernah bilang, lagi pingin bantal spongebob! Aku beliin dia itu aja deh…”

“Haha, bagus kan ideku? Ok, come on!”

Arinda terpaku, karena baru saja telapak tangannya digamit Orion. Pemuda itu benar-benar telah menggenggam tangan Arinda sepanjang perjalanan. Dan Arinda bisa merasakan pipinya menghangat, ia sungguh merindukan pemuda itu… pemuda yang sama sekali masih terselip di hatinya, tanpa pernah terlupakan.

***

Sebuah sedan biru tua parkir di depan pagar rumah mungil milik keluarga Arinda, gadis itu dibukakan pintu untuk kemudian turun. Ia kelihatan berbeda, selain wajahnya yang masih tetap cantik, ada yang berbeda di sana, senyuman berkali-kali terpeta menghiasi wajahnya. Arinda mendadahi Orion, lalu mobil itu melaju dan hilang di balik tikungan jalan.

“Loh, Dega?”
Pemuda bernama Dega itu memang sedang berada di depan pintu rumah Arinda. Ada Cika juga di sana.

“Siapa itu?” tanya Dega, memancing. “Pacarmu?”

“Ha? Nggak.. dia temen SMA ku.”

“Mantannya, Mas…” sambung Cika dengan ekspresi malas. “Kalian balikan?”

Arinda menggeleng, tapi disertai senyuman, seakan berharap apa yang dikatakan adiknya barusan menjadi nyata. Sementara pemuda di hadapannya kini itu, diam-diam mengepalkan tangannya.

“Kamu… ada perlu apa ke sini?”

“Cuma mau balikin kamera. Aku udah perbaikin kok.” Jawab Dega yang mendadak jadi dingin.

“Oh…” Arinda menerima kameranya, lalu menggigit bibir bawahnya, entah mengapa suasananya jadi canggung, “Kamu mau masuk dulu? Kopi atau teh mungkin?”

Dega menggeleng, “Nggak perlu, apa yang kamu perlihatkan ke aku hari ini, udah cukup, Rin.”

“Maksud kamu?”

“Cika, Mas Dega pamit ya.. permisi.”

Pemuda itu berlalu meninggalkan dua gadis yang sama-sama hanya diam.

“Mbak Arinda jahat.”

***

OrionOrion: BUZZ!!
OrionOrion: evening, chicken little…

Arinda beralih dari kertas kado dan kotak yang sedari tadi menyibukkannya, ke layar tabletnya yang kini menampilkan taskbar ungu Yahoo! Mesenger. Sudut-sudut bibir Arinda tertarik ke samping, membentuk senyuman lagi.

Arinda_Ka: hey, why r call me like tht?
OrionOrion: hahahaha, aku masih suka panggil kamu ‘anak ayam’
Arinda_Ka: No… aku nggak mau terus-terusan jadi chicken little!
OrionOrion: bagiku, kmu msh jd chicken little-ku, Rin
OrionOrion is typing
OrionOrion: aku msh sayang kmu…

Benih yang dikubur dalam-dalam itu perlahan tumbuh, bahkan kini telah menampakkan bunganya. Arinda lupa, bahwa benih itu bisa kapanpun muncul lagi, kalau-kalau ada yang menyiraminya. Dan ia baru saja sadar, bahwa pemuda di seberang sambungan Y!M nya itu adalah dia yang menyirami benih itu lagi, untuk kedua kalinya, bahkan.

OrionOrion: R u there, Rin?

Jejarian Arinda mengetik balasan.

Arinda_Ka: aku juga sama Ri…
OrionOrion is typing
OrionOrion: J see you di ulang tahun Cika, ya…
Arinda_Ka: will miss you…
OrionOrion: mee too
OrionOrion has signed off.

***

Jakarta di bulan Desember adalah Jakarta basah. Hujan baru saja mengguyur ibu kota begitu derasnya. Beberapa mahasiswa tampak nekat pulang dengan motornya, walau beberapa di antaranya tidak mengenakan jas hujan. Ada juga yang hanya berdiri di bawah kanopi parkiran motor, menanti hujan reda.
Seperti Arinda, gadis itu–entah menunggu siapa- di sana. Sahabat yang biasanya menawarkan tumpangan, kali ini terlihat jarang ditemuinya. Arinda bukan gadis bodoh yang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada pemuda itu. Tapi Arinda bahkan tidak terlalu pintar untuk membuatnya kembali normal. Memilih untuk menolak cinta Dega dan menerima kembali kehadiran Orion mungkin memang tidak adil bagi Dega. Tapi, Arinda memang menginginkan ini, menginginkan Orion yang selama ini ia nantikan. Dan ia sangat bersyukur, pemuda itu hadir lagi, khusus untuknya. Arinda tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Ternyata, kehilangan sosok itu sekitar dua tahun terakhir, cukup membuatnya sakaw, dan menuntut dia untuk kembali memberikan cintanya untuk Orion. Dan hanya untuk Orion.

Hujan membawa hawa dingin. Arinda yang hanya mengenakan blues tipis pun berkali-kali bergidik kedinginan. Ia meraih ponselnya, mungkin ia akan meminta Cika menjemputnya, atau Orion mungkin. Ah, lowbat, ponselnya tidak mau menyala sama sekali. Ok, Arinda benar-benar kedinginan.

“Hatsyi!” Arinda mulai pilek. Namun, sesaat setelahnya, sebuah mobil tua yng sangat tidak asing di mata Arinda, parkir tepat di hadapannya. Pemuda di balik kemudi mobil itu, membuka pintu penumpang samping.

“Cepet masuk!” suruhnya. Arinda pun menurut.

Dega. Sosok itu lah yng kini berada di samping Arinda, sibuk dengan setir mobilnya, tanpa sekalipun membuka percakapan dengan Arinda.

“Hatsyi!” bersin Arinda lagi.

“Kamu sakit?” tanya Dega tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Arinda mengangguk.

“Cuma kedinginan sebenernya.”

“Mana Orion kamu? Dimana dia waktu kamu kaya kucing kedinginan kaya tadi?”

Arinda mendapati nada sengit dari ucapan Dega. Arinda memainkan ujung-ujung tisyu yang dibawanya.

“Dia mungkin lagi sibuk…”

“Aku juga lagi sibuk.”

“Handphone aku mati, Ga. Aku nggak bisa hubungi dia buat minta jemput…”

“Aku juga dateng bukan karena kamu minta jemput, kan?”

“Dega…”

Dega tertawa kecil, “Hahaha, aku lupa… sesempurna apapun aku, kamu tetep bakal milih dia, ya?” ucapnya sarkatis. Mirip seperti sindiran yang tepat tertuju ke Arinda.

“Dega aku…”

Tiba-tiba mobil berhenti, Dega menatap lekat-lekat manik mata Arinda, ada siratan kecewa di sana. Tapi lalu, pemuda itu memalingkan lagi wajahnya, sambil tersenyum.

“Cepet pindah ke kursi belakang. Ada selimut di sana sama handuk di belakang. Kamu bisa tidur dulu, sambil nunggu macet. Kayanya Jakarta mulai banjir.”

“Dega, tapi…”

“Cepet Rin. Liat mobil di belakang udah nungguin kita…” Dega tertawa lagi.

Arinda menuruti mau Dega, ia turun lalu pindah ke kursi penumpang belakang. Mengambil handuk dan selimut, mengeringkan rambutnya, lalu mulai terdiam di balik selimut tebal. Pandangannya ia alihkan ke jendela samping, ia tidak kuasa melihat sosok di balik kemudi itu, atau bertatapan mata melalui spion tengah. Dalam hati, ia merutuki nasibnya sendiri.

Dega melihat ke belakang melalui spion tengah, gadis mungil yng meringkuk di baling selimut itu telah terlelap. Rasa menyesal hinggap di benak Dega, ia benar-benar tidak bermaksud menyakiti gadis itu. Ia menyayanginya. Begitu lebih dari yang dimiliki Orion.

***

Arinda terlihat begitu cantik dengan dress panjang selutut berwarna ungu dengan gradasi biru tosca di bagian bawahnya. Rambutnya dibiarkannya terurai dengan satu jepit kecil berbentuk kupu-kupu yang ia sematkan untuk merapikan poni. Tapi, wajahnya cemberut, membuat kecantikannya sedikit berkurang.

“Masih belum dateng?” tanya Cika, si gadis yang malam ini berulang tahun.

Arinda mendesah, lalu menggeleng, berkali-kali ia melihat ke layar ponsel. Sms nya belum dibalas, bahkan telepon darinya juga tidak di angkat.

“Mbak yakin, udah undang dia dari kemaren-kemaren?”

“Udah lah, Cik. Dia sendiri yang bilang janji bakal dateng. Tapi kenapa sampe jam segini…”

“Udah hampir jam 11, Mbak. Acaranya udah mau selesai. Mau sampai kapan Mbak nunggu Mas Ori?”

“Dia yang janji mau dateng, Cik!” nada bicara Arinda meninggi, ia hampir frustasi dibuatnya.

“Oke, yaudah.. kalau emang kamu masih mau nunggu Orion dateng, yaudah…” suara Dega terdengar di balik punggung Arinda, gadis itu tidak berbalik, “biar aku yang anter Cika pulang, kamu pasti dianter Orion, kan?”

Arinda tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Ia bermaksud menghubungi Orion lagi, tapi tetap saja mailbox. Arinda meninggalkan pesan.

***

“Ri, ini Arinda. Kamu janji bakal dateng, kan? Aku masih nunggu kamu di Happy Café. Bye…”

Seorang pemuda memutar pesan suara di ponselnya. Waktu hampir menunjukkn pukul setengah dua belas malam, tapi, ia tidak juga datang ke pesta ulang tahun Cika. Ia benar-benar tidak bisa pergi, seseorang mencegahnya, dan ia pun sadar, kehadirannya di hadapan gadis itu akan semakin membuatnya sakit hati. Ia pernah membuat gadis itu begitu kecewa, dan ia sama sekali tidak mau menyaksikan Arinda sama kacaunya dengan yang terjadi dua tahun yang lalu di Café Latte.

“Kamu benar-benar mau ke sana?” tanya seorang gadis dengan rambut panjang sepunggung, dan mata yang sedikit sipit.

Orion, pemuda itu, menggeleng, “Aku Cuma buat dia kecewa, buat apa aku datang?”

“Nggak apa-apa, jelasin semuanya ke dia, apa alasan kamu begini.”

“Haruskah dia menangis karena aku lagi?”

“Harus.” Jawab gadis oriental itu, “kalau kamu menginginkan aku bahagia.”

***

Arinda masih menunggu di halaman café tempat ulang tahun Cika. Café itu sudah sepi, tinggal beberapa petugas kebersihan. Dega bahkan sudah mengantar Cika pulang. Tinggalah Arinda yang menanti ketidakpastian. Orion bahkan tidak mencoba menghubunginya, untuk apa dia menanti pemuda itu?? Bukankah ia pernah dibuat kecewa olehnya? Dan kini sebodoh apa Arinda sampai ia rela melakukan hal yang sama? Menanti? Menanti Orion? Bodoh…

Gadis dengan make up yang hampir luntur itu, menyeka air matanya, lalu bermaksud berbalik untuk mengambil tasnya di dalam. Tapi kemudian, sebuah mobil datang, dan parkir di hadapan Arinda.

“Orion?” terka Arinda. Dan memang benar, pemuda yang dimaksud Arinda memang benar-benar keluar dari dalam mobil, dan menghampirinya. Senyuman perlahan muncul di wajah Arinda, merekah seiring langkah Orion mendekatinya, tetapi, tiba-tiba pudar, setelah melihat ada orang lain yang baru saja keluar dari pintu penumpang samping. Seorang gadis dengan dress hitam, rambut lurus sepunggung dan mata sipit.

“Kamu…?” suara Arinda tercekat di tenggorokan, menyaksikan kini gadis itu bahkan menggamit lengan Orion.

“Maaf, Rin. Aku nggak bisa datang hari ini.” Ucap Orion yang jug terbata, “acaranya udah selesai ya?”

Gadis mungil pemilik manik mata cokelat itu mengangguk kecil, tanpa mengalihkan pandangan dari gadis cantik di sebelah Orion.

“Orion, dia…?”

“Oh iya, kenalin Rin, ini Bianca.” Orion memperkenalkan, gadis yang ia perkenalkan itu mengulurkan tangannya kepada Arinda, dan kemudian dibalas jabatan tangan,

“dia… tunanganku.”

Runtuh sudah pertahanan kelopak mata Arinda yang sedari tadi sudah panas. Hatinya mendadak keruh, ia seperti merasakan ada puing-puing di dalam dadanya yang tiba-tiba roboh, lebih remuk dari yang sebelum-sebelumnya. Dan air matanya menitik, setetes, mengalir di pipi dan sama sekali dibiarkannya.

“Arinda, maaf…”

Bianca mulai panik melihat Arinda menangis, ia yakin, ia bukan lakon yang salah di dalam kisah ini, tapi entah mengapa ia merasakan dirinya telah menjadi tokoh antagonis, dimana di setiap cerita selalu menciptakan tangisan untuk gadis sebaik Arinda.

“Buat apa minta maaf, Ri? Aku yang…” Arinda menyeka air matanya, “aku yang minta maaf… kamu… dia… ah, aku pasti sudah jadi orang ketiga sebelum ini, kan?”

Arinda memegang bahu Bianca, lalu menatap mata sipitnya, “mirip Leia. Seleramu nggak pernah berubah ya, Ri…”

Sebuah mobil tua parkir secara terburu-buru di belakang mobil Orion, si pemilik mobil segera keluar dan memanggil Arinda. Arinda menoleh, mendapati ada Dega di sana. ekspresi wajah Arinda seakan mengirimkan sinyal SOS, yang memohon untuk segera dikeluarkan dari perangkap yang ia buat sendiri.

Tiba-tiba Dega menghampiri Arinda, dan merengkuh pundaknya, “kamu udah lama nunggu aku, sayang?” tanyanya, yang berhasil membuat Arinda bertanya-tanya apa maksudnya.

“Hey, loe pasti Orion kan? Mantannya Arinda ya? Gue malah nggak tau kalo Cika juga undang loe. Kenalin, gue Dega, pacarnya. Dan ini pasti pacar loe juga?” Dega membuat narasinya sendiri, membuat Arinda hanya diam.

“Bukan. Dia tunangan gue.” Jawab Orion.

“Oh…” Dega menatap Arinda, gadis itu mengeratkan genggaman tangannya dengan Dega. Dega pun mengerti.

“Gue anter Arinda pulang dulu, ya. Kasian dia udah nunggu gue, lama.” Dega melepas jasnya, lalu dikenakannya di bahu Arinda. Pemuda itu mengantar Arinda menuju mobilnya, lalu melaju meninggalkan Orion dan Bianca.

Bianca menatap nanar ke arah Orion, “sebagai perempuan, aku juga ikut kecewa sama kamu, Ri…” bisik gadis oriental itu.

***

Mengapa begini…

Arinda masih terbisu di balik jas milik Dega. Sesekali ia menyeka air matanya yang entah sejak kapan sudah mengalir lagi di pipinya. Perasaan seperti ini sudah pernah diterimanya dua tahun yang lalu, dan kini harus ia rasakan lagi. Dan kepada orang yang sama, air mata itu ditujukan. Ironis.

Oh mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada di sini menemaniku…

Mobil Dega berhenti di depan pagar rumah Arinda. Setelah membukakan pintu untuk Arinda, gadis mungil itu mengembalikan jas Dega, tanpa sepatah kata pun. Arinda melangkah menuju rumahnya, tapi lalu berbalik dan memandang pemuda yang berdiri di samping mobilnya.

“Dega…” panggil Arinda, “makasih…”

Dega tersenyum, lalu mengangguk. Gadis itu pun berbalik lagi, menjauhi Dega. Dega sungguh tidak tega melihatnya, dalam hati ia benar-benar ingin menghancurkan rahang pemuda yang telah membuat gadis pujaannya itu menangis seperti ini. Dega menghampiri Arinda.

“Arinda…” panggilnya, Arinda berbalik, dan sejurus kemudian gadis itu mendapat pelukan dari Dega. Pelukan yang sangat berbeda. Arinda tidak menolak, ia betul-betul membutuhkan pelukan itu. dan air matanya membanjiri lagi. Ia sesegukan di dalam pelukan Dega.

“Kumohon… jangan salahin aku… aku tau aku bodoh…” bisik Arinda, di sela segukannya.

“Nggak. Kamu nggak salah.” Jawab Dega, “aku akan selalu ada buat kamu. Nggak peduli apapun yang terjadi. Maaf, aku udah seenaknya tadi, aku nggak tau harus apa lagi buat ngelindungin kamu dari orang itu, Rin. Aku nggak mau kamu kelihatan lemah di hadapan dia…”

Dari jendela lantai dua, seseorang menyibakkan tirai. Cika. Senyuman tersungging di bibirnya, ia tau saat seperti ini pasti datang. Kakak perempuannya itu pasti akan membuka hati pada orang yang tepat.

“Aku… masih sayang kamu, Rin. Dan aku nggak peduli…” ucap Dega lagi.

Arinda memejamkan matanya, ia sadar apa yang telah dilakukannya selama ini, apa yang telah membuatnya begitu kejam pada Dega, orang yang terang-terangan mencintainya tanpa celah. Tanpa pernah menyakitinya seperti yang telah dilakukan Orion.

Dan ia pun membalas perasaan Dega.

“Aku… juga sayang kamu…”

Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku

Dega berkali-kali mengucap terima kasih pada Arinda. Dan berkali-kali juga ia menyeka air mata gadis pujaannya itu. Arinda merapal syukur, telah memiliki malaikat sebaik Dega… ia tersenyum.

Semoga... tak sekedar harapku...

***

“Anda terhubung dengan mailbox, tinggalkan pesan, setelah bunyi… ‘beeep..’”

Arinda mengehela napas, lalu mengucapkan pesannya dengan sangat yakin.

“Aku Arinda, Ri. Makasih buat semuanya, kamu ngajarin aku buat kuat. Dan karena kamu, aku mendapatkan apa yang aku cari. Yang jelas, bukan kamu.”

Bila tak menjadi milikku…
Aku takkan menyesal telah jatuh hati..

Sabtu, 11 Mei 2013

Ruang Nostalgia (Songfiction Terjebak Nostalgia - Raisa)

Ruang Nostalgia

Jari-jari lentik milik seorang gadis bergerak memutar-mutar lensa kamera besar yang dibawanya. Mata indahnya membidik objek-objek yang yang menarik perhatiannya. Ia jatuh cinta pada sebuah objek. Yaitu sebuah lukisan seorang laki-laki yang memiliki pahatan rahang yang tegas, menciptakan garis yang saklek. Tetapi, dari pancaran mata sosok di dalam lukisan itu, terpeta jelas, bahwa siapapun pelukisnya ingin menunjukan ekspresi khawatir dan penuh kasih sayang dari seorang pemuda kepada orang yang dicintainya. Gadis pembawa kamera itu jadi teringat sesuatu. Ia merasa pernah menyaksikan ekspresi itu sebelumnya, ekspresi sosok di dalam lukisan itu.
Jejariannya mengusap perlahan kanvas berukuran 100x80 cm itu, kelopak matanya terpejam. Ia belum pernah sebegini jatuh hati pada lukisan. Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, mengerjap perlahan lalu menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi ia mengingatnya. Kemudian, ia memutuskan untuk mengabadikan lukisan itu lewat kamera DSLR nya. Beberapa gambar diperolehnya.

“Hai…” seseorang mengejutkan sang gadis, seorang pemuda dengan kamera DSLR di tangan, berdiri di sebelahnya. “Loe pasti anak fotografi, kan?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh sang gadis.

“Haah, akhirnya gue nemuin spesies gue di sini. Loe tau dari tadi Cuma ada pelukis-pelukis gondrong di sini, dan gue ngerasa jadi alien yang nentent-nenteng benda beginian, sementara mereka bawa kayu dengan bulu-bulu di ujungnya.” Cicit pemuda itu sambil menunjukkan kameranya. Tapi, gadis di hadapannya itu tidak bergeming, membuatnya jadi canggung.

“Ehm… gue… Dega. Fotografi 2013. Loe juga angkatan 2013?”
Lagi-lagi sang gadis hanya mengangguk.

“Nama… loe?” tanya Dega lagi kali ini sambil mengulurkan jabatan tangan.

“Arinda. Arinda Kanya.”
***

Jumat, 10 Mei 2013

we used to

wanna to share my memory when we were child..
they are Ade, Rizki, Me, Vistha, Esia, Irfan. We are connected with many relationship. between aunty and nephew or niece, sister and brother, even also between step brother and the other one. We are different, but because of our age is average same, so we can play together and grow up. But now, we are separated. Even, we never meet again for a long time. I miss them so much. I hate if we met we feel so awkward.. I miss my (old) family. Before everything changes.. :')
I miss like we used to..

Selasa, 07 Mei 2013

Belum Bisa Terima (songfiction Terjebak Nostalgia – Raisa)

Belum Bisa Terima (songfiction Terjebak Nostalgia – Raisa)

(oleh @Lisa_nasi_damay)
Kakiku terasa lemas menyaksikan pemandangan itu. Dadaku terasa terhimpit, sesak yang kini aku rasakan. Aku mulai melangkahkan kakiku mendekat ke pemandangan itu. walaupun aku mengetahui betul, bahwa hatiku akan tersayat kembali, tergores lagi hingga menimbulkan luka.
Aku mencoba untuk tetap menghiasi wajahku dengan senyuman. Senyum getir lebih tepatnya. Aku tak ingin menodai kebahagiaan dua insan itu dengan linangan air mataku. Ini hari bahagia dia bersama Shilla. Bagaimanapun juga dia tetap sahabatku dan pernah ada dihatiku serta hidupku. Aku mempunyai kisah tersendiri bersama dia.
Dia menemukan keberadaanku. Dia langsung melemparkan senyuman. Aku semakin mendekati dia dan Shilla yang ada di pelaminan itu.
“Selamat ya!”ucapku pelan namun penuh kegetiran. Aku mulai menyalami dia dan Shilla secara bergantian.
“Terima kasih ya, Fy. Karena kamu sudah menepati janjimu. Saya senang sekali,”ungkapnya yang langsung menarik tubuhku kedalam pelukannya. Aku tersentak atas perlakuannya ini. Mana mungkin dia melakukan ini di depan pujaan hatinya. Jika aku tak berusaha. Mungkin air hangat sudah luruh dari kedua sudut mataku. Bagaimana ini Tuhan?
Aku melirik kearah Shilla dan Shilla tetap tersenyum. Tuhan aku sungguh tidak sanggup lagi! Aku benar-benar tersiksa.

lost

nggak tau namanya apa.. tapi, hapeku mendadak ilang dan misterius bgt. sepulang dr rumah tante, hapeku nggak ada di kantong. nggak ada di manapun. aku udah cari di seluruh rumah dan nggak ada. aku udah mimbik2. dan kata papahku jatuh di jalan, mungkin. dan ditemu orang. soalnya, mailbox. aku udah pasrah. dan tidur. tp jam 03.00 alarmku bunyi. aku kaget bgt kenapa bisa kedengeran alarm itu. aku bangun, dan hapeku di atas meja belajar.
:')

Senin, 06 Mei 2013

selalu

selalu aku yang sendiri, malam hari, selalu aku yang minta ditemani, selalu kamu yang bersabar menanti, selalu aku yang ketiduran lagi, selalu aku yang ucapkan selamat pagi, selalu kamu yang mencerahkan setiap hari, serupa mentari.

Minggu, 05 Mei 2013

Dia Muncul Kembali (songfiction Tahu Diri by Maudy Ayunda)

Dia Muncul Kembali (songfiction Tahu Diri-Maudy Ayunda)
(songfiction Tahu Diri-Maudy Ayunda)
author: @Lisa_nasi_damay
Hai selamat bertemu lagi
Aku sudah lama menghindarimu
Sialku lah kau ada di sini
Aku terus menelusuri toko buku ini. Mencari-cari sesuatu. Entahlah apa yang sedang kucari. Buku? Hmm… sepertinya bukan itu alasan terkuat yang membuat langkahku terbawa kesini. Kedua bolaku berputar kekanan dan kekiri, memastikan bahwa tidak akan terjadi sesuatu hal yang buruk.
Aku berjalan menuju rak buku novel. Jari-jemariku mulai menelusuri setiap novel seraya membaca judulnya. Namun, tak ada yang menarik perhatianku dan ini adalah hal yang paling mengesalkan dan aku membencinya.
Aku menghela nafas. Menggeleng-gelengkan kepalaku. Iya. Ini adalah tempat favorit kami, sudut toko ini menyimpan banyak kisah antara aku dan dia. Dia? Iya, dia yang selalu terus menghantui setiap sudut pikiranku. Bahkan akhir-akhir ini aku seolah melihat bayangannya. Halusinasikah? Kurasa tidak! Ini adlah sebuah perasaan rindu yang sudah sangat membuncah.

Tahu Diri (songfiction Tahu Diri-Maudy Ayunda)

TAHU DIRI
(songfiction from Tahu Diri- Maudy Ayunda)

“Kalau emang kita nggak bisa dipertahanin. Buat apa dipaksa? Kesalahanmu kelewat banyak buat ditolerir. Aku udah berkali-kali kasih kesempatan buat kamu. Tapi, nihil kan? Aku tetep aja kecewa. Kamu? Apa kamu masih peduli sama aku?”
Seorang pemuda yang duduk di sampingku berbicara perlahan, lebih mirip berbisik. Tapi, aku mendengarnya dengan sangat jelas. Setiap kata yang dilontarkannya serasa menghujam buku-buku jariku yang entah sejak kapan mengepal begitu erat di bawah meja.

“Mungkin aku aku masih cinta. Tapi, aku nggak bisa. Aku minta kita sampe di sini aja.”
Aku menoleh ke samping, menatap pahatan tulang rahang pemuda itu begitu lama, kemudian manik matanya beradu dengan milikku.

“Iya, kita putus, ya? Menyerahlah...”
***

Sad and Scared

"Oh, but I'm scared to death
That there may not be another one like this" -Sad, Maroon 5

Yeah, jadi takut nggak nemuin orang macem kamu besok. Kadang hati punya titik dimana ada takut yang naik ke permukaan. Aku kecanduan. Aku terlalu menikmati yang ada sekarang. Kamu, mungkin. Dan takut ini berlarut jadi, "Bagaimana bila aku kehilangan kamu dan aku tak menemukan kamu yang lain di semesta ini?"
-Lila
(Gegara lebih dari 20 kali muter Sad-nya Maroon 5)

Jumat, 03 Mei 2013

text

makasih, yaaa.. now i'm strong enough to face this world! :p

Sendiri dan Sendirian

Aku tidak mengerti arti kata sendirian, sebelum mengenal kamu. Ketika hariku agak berbeda, aku risih. Merasa ada yang tidak normal. Siapa dia? Hadir memenuhi hariku. Kemudian ia menghantar tawa. Ada apa? Ini siapa? Buat apa?
Jutaan tanda tanya berterbangan. Dan aku jadi bingung, biasanya aku berjalan, sepi. Tapi kini, mengapa ada yang lain di sampingku? Aneh. Kemudian kamu bukan hanya memenuhi hariku, tapi jadi bagian dari aku. Aku tak mengenal aku yang lama. Karena kini aku... berdua. Ah, iya.. Sekarang aku mengerti, arti kata 'sendiri'. Frasa yang menjadi aku, sebelum beetemu kamu. Kini, aku berdua.