Dia yang Sejati
(songfiction Kekasih Sejati – Monita Idol)
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku tersita dengan angan tentangmu
Mencoba lupakan tapi kutakbisa
Mengapa begini…
Oh mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada di sini menemaniku
Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku,
semoga tak sekedar harapku.
Bila tak menjadi milikku
Aku takkan menyesal telah jatuh hati
***
“Oke, kalo kamu emang nggak bisa buka hatimu buat aku. Aku bersedia, Rin. Aku rela. Asalkan kamu… berhenti anggap aku transparan. Aku benci sikap kamu yang kaya gini…”
Gadis mungil bernama Arinda itu baru sekali mendengar ada lelaki yang benar-benar memohon kepadanya.
“Aku mohon, Rin. Mencintai kamu adalah pilihanku. Dan juga adalah hak kamu buat nerima aku atau enggak. Percaya, Rin… aku nggak akan banyak berharap lagi dari kamu, tapi… izinin aku untuk bisa selalu sama kamu. Terserah kamu, sebagai apa.”
“Dega…” Arinda menahan air matanya, “maafin aku…”
***
“Cinta itu mencintai. Kalau kau memilih untuk mencintai seseorang, itu lah cinta. Dan jangan paksakan dia untuk membalasnya. Kalaupun dia membalas perasaanmu, itu Cuma bonus. Cinta yang sebenarnya adalah saat seseorang memutuskan untuk mencintai seseorang. Bukan saat cinta dibalas cinta.” –anonim
***
“Aku tunggu di mobil?” tanya Dega, pemuda yang duduk di belakang setir kemudinya.
“Boleeh… tapi kalau mau ikut masuk, juga nggak apa-apa.”
“Oke deh. Nanti aku nyusul. Mau parkir dulu.”
“Siap, bos!”
Arinda keluar dari mobil, berjalan beberapa langkah, tapi lalu berbalik lagi, dan melongok ke jendela mobil lagi.
“Kopi cokelat? Kamu pesan itu?” tanya Arinda.
Dega tertawa kecil, “iya, pikuuun. Pernah aku ganti selera? Kaya biasanya aja deh…”
“Oke.”
Kini, Arinda benar-benar sudah melangkah menjauhi mobil Dega dan memasuki Café itu. Latte Café, yang banyak menjadi saksi cerita dari gadis mungil itu.
Siang bolong begini, suasana café memang tidak terlalu ramai, tapi tetap saja Arinda harus mengantre di meja pesan, karena banyak pengunjung yang membeli untuk dibawa pulang.
“Ada yang bisa dibantu, Mbak? Mau pesan apa?” tanya petugas café.
“Kopi cokelat satu. Cappuccino satu.”
“Silakan ditunggu ya Mbak.”
Arinda mengangguk, sambil memamerkan senyumannya. Pandangannya beredar ke sekeliling, lalu terpaku pada seorang gadis dengan blues putih yang duduk membelakanginya. Arinda merasa pernah mengenal gadis itu. Jangan-jangan…
“Chocolate Coffe sama Cappucino. Silakan Mbaak.” Ucapan si petugas café menglihkan perhatian Arinda dari gadis dengan blues putih itu.
“Cappucino? Ternyata beneran kamu, ya?”
Untuk kedua kalinya, Arinda dibuat terkejut, kali ini ucapan pemuda di belakangnya. Arinda mendongak untuk melihat wajah orang yang memang kelewat lebih tinggi darinya itu.
“Kamu…”
“Orion Sahel. Lupa?”
Aku yang memikirkan
Namun aku tak banyak berharap
Kau membuat waktuku tersita dengan angan tentangmu
***
“Kenapa nggak jadi nyusul?” tanya Arinda setibanya di mobil tempat Dega menunggu.
“Kamu sendiri? Habis ketemu siapa, kok keliatan bahagia banget?”
“Ha?” Arinda memutar bola matanya, mencari jawaban, “ah masa sih? Perasaan kamu aja kali, Ga…”
“Aku nungguin kamu. Di sini, sendirian. Dan aku nggak tau, kamu sadar atau nggak kalau aku tungguin. Karena kamu lama. Jahat.”
Ucapan Dega barusan membuat kening Arinda bertaut. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba Dega berkata sedingin itu? Apa Arinda melakukan kesalahan?
***
“Argh sial!” umpat Dega membanting tubuhnya di atas kasur. “emangnya aku nggak liat Rin? Ekspresi kamu langsung berubah total setelah ketemu orang itu… apa bener-bener nggak ada aku di hidupmu? Bener-bener nggak ada namaku di hatimu??”
Ya, Dega memang menyaksikan kejadian di café tadi, keputusannya untuk menyusul Arinda ternyata salah, bersama pemuda masa lalunya itu, Arinda terlihat tersenyum begitu lepas, bahkan sesekali tertawa. Entah apa namanya, mungkin itu yang dimksud orang-orang sebagai ‘cemburu’. Yang jelas, Dega tidak terima, jika ada orang lain memasuki hidup Arinda dan mendominasinya, padahal orang itu sudah banyak menyakitinya.
***
Kelas dimulai pukul satu hari ini. Dosen adalah orang ter-semaunya-sendiri-di-dunia. Kelas yang menurut jadwal sudah dimulai sejak pukul 11 pagi, mendadak diundur dua jam. Dan itu membuat mahasiswa maupun mahasiswi fotografi jadi pengangguran di sekitar kampus. Seperti saat ini, Dega dan Arinda sedang duduk di rumput taman kampus. Dega keasikan mengutak-atik kamera Arinda yang sedikit trouble, sementara Arinda sibuk dengan tabletnya.
“Arinda liat sini!” panggil Dega yang bersiap mengambil gambar Arinda. Gadis itu tersenyum begitu manis, dan Dega berhasil mengabadikannya.
“Kamu harus jadi model tetap aku, Rin. Foto kamu selalu bagus.”
“Fotografernya yang bagus itu… hahaha”
“Modelnya juga cantik nggak ketulungan sih…”
“Apa deh kamu nih…”
Arinda dan Dega asik bercanda, sampai terdengar nada nyaring berbunyi dari tablet Arinda. Ada yang mem-BUZZ!! Akun Y!M nya.
“Kamu sekarang pake Y!M?” tanya Dega yang tidak menjawab apapun oleh Arinda.
Gadis itu hanya senyum-senyum sambil menatap layar tabletnya. Dalam hati, Dega tau benar, siapa yang barusan mem-BUZZ!! Arinda.
***
Mencoba lupakan tapi kutakbisa
“Hai cantiik…”
“Ri? Ya ampuun, kamu dimana?”
“Tebak doong, kamu udah nggak sepeka dulu ya?”
“Orion, aku udah nunggu kamu hampir setengah jam ya! Udah nggak usah main-main. Kamu dimana?”
“Iya iya, ampuun. Arah jam 6 dari tempat kamu berdiri.”
Gadis mungil dengan blues lengan panjang dan rok panjang semata kaki berbahan sifon itu berbalik, mengedarkan pandang, dan menemukan pemuda itu berdiri di hadapannya, kini. Melihat Orion tersenyum, Arinda pun sama. Pemuda dengan kemeja hitam itu selalu berhasil menjadi smile-maker bagi Arinda.
“Jadi… Cika minta dikado apa?” tanya Orion. Mereka memang berencana untuk bersama-sama membelikan Cika kado ulang tahun. Adik Arinda yang manis tapi kelewat jutek itu baru saja akan menginjak usia 18 tahun, besok lusa.
“Entahlah, Ri. Aku juga bingung. Cika nggak kaya abg lain, yang bisa dengan gampang dikasih hadiah.”
Orion mengangguk-angguk, memang benar kata gadis itu.
“Spongebob? Denger-denger Cika suka banget sama Spongebob? Mungkin kamu bisa beliin dia aksesoris atau mug Spongebob?”
“Ah! Iya! Minggu lalu dia pernah bilang, lagi pingin bantal spongebob! Aku beliin dia itu aja deh…”
“Haha, bagus kan ideku? Ok, come on!”
Arinda terpaku, karena baru saja telapak tangannya digamit Orion. Pemuda itu benar-benar telah menggenggam tangan Arinda sepanjang perjalanan. Dan Arinda bisa merasakan pipinya menghangat, ia sungguh merindukan pemuda itu… pemuda yang sama sekali masih terselip di hatinya, tanpa pernah terlupakan.
***
Sebuah sedan biru tua parkir di depan pagar rumah mungil milik keluarga Arinda, gadis itu dibukakan pintu untuk kemudian turun. Ia kelihatan berbeda, selain wajahnya yang masih tetap cantik, ada yang berbeda di sana, senyuman berkali-kali terpeta menghiasi wajahnya. Arinda mendadahi Orion, lalu mobil itu melaju dan hilang di balik tikungan jalan.
“Loh, Dega?”
Pemuda bernama Dega itu memang sedang berada di depan pintu rumah Arinda. Ada Cika juga di sana.
“Siapa itu?” tanya Dega, memancing. “Pacarmu?”
“Ha? Nggak.. dia temen SMA ku.”
“Mantannya, Mas…” sambung Cika dengan ekspresi malas. “Kalian balikan?”
Arinda menggeleng, tapi disertai senyuman, seakan berharap apa yang dikatakan adiknya barusan menjadi nyata. Sementara pemuda di hadapannya kini itu, diam-diam mengepalkan tangannya.
“Kamu… ada perlu apa ke sini?”
“Cuma mau balikin kamera. Aku udah perbaikin kok.” Jawab Dega yang mendadak jadi dingin.
“Oh…” Arinda menerima kameranya, lalu menggigit bibir bawahnya, entah mengapa suasananya jadi canggung, “Kamu mau masuk dulu? Kopi atau teh mungkin?”
Dega menggeleng, “Nggak perlu, apa yang kamu perlihatkan ke aku hari ini, udah cukup, Rin.”
“Maksud kamu?”
“Cika, Mas Dega pamit ya.. permisi.”
Pemuda itu berlalu meninggalkan dua gadis yang sama-sama hanya diam.
“Mbak Arinda jahat.”
***
OrionOrion: BUZZ!!
OrionOrion: evening, chicken little…
Arinda beralih dari kertas kado dan kotak yang sedari tadi menyibukkannya, ke layar tabletnya yang kini menampilkan taskbar ungu Yahoo! Mesenger. Sudut-sudut bibir Arinda tertarik ke samping, membentuk senyuman lagi.
Arinda_Ka: hey, why r call me like tht?
OrionOrion: hahahaha, aku masih suka panggil kamu ‘anak ayam’
Arinda_Ka: No… aku nggak mau terus-terusan jadi chicken little!
OrionOrion: bagiku, kmu msh jd chicken little-ku, Rin
OrionOrion is typing
OrionOrion: aku msh sayang kmu…
Benih yang dikubur dalam-dalam itu perlahan tumbuh, bahkan kini telah menampakkan bunganya. Arinda lupa, bahwa benih itu bisa kapanpun muncul lagi, kalau-kalau ada yang menyiraminya. Dan ia baru saja sadar, bahwa pemuda di seberang sambungan Y!M nya itu adalah dia yang menyirami benih itu lagi, untuk kedua kalinya, bahkan.
OrionOrion: R u there, Rin?
Jejarian Arinda mengetik balasan.
Arinda_Ka: aku juga sama Ri…
OrionOrion is typing
OrionOrion: J see you di ulang tahun Cika, ya…
Arinda_Ka: will miss you…
OrionOrion: mee too
OrionOrion has signed off.
***
Jakarta di bulan Desember adalah Jakarta basah. Hujan baru saja mengguyur ibu kota begitu derasnya. Beberapa mahasiswa tampak nekat pulang dengan motornya, walau beberapa di antaranya tidak mengenakan jas hujan. Ada juga yang hanya berdiri di bawah kanopi parkiran motor, menanti hujan reda.
Seperti Arinda, gadis itu–entah menunggu siapa- di sana. Sahabat yang biasanya menawarkan tumpangan, kali ini terlihat jarang ditemuinya. Arinda bukan gadis bodoh yang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada pemuda itu. Tapi Arinda bahkan tidak terlalu pintar untuk membuatnya kembali normal. Memilih untuk menolak cinta Dega dan menerima kembali kehadiran Orion mungkin memang tidak adil bagi Dega. Tapi, Arinda memang menginginkan ini, menginginkan Orion yang selama ini ia nantikan. Dan ia sangat bersyukur, pemuda itu hadir lagi, khusus untuknya. Arinda tidak akan menyia-nyiakannya lagi. Ternyata, kehilangan sosok itu sekitar dua tahun terakhir, cukup membuatnya sakaw, dan menuntut dia untuk kembali memberikan cintanya untuk Orion. Dan hanya untuk Orion.
Hujan membawa hawa dingin. Arinda yang hanya mengenakan blues tipis pun berkali-kali bergidik kedinginan. Ia meraih ponselnya, mungkin ia akan meminta Cika menjemputnya, atau Orion mungkin. Ah, lowbat, ponselnya tidak mau menyala sama sekali. Ok, Arinda benar-benar kedinginan.
“Hatsyi!” Arinda mulai pilek. Namun, sesaat setelahnya, sebuah mobil tua yng sangat tidak asing di mata Arinda, parkir tepat di hadapannya. Pemuda di balik kemudi mobil itu, membuka pintu penumpang samping.
“Cepet masuk!” suruhnya. Arinda pun menurut.
Dega. Sosok itu lah yng kini berada di samping Arinda, sibuk dengan setir mobilnya, tanpa sekalipun membuka percakapan dengan Arinda.
“Hatsyi!” bersin Arinda lagi.
“Kamu sakit?” tanya Dega tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Arinda mengangguk.
“Cuma kedinginan sebenernya.”
“Mana Orion kamu? Dimana dia waktu kamu kaya kucing kedinginan kaya tadi?”
Arinda mendapati nada sengit dari ucapan Dega. Arinda memainkan ujung-ujung tisyu yang dibawanya.
“Dia mungkin lagi sibuk…”
“Aku juga lagi sibuk.”
“Handphone aku mati, Ga. Aku nggak bisa hubungi dia buat minta jemput…”
“Aku juga dateng bukan karena kamu minta jemput, kan?”
“Dega…”
Dega tertawa kecil, “Hahaha, aku lupa… sesempurna apapun aku, kamu tetep bakal milih dia, ya?” ucapnya sarkatis. Mirip seperti sindiran yang tepat tertuju ke Arinda.
“Dega aku…”
Tiba-tiba mobil berhenti, Dega menatap lekat-lekat manik mata Arinda, ada siratan kecewa di sana. Tapi lalu, pemuda itu memalingkan lagi wajahnya, sambil tersenyum.
“Cepet pindah ke kursi belakang. Ada selimut di sana sama handuk di belakang. Kamu bisa tidur dulu, sambil nunggu macet. Kayanya Jakarta mulai banjir.”
“Dega, tapi…”
“Cepet Rin. Liat mobil di belakang udah nungguin kita…” Dega tertawa lagi.
Arinda menuruti mau Dega, ia turun lalu pindah ke kursi penumpang belakang. Mengambil handuk dan selimut, mengeringkan rambutnya, lalu mulai terdiam di balik selimut tebal. Pandangannya ia alihkan ke jendela samping, ia tidak kuasa melihat sosok di balik kemudi itu, atau bertatapan mata melalui spion tengah. Dalam hati, ia merutuki nasibnya sendiri.
Dega melihat ke belakang melalui spion tengah, gadis mungil yng meringkuk di baling selimut itu telah terlelap. Rasa menyesal hinggap di benak Dega, ia benar-benar tidak bermaksud menyakiti gadis itu. Ia menyayanginya. Begitu lebih dari yang dimiliki Orion.
***
Arinda terlihat begitu cantik dengan dress panjang selutut berwarna ungu dengan gradasi biru tosca di bagian bawahnya. Rambutnya dibiarkannya terurai dengan satu jepit kecil berbentuk kupu-kupu yang ia sematkan untuk merapikan poni. Tapi, wajahnya cemberut, membuat kecantikannya sedikit berkurang.
“Masih belum dateng?” tanya Cika, si gadis yang malam ini berulang tahun.
Arinda mendesah, lalu menggeleng, berkali-kali ia melihat ke layar ponsel. Sms nya belum dibalas, bahkan telepon darinya juga tidak di angkat.
“Mbak yakin, udah undang dia dari kemaren-kemaren?”
“Udah lah, Cik. Dia sendiri yang bilang janji bakal dateng. Tapi kenapa sampe jam segini…”
“Udah hampir jam 11, Mbak. Acaranya udah mau selesai. Mau sampai kapan Mbak nunggu Mas Ori?”
“Dia yang janji mau dateng, Cik!” nada bicara Arinda meninggi, ia hampir frustasi dibuatnya.
“Oke, yaudah.. kalau emang kamu masih mau nunggu Orion dateng, yaudah…” suara Dega terdengar di balik punggung Arinda, gadis itu tidak berbalik, “biar aku yang anter Cika pulang, kamu pasti dianter Orion, kan?”
Arinda tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Ia bermaksud menghubungi Orion lagi, tapi tetap saja mailbox. Arinda meninggalkan pesan.
***
“Ri, ini Arinda. Kamu janji bakal dateng, kan? Aku masih nunggu kamu di Happy Café. Bye…”
Seorang pemuda memutar pesan suara di ponselnya. Waktu hampir menunjukkn pukul setengah dua belas malam, tapi, ia tidak juga datang ke pesta ulang tahun Cika. Ia benar-benar tidak bisa pergi, seseorang mencegahnya, dan ia pun sadar, kehadirannya di hadapan gadis itu akan semakin membuatnya sakit hati. Ia pernah membuat gadis itu begitu kecewa, dan ia sama sekali tidak mau menyaksikan Arinda sama kacaunya dengan yang terjadi dua tahun yang lalu di Café Latte.
“Kamu benar-benar mau ke sana?” tanya seorang gadis dengan rambut panjang sepunggung, dan mata yang sedikit sipit.
Orion, pemuda itu, menggeleng, “Aku Cuma buat dia kecewa, buat apa aku datang?”
“Nggak apa-apa, jelasin semuanya ke dia, apa alasan kamu begini.”
“Haruskah dia menangis karena aku lagi?”
“Harus.” Jawab gadis oriental itu, “kalau kamu menginginkan aku bahagia.”
***
Arinda masih menunggu di halaman café tempat ulang tahun Cika. Café itu sudah sepi, tinggal beberapa petugas kebersihan. Dega bahkan sudah mengantar Cika pulang. Tinggalah Arinda yang menanti ketidakpastian. Orion bahkan tidak mencoba menghubunginya, untuk apa dia menanti pemuda itu?? Bukankah ia pernah dibuat kecewa olehnya? Dan kini sebodoh apa Arinda sampai ia rela melakukan hal yang sama? Menanti? Menanti Orion? Bodoh…
Gadis dengan make up yang hampir luntur itu, menyeka air matanya, lalu bermaksud berbalik untuk mengambil tasnya di dalam. Tapi kemudian, sebuah mobil datang, dan parkir di hadapan Arinda.
“Orion?” terka Arinda. Dan memang benar, pemuda yang dimaksud Arinda memang benar-benar keluar dari dalam mobil, dan menghampirinya. Senyuman perlahan muncul di wajah Arinda, merekah seiring langkah Orion mendekatinya, tetapi, tiba-tiba pudar, setelah melihat ada orang lain yang baru saja keluar dari pintu penumpang samping. Seorang gadis dengan dress hitam, rambut lurus sepunggung dan mata sipit.
“Kamu…?” suara Arinda tercekat di tenggorokan, menyaksikan kini gadis itu bahkan menggamit lengan Orion.
“Maaf, Rin. Aku nggak bisa datang hari ini.” Ucap Orion yang jug terbata, “acaranya udah selesai ya?”
Gadis mungil pemilik manik mata cokelat itu mengangguk kecil, tanpa mengalihkan pandangan dari gadis cantik di sebelah Orion.
“Orion, dia…?”
“Oh iya, kenalin Rin, ini Bianca.” Orion memperkenalkan, gadis yang ia perkenalkan itu mengulurkan tangannya kepada Arinda, dan kemudian dibalas jabatan tangan,
“dia… tunanganku.”
Runtuh sudah pertahanan kelopak mata Arinda yang sedari tadi sudah panas. Hatinya mendadak keruh, ia seperti merasakan ada puing-puing di dalam dadanya yang tiba-tiba roboh, lebih remuk dari yang sebelum-sebelumnya. Dan air matanya menitik, setetes, mengalir di pipi dan sama sekali dibiarkannya.
“Arinda, maaf…”
Bianca mulai panik melihat Arinda menangis, ia yakin, ia bukan lakon yang salah di dalam kisah ini, tapi entah mengapa ia merasakan dirinya telah menjadi tokoh antagonis, dimana di setiap cerita selalu menciptakan tangisan untuk gadis sebaik Arinda.
“Buat apa minta maaf, Ri? Aku yang…” Arinda menyeka air matanya, “aku yang minta maaf… kamu… dia… ah, aku pasti sudah jadi orang ketiga sebelum ini, kan?”
Arinda memegang bahu Bianca, lalu menatap mata sipitnya, “mirip Leia. Seleramu nggak pernah berubah ya, Ri…”
Sebuah mobil tua parkir secara terburu-buru di belakang mobil Orion, si pemilik mobil segera keluar dan memanggil Arinda. Arinda menoleh, mendapati ada Dega di sana. ekspresi wajah Arinda seakan mengirimkan sinyal SOS, yang memohon untuk segera dikeluarkan dari perangkap yang ia buat sendiri.
Tiba-tiba Dega menghampiri Arinda, dan merengkuh pundaknya, “kamu udah lama nunggu aku, sayang?” tanyanya, yang berhasil membuat Arinda bertanya-tanya apa maksudnya.
“Hey, loe pasti Orion kan? Mantannya Arinda ya? Gue malah nggak tau kalo Cika juga undang loe. Kenalin, gue Dega, pacarnya. Dan ini pasti pacar loe juga?” Dega membuat narasinya sendiri, membuat Arinda hanya diam.
“Bukan. Dia tunangan gue.” Jawab Orion.
“Oh…” Dega menatap Arinda, gadis itu mengeratkan genggaman tangannya dengan Dega. Dega pun mengerti.
“Gue anter Arinda pulang dulu, ya. Kasian dia udah nunggu gue, lama.” Dega melepas jasnya, lalu dikenakannya di bahu Arinda. Pemuda itu mengantar Arinda menuju mobilnya, lalu melaju meninggalkan Orion dan Bianca.
Bianca menatap nanar ke arah Orion, “sebagai perempuan, aku juga ikut kecewa sama kamu, Ri…” bisik gadis oriental itu.
***
Mengapa begini…
Arinda masih terbisu di balik jas milik Dega. Sesekali ia menyeka air matanya yang entah sejak kapan sudah mengalir lagi di pipinya. Perasaan seperti ini sudah pernah diterimanya dua tahun yang lalu, dan kini harus ia rasakan lagi. Dan kepada orang yang sama, air mata itu ditujukan. Ironis.
Oh mungkin aku bermimpi
Menginginkan dirimu
Untuk ada di sini menemaniku…
Mobil Dega berhenti di depan pagar rumah Arinda. Setelah membukakan pintu untuk Arinda, gadis mungil itu mengembalikan jas Dega, tanpa sepatah kata pun. Arinda melangkah menuju rumahnya, tapi lalu berbalik dan memandang pemuda yang berdiri di samping mobilnya.
“Dega…” panggil Arinda, “makasih…”
Dega tersenyum, lalu mengangguk. Gadis itu pun berbalik lagi, menjauhi Dega. Dega sungguh tidak tega melihatnya, dalam hati ia benar-benar ingin menghancurkan rahang pemuda yang telah membuat gadis pujaannya itu menangis seperti ini. Dega menghampiri Arinda.
“Arinda…” panggilnya, Arinda berbalik, dan sejurus kemudian gadis itu mendapat pelukan dari Dega. Pelukan yang sangat berbeda. Arinda tidak menolak, ia betul-betul membutuhkan pelukan itu. dan air matanya membanjiri lagi. Ia sesegukan di dalam pelukan Dega.
“Kumohon… jangan salahin aku… aku tau aku bodoh…” bisik Arinda, di sela segukannya.
“Nggak. Kamu nggak salah.” Jawab Dega, “aku akan selalu ada buat kamu. Nggak peduli apapun yang terjadi. Maaf, aku udah seenaknya tadi, aku nggak tau harus apa lagi buat ngelindungin kamu dari orang itu, Rin. Aku nggak mau kamu kelihatan lemah di hadapan dia…”
Dari jendela lantai dua, seseorang menyibakkan tirai. Cika. Senyuman tersungging di bibirnya, ia tau saat seperti ini pasti datang. Kakak perempuannya itu pasti akan membuka hati pada orang yang tepat.
“Aku… masih sayang kamu, Rin. Dan aku nggak peduli…” ucap Dega lagi.
Arinda memejamkan matanya, ia sadar apa yang telah dilakukannya selama ini, apa yang telah membuatnya begitu kejam pada Dega, orang yang terang-terangan mencintainya tanpa celah. Tanpa pernah menyakitinya seperti yang telah dilakukan Orion.
Dan ia pun membalas perasaan Dega.
“Aku… juga sayang kamu…”
Oh mungkinkah kau yang jadi kekasih sejatiku
Dega berkali-kali mengucap terima kasih pada Arinda. Dan berkali-kali juga ia menyeka air mata gadis pujaannya itu. Arinda merapal syukur, telah memiliki malaikat sebaik Dega… ia tersenyum.
Semoga... tak sekedar harapku...
***
“Anda terhubung dengan mailbox, tinggalkan pesan, setelah bunyi… ‘beeep..’”
Arinda mengehela napas, lalu mengucapkan pesannya dengan sangat yakin.
“Aku Arinda, Ri. Makasih buat semuanya, kamu ngajarin aku buat kuat. Dan karena kamu, aku mendapatkan apa yang aku cari. Yang jelas, bukan kamu.”
Bila tak menjadi milikku…
Aku takkan menyesal telah jatuh hati..