Seorang pemuda sedang berjalan menyusuri beberapa rak buku-buku
baru. Matanya membaca dengan cermat tiap buku yang sudah dilaluinya. Memilih
dan memilah mana saja judul yang pernah direkomendasikan temannya. Ia, pemuda
itu, Hesa, sedang memilih hadiah untuk seseorang. Dan beberapa hari yang lalu
ia memilih beberapa jilid novel new release sebagai tujuan utamanya.
From: My Disty
Hadiah? Aku nggak pernah
minta lohh.. apaan?
Sebuah pesan mendarat di ponsel Hesa. Ia menyunggingkan senyuman di
bibirnya. Kemudian ibu jarinya menekan tombol hijau, menunggu sampai nada
hubung dari seberang berhenti.
“Halo? Assalamualaikum?” sapa seseorang di seberang.
“Waalaikum salam.” Jawab Hesa.
“Ok, jadi hadiah apa yang kamu maksud?”
“Rahasia lah. Bukan surprise lagi dong namanya..”
“Wanna to send it to me? Lewat paket kilat?”
“He’em. Kurang apa lagi aku?”
“Aku nggak minta kamu kasih kado apapun buat aku, Hesa…”
“Jadi kamu nganggep itu kado? GR! Aku Cuma mau kirim kamu hadiah.
Siapa bilang kado?”
Gadis di seberang sambungan itu tertawa kecil. Mata Hesa terpaku
pada sebuah novel di hadapannya.
“I got it.” Ucap Hesa.
“Apa?”
“Hadiahnya.”
“Jadi dari tadi kamu masih nyari-nyari? Ya ampun, Hes..”
Hesa mendapatkan barang terakhir yang dia cari. Dua buah novel
dengan ketebalan yang sama tapi ditulis oleh dua penulis yang berbeda.
“Ok, Dis. Sekarang aku kesusahan bawa barang-barang ini sambil
telepon kamu.”
“Oya? Haha, ok. Aku tutup telponnya ya?”
“Wow, peka banget kamu… oke, nanti aku hubungin lagi.”
“There is no time for it, Hes. Sebentar lagi aku pulang. Nggak ada
waktu buat telpon lagi, sampe dua minggu ke depan.”
“Ok ok.. aku tau… bilang ke pemilik asramamu ya, aku mau Disty-ku
balik!”
“Dreaming, please… haha, oke. See you tanggal 23.”
“He’em. Dua puluh tiga.”
“Bye.”
Hesa berjalan menuju kasir, menyerahkan dua buku itu dan tersenyum
membayangkan gadis yang akan menerimanya.
“Ini bukunya. Terima kasih…” ucap penjaga kasir itu.
“Ehm, di sini ada… kotak kado?”
“Di lantai bawah, Mas.”
“Oh, iya. Makasih ya.”
Pemuda yang kini menenteng barang belanjaannya itu berjalan
menyusuri tangga, menuju bagian kotak kado di lantai dasar. Dalam hatinya
berkata, “Happy birthday, You…”
***
Sehembus angin berhembus melewati sebuah pagar tinggi. Memasuki
sebuah gedung bertingkat tiga dengan banyak jendela. Kemudian berhembus lagi
melewati lorong-lorong dengan pintu yang hampir serupa warna dan bentuknya. Di
depan kamar dengan stiker bertuliskan ‘Knock it to make it opened!’ ,
angin itu meniup sehelai rambut milik gadis yang baru akan memasuki kamarnya
sendiri.
“Disty, tunggu!” panggil seseorang, membuat si gadis tidak jadi
memasuki kamarnya.
“Iya? Kenapa?”
“Cepet pake jilbab. Kata Mbak Nisah ada kiriman paket buat kamu.”
“Paket? Dari?”
“Orang tua kamu lah pastinya. Cepet di tunggu di bawah.”
Gadis bernama Disty itu memutar otak, mencoba mengingat sesuatu.
Aha!
“Ah, bener juga. Paket itu!” Disty berlari tiba-tiba.
“Hei, Dis! Pake jilbab dulu!”
“Ah iya!”
***
“How?” tanya seseorang dari seberang telepon. “Aku sampe tanya ke
temen-temen sekolah buat milih judulnya.”
“Oya? Aku suka semuanya. Bahkan aku udah selesai baca dua-duanya.”
“Tunggu…” sela Hesa, “aku lupa judulnya.”
“Ih, ketauan banget kamu tau judul ini dari rekomendasi orang.
Siapa?”
“Temenku.”
“Really?”
“Kamu pikir siapaaa?” jawab Hesa dengan nada kesal.
“Hahaha!” tawa Disty, “judulnya Perahu Kertas. Sama… Dear You. Aku
suka banget Perahu Kertas-nya.”
“Emang yang Dear You jelek?”
“Enggak. Bagus kok. Yang Dear You itu, semacam kumpulan cerpen gitu.
Malah hampir mirip kumpulan surat .
Tapi, aku juga suka kok. Jadi ngerasa baca surat dari kamu.”
“Ohya? Bagus doong..”
Hesa dan Disty terdiam. Entah mengapa mereka rindu saat-saat mereka
masih bisa saling bertatap wajah. Menyaksikan sudut-sudut bibir mereka tertarik
ke atas membentuk senyuman. Entah kapan hal itu akan terulang.
“Ehm… tanggal dua tiga!” ucap Hesa dan Disty berbarengan.
“Haha, kamu duluan.” Disty mempersilakan.
“Kamu…”
“Kamu aja…”
“Kamuu…”
“Hesa, aku nggak punya banyak waktu buat telepon kamu, ya! Kamu mau
Mbak Nisah keburu bilang, ‘time’s up!’ dan aku harus nutup telponnya?”
“Hahaha, daripada buat ngomel kenapa nggak ngomong aja sih…”
“Habis…”
Hesa melanjutkan tawanya, “Ehm, kamu beneran jadi ke Solo, kan ?”
“Iya. Liburan semester. Janji deh.”
“Di Solo mulai musim hujan nih. Semoga setelah kamu pulang ke Solo,
kamu bisa jadi matahari buat aku…”
“Ok, belajar ngegombal dari mana kamu?”
“Hahaha… nunggu seminggu kok lama yaa..”
“Yang sabar ih! Kamu lagi ngapain?”
“Nunggu hujan reda.”
“Di sini juga hujan.”
“Dingin dong?”
Disty mengangguk, “Yep! Dingin dan aku Cuma punya sweeter satu.”
“Oya? Jangan sakit ya…”
“Hopefully never! Aku nggak mau batal ke Solo Cuma karena aku
pilek!”
“Oke, bagus!”
Disty menoleh, saat sebuah suara dari Mbak Nisah terdengar. Calling
Time tampaknya sudah hampir berakhir.
“Ups.” Ucap Disty.
“Is time up?” tanya Hesa
“Yup! Tunggu sampe minggu depan ya, Hes. Saya akan hadir di hadapan
Anda! Hahaha!”
“Oh, saya sudah tidak sabar lagi, Nona-Nun-Jauh-di-Sana.”
“Haha, tunggu aku ya.”
“Absolutely yes.”
“Bye.”
Tut… tut… tut…
Telepon pun berhenti menyuarakan suara lembut Disty. Hesa memandang
layer ponselnya. Tersenyum melihat wallpaper yang ia pasang. Kemudian, mengetik
pesan untuk seseorang.
To: Lila
Dia suka sama novelnya.
Akhirnya aku beli Perahu Kertas sama Dear You. Kata dia, yang Dear You Cuma
kumpulan cerpen. Tapi dia tetep suka kok. Makasih ya.
Semenit kemudian, sebuah pesan balasan masuk.
From: Lila
Oya? Sama-sama.. Aku blm
baca yg Dear You soalnya. Alhamdulilah deh klo rekomendasi dr aku juga dia
suka.
Setelahnya, Hesa membiarkan layar ponselnya berubah menjadi screensaver
foto dirinya di samping gadis berjilbab yang sama-sama mengenakan seragam
SMP.
***
“Oke… jaket… jaket… jaket… ehm…”
Bibir Hesa bergumam sendiri sejak pertama kali memasuki distro itu.
lagi-lagi ia sedang terperangkap dalam berpuluh-puluh pilihan barang yang akan
dibelinya. Yap ! Hesa sedang memilih–jaket
perempuan untuk gadis yang sama. Disty, siapa lagi? Bedanya, yang kali ini ia
tidak menuruti rekomendasi dari Lila, teman sekelasnya, sekaligus opinion-finder-girl-nya.
Lila merekomendasikan Matahari Department Store sebagai tujuannya
mencari jaket untuk Disty. Tapi, ternyata di sana kelewat mahal. Hihi! Alhasil, Hesa
memilih Rown Division sebagai pilihan terakhirnya.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, pemuda yang wajahnya semakin
terlihat kusut itu menemukan pilihannya. Semoga Disty suka.
Ponsel Hesa bergetar, tanda ada pesan masuk. Ia pun membacanya.
From: My Disty
Wanna to see me, Hes? Aku
udah di rumah sekarang. Baru sampe sekitar dua jam yang lalu.
Hurry up, can be
patiently!
Kini, wajah Hesa mendadak cerah ceria dan tak lagi kusut. Ia menekan
gas Satria-nya kencang-kencang menuju rumah si gadis pujaannya.
***
‘Kling kling kling!’
Suara lonceng yang tergantung di pagar rumah bercat putih itu
terdengar. Pemuda yang menenteng tas berisi jaket itu menunggu dengan sabar,
sampai seorang gadis membuka kenop pintu rumah itu.
Gadis itu mengenakan celana jeans hitamnya, sepatu selop cokelat dan
blues lengan panjang lengkap dengan jilbab warnanya senada, biru tosca.
Senyuman menghiasi wajahnya yang manis lengkap dengan lesung pipi. Dan Hesa
membalasnya.
Ritual ucapan salam semacam ini sudah lama jadi tradisi di antara
mereka, ketika mereka pertama kali bertemu setelah berbulan-bulan harus
menjalin hubungan jarak jauh. Kemudian, Hesa akan menawari boncengan belakang
motornya, Disty menerima, dan mereka pun melaju menuju tempat-tempat yang sudah
lama mereka rencanakan di dalam telepon. Kali ini, bioskop.
“Ini, dipake. Kayanya Solo bakal diguyur hujan lagi.”
“Apa ini?”
“Katanya kamu Cuma punya satu sweeter. Jadi, aku milih jaket buat
hadiah kali ini.”
“Hadiah? Lagi?” Disty membuka tas kertas dari tangan Hesa, dan
mendapati sebuah jaket di dalamnya. “Ini.. buat aku?”
“Itu kan
jaket cewek. Masa buat aku?” ujar Hesa setengah menahan ketawa. Disty mencubit
lengan Hesa lalu setelahnya sibuk mencoba jaket pemberian dari pemuda itu.
Berkali-kali Hesa tersenyum melihat Disty terlihat begitu menyukai hadiah
darinya.
“Jam enam seperempat. Masuk studio yuk. Filmnya udah mau mulai.”
Kata Hesa mengingatkan Disty yang keasikan minum eskrim.
“Oke oke… yuk!”
Wajah Disty lagi-lagi mencairkan senyuman Hesa. Suara gadis yang
biasanya hanya bisa ia dengar lewat sambungan telepon itu, kini bisa ia nikmati
sepuasnya. Bahagia itu… sederhana. Memang.
***
“Oke… hujan lagi! Great! Masa jaket dari kamu musti kebasahan sih! Kan baruuu…” omel Disty
seusai keluar dari studio bioskop dan mendapati di luar hujan deras.
“Aku bawa mantol. Mau nekat, atau nunggu hujan reda?”
Disty melirik Monol putih di pergelangan tangan kirinya, “Hampir Jam
sembilan. Nekat pulang aja ya. Aku nggak boleh pulang malem hari ini.”
“Kita hujan-hujanan?”
“Siapa takut?”
“Haha… Oke, come on!”
Perjalanan mereka seharian ini berakhir di depan pagar putih
berlonceng di depan rumah Disty. Hujan mulai mengering, berganti gerimis yang
tidak sederas tadi. Hesa melipat mantol hujannya lalu memasukkannya ke jok
motor, sambil masih mendengarkan omelan Disty soal jaket barunya yang terpaksa
kebasahan.
“Ya berarti, jaket dari aku langsung berguna kan ?” tanya Hesa.
“Iya, sih… tapi kan …”
“Udah jangan bawel. Mentang-mentang nggak ada Mbak Nisah yang mutus
telepon, sekarang kamu bisa nerocos sepanjang ini.”
Disty merengut, “Oh, jadi kamu nggak suka. Yaudaaah…”
“Jiah, ngambek!”
“Biar!”
“Hahaha!”
“Kok malah ketawa?”
“Kalo lewat telpon aku nggak bisa liat wajah kamu lagi ngambek,
ternyata kaya gini, toh?”
“Ck… ish, kamuuu…” Disty memukul lengan Hesa, pelan.
“Makasih buat hari ini, ya Dis… aku udah nunggu berbulan-bulan buat
hari ini.”
“Iya. Aku juga seneng banget hari ini. Berharap aku nggak perlu
balik ke asrama itu lagi.”
Hesa tersenyum, “nggak boleh gitu lah… kita bertahan kan ?”
“Pasti.”
Untuk beberapa saat, mereka bungkam dalam diam, sampai hujan yang
tiba-tiba menderas menghentikan kediaman mereka.
“Aduh, hujan lagi.”
“Pake mantol deh!”
“Nggak usah. Aku cepet-cepet pulang aja!”
“Yakin? Nggak masuk dulu?”
“Udah malem, kapan-kapan aja. Aku pulang ya! Daaah!”
“Daah! Makasih ya, Hes…”
“Sama-sama…”
***
Setiap awal, memiliki akhir. Setiap pertama, memiliki terakhir.
Setiap, pertemuan pun memiliki perpisahan. Seperti hari dimana Hesa mengantar
kepergian Disty kembali ke Jakarta .
Kereta malam kali itu cukup ramai mengingat musim liburan. Dan untuk ke sekian
kalinya, dua sejoli itu harus sama-sama ikhlas melepas kepergian masing-masing.
Yang pergi dan yang ditinggalkan. Keduanya, harus sama-sama mau bersabar. Tanpa
alat komunikasi apapun, karena memang asrama Disty yang melarangnya. Kecuali,
jatah telepon setiap dua minggu sekali, fasilitas asrama. Itu pun hanya di saat
orang tua Disty tidak menelepon.
***
Ah, betapa hebatnya pemilik cinta jarak jauh seperti mereka itu…
jadi bayangin gimana rasanya kalo hal kaya gitu beneran terjadi sama aku. Haha…
entahlah. Cerita macem beginian kadang suka bikin merinding… Handphone-ku
bergetar, ada sms masuk rupanya. Masih sambil mengeringkan rambut, aku membaca
isi pesannya.
From: Hesa
Apaan, di Matahari
mahal-mahal gitu!
Ih, apaan sih dia nih! Jarang sms, sekalinya sms ngomel-ngomel gitu.
Jari-jariku mengetik balasan.
To: Hesa
Masa? Mungkin emang lagi
stok yg mahal2. wkt ak kesana murah2 kok.
Aduh, dimana lg ya ada
toko yg bagus…
From: Hesa
Nggak usah, ak udh dpt
kok
To: Hesa
Akhirnya beli dmn?
From: Hesa
Rown
To: Hesa
Bukannya lebih mahal yaa
-___-
From:
Enggak kok, lg ada
diskonan
To: Hesa
Oh..
Terserah deh, akunya jg
gatau itu jaket buat siapa -,-
From: Hesa
Mau tau beneran?
To: Hesa
He.em.. pacar, yaaa?
From: Hesa
Bukan.
To: Hesa
Terus?
From: Hesa
Nggak tau.
To: Hesa
Ha? Gmna sih? HTS? TTM?
From: Hesa
Temen SMP. Sekarang
pindah di Jakarta .
Dia di asrama.
Wow! Oke, siapapun cewek itu, dia pasti beruntung banget. Ada cowok yang mau beribet
nyariin dia novel lah, jaket lah… wow…
To: Hesa
Kamu suka sama dia? Dia
tau?
From: Hesa
Iya. Tau lah. Kita sama-sama
tau. Udah jalan 4 taun juga
What?! Tanpa status?!! Empat taun?!!
To: Hesa
Aiih… :3
Berarti LDR dong ya?
From: Hesa
Iya.
To: Hesa
Tp tetep sering smsan ato
telponan dong?
From: Hesa
Dia di asrama. Nggak
boleh bawa hape.
Ohmaygaat. Oke, siapa yang betah LDR an tanpa komunikasi sama sekali
gitu… belum karuan pulang setaun sekali pulaaaa…
To: Hesa
Kamu yakin dia di sana nggak nemuin siapa
gitu.. ya, you know what laah.. apapun bisa terjadi di Jakarta
sana dlm wkt 4 taun kan ?
From: Hesa
Nggak kok. Aku udah
percaya bgt sama dia. Kita sama-sama percaya.
To: Hesa
Terakhir ketemu?
From: Hesa
Kemaren tgl 23 dia ke
solo. Tp udh balik lg sekarang
To: Hesa
Oya? Ngapain aja? pasti
asik bgt deh
From: Hesa
Cuma nonton kok. Dia suka
bgt sama jaketnya. Padahal ak mikirnya dia bakal nggak suka. Terus, pulangnya
ak anter, ujan2an pake mantol
To: Hesa
:’)
Namanya?
From: Hesa
D
To: Hesa
D?
Semoga langgeng sama D
ya… ikut seneng deh…
From: Hesa
Amin…
Ya ampuuun.. nggak nyangka aja ternyata masih ada cerita macem
begitu… masih ngerasa speechless kalo inget tentang mereka. Jadi suka bayangin
aja, gimana adegan mereka waktu pertama ketemu tanggal 23 kemaren. Semoga
cerpen yang aku buat di atas tadi, bisa mewakili kejadian yang sebenernya.
Big thanks for seseorang yang mau ceritanya aku jadiin cerpen dan
make nama Hesa. Maaf kalo ada cerita yang asli ngarang. Namanya juga fiksi… dan
Cuma based on true story…
Good luck for you both!
Salam manis,
Lila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar