Minggu, 22 Januari 2012

Impossible (cerpen)


Dan ini cerpem kedua yang saya post di sini... entahlah siapapun yang baca... yg penting sih sayanya seneng... hehe
===
Impossible 

“Hah? Kebakaran?!” pekikku saat mendengar cerita dari eyang tentang sebuah rumah yang persis terletak di sebelah rumah eyang.
“Iya. Ehm, mungkin sekitar lima belas tahun yang lalu. Seingat eyang, rumah itu terbakar karena penghuninya yang lalai dengan kompor.” Terang eyang.
Aku menyipitkan mata, menajamkan pandanganku ke arah rumah yang hangus terbakar itu. Entah mengapa ada sesuatu yang janggal dari cerita eyang barusan. Dan, rasa penasaranku pun semakin jadi. Mungkin, ada sesuatu yang perlu diperjelas.
Namaku Harvi. Sekarang ini aku sedang berada di Bali, tepatnya di rumah eyangku. Sekolahku sedang libur panjang, jadi aku dan keluargaku memilih rumah eyang sebagai tempat kami menghabiskan waktu liburan.
Penasaran tampaknya melebihi rasa takutku. Ya, sekarang ini aku sedang berdiri tepat di hadapan rumah itu. Hawa malam hampir menembus jaket hitam yang kukenakan. Sesekali aku melirik ke Monol putih di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.30. Sedikit ngeri memang, tapi aku beranikan diri. Aku harus membayar rasa penasaranku. Setelah melihat sekitar dan memastikan bahwa tak ada seorang pun yang melihatku sekarang ini, dengan tenang, aku pun membuka daun pintu yang sudah reot itu.
Namun, tiba-tiba, seperti ada seberkas cahaya yang menyorot tepat ke wajahku dan seakan menyedotku menuju alam lain yang warnanya hanya putih. Lalu entah apa yang terjadi…
“Hah? Dimana aku??”
Percaya atau tidak, yang ada di hadapanku saat ini bukanlah pemandangan rumah hangus yang kotor dan tidak terawat, melainkan sebuah ruang tamu yang bersih, luas, dan dipenuhi dengan barang-barang antik dan kuno. Aku melihat ke arah kalender yang tergantung di dinding. 7 November 1996. Mataku terbelalak mengetahui tahun berapa sekarang ini. Ini mustahil, tapi sekarang aku benar-benar kembali ke masa lalu. Ke tahun 1996, lima belas silam.
Bulu kudukku meremang, air peluh juga bercucuran bergitu sering, aku takut, aku ingin kembali ke tahunku, aku ingin kembali ke rumah eyang dan membatalkan rencana bodohku soal rumah ini! Aku mau pulang!!
“Hey!” panggil seseorang dari belakang punggungku. Aku terkejut, bahkan tak berani berbalik badan. “hey, kamu siapa?!” tanya orang itu lagi, kali ini dengan nada kesal. Akhirnya aku berbalik, dan menatap sosok pemuda yang berdiri di hadapanku. Seketika, hatiku mencelos melihat wajahnya. Orang ini sangat jauh dari kata ‘buruk rupa’ atau semacamnya.
“Aku tanya sekali lagi, atau kamu pergi sekarang juga! Kamu ini siapa?!”
“Eh?” aku terbangun dari lamunan, “maaf, namaku Harviana. Kamu boleh panggil Harvi.”
“Harvi?” pemuda itu terlihat berpikir, lalu sebuah senyuman terpeta jelas di bibirnya. Ekspresi lega atau apa, aku tak mengerti, yang jelas aku yakin, orang di hadapanku ini adalah orang baik-baik. Jelas terlihat dari sorot matanya.
“Duduk.” Suruhnya, sambil menunjuk sebuah kursi rotan, aku menurutinya, lalu ia berlalu meninggalkan ruang tamu itu. “Aku cuma punya ini. Maaf.” Katanya setelah kembali dan menawarkan segelas teh hangat.
“Makasih.” Jawabku. Lalu, aku melihat pemuda itu mengamatiku begitu aneh, “kenapa??” tanyaku.
“Enggak. Aku cuma merasa aneh aja. Namamu itu seperti pernah aku dengar. Harviana.”
“Memangnya siapa?”
Orang itu menggeleng, lalu berpikir lagi, “Eh, aku ingat. Kemarin, tetanggaku pulang ke Jawa, katanya cucu perempuannya baru saja lahir, dan dia bilang, namanya Harviana.”
Aku tersentak. Tentu saja, tetangga yang dimaksud pemuda itu adalah eyangku, dan cucunya itu adalah aku. Ini benar-benar mustahil.
“Kebetulan sekali, ya?” kata pemuda yang sampai sekarang belum kuketahui namanya itu.
Aku tersenyum, “namamu siapa?” tanyaku.
“Ah, dari tadi aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Rajiv.” Jawabnya sambil tersenyum.
Cukup lama kami berbincang. Walau sering kami mendapati ketidakcocokan. Kami remaja seumuran, namun tinggal di masa yang berbeda, jadi jangan heran kalau Rajiv hanya diam sambil mengernyitkan kening saat aku bercerita tentang teman-temanku di facebook atau twitter. Ah, bodohnya aku.
Rajiv berhenti tertawa saat tiba-tiba ia melirik jam tangannya. “Gawat!” gumamnya. “Sebentar lagi, ayahku pulang. Dia bisa marah besar kalau tau ada orang lain di rumah ini.”
“Loh, kenapa?”
“Aku nggak bisa cerita, Vi. Tapi, sekarang juga kamu harus pulang!” Rajiv terlihat sangat panik. Entah siapa dan akan melakukan apa ayahnya itu.
Kemudian, Rajiv terlihat menulis sesuatu di atas secarik kertas.
“Baca ini setelah kamu sampai di rumah. Kamu akan tau semuanya.”
“Rajiv, aku nggak tau harus pulang kemana, aku ini…”
“Nggak ada waktu lagi Vi. Kamu harus selamat dari ayah!”
“Tapi, Raj…”
Ucapanku terbungkam karena baru saja, Rajiv mendekapku. Sangat erat. Dan itu sangat menenangkan. Sejenak aku larut dalam aroma tubuh Rajiv.
“Aku senang kamu berkunjung ke sini. Aku suka namamu. Dan aku pasti akan merindukanmu.” Bisiknya.
Suara pintu gerbang terbuka, terdengar. Tampaknya ayah Rajiv sudah pulang.
“Rajiv!!!” bentak ayah Rajiv.
Kami berlari menuju pintu belakang.
“Beri tau semua orang tentang yang sebenarnya terjadi, Harvi!” kata Rajiv, di ambang pintu belakang, lalu ia menutup pintu dan meninggalkanku di luar rumah. Aku tercenung, tak mengerti perkataan terakhir Rajiv.
“Anak kurang ajar!!!” suara bentakan bertubi-tubi terdengar dari dalam rumah. Melalui sebuah jendela yang lampunya menyala, aku melihat bayangan dua orang yang bertengkar. Merekalah Rajiv dan ayahnya. Sang ayah terlihat sedang memukul Rajiv dengan sebuah balok kayu.
“Aaaargh!” teriak Rajiv.
“Rajiv!!” aku berusaha membuka pintu lagi. Namun nihil, pintunya dikunci dari dalam. Lalu, aku menuju pintu depan. Aku harus menyelamatkan Rajiv dari kekejaman ayahnya. Aku yakin, ayahnya sudah gila! Aku terus berlari menuju pintu depan, karena rumah itu memang cukup luas. Ditambah, sebuah kilatan api mulai terlihat dari jendela. Apa yang dilakukan ayah Rajiv?!!
Akhirnya, aku tiba di depan pintu utama. Kecepatan langkah kakiku melambat, lalu bukannya mendobrak pintu dan menyelamatkan Rajiv, aku justru terbelalak. Menatap apa yang sekarang ini ada di hadapanku. Rumah yang hangus terbakar. Aku tak mengerti apa yang terjadi, aku melihat ke sekeliling, lalu menatap jam tanganku. 22.40.
Aku pun tersadar, apa yang terjadi denganku dalam waktu sepuluh menit itu. Aku kembali ke masa lima belas tahun yang lalu, saat rumah besar itu hangus terbakar. Dan kurasa, aku dimintai tolong oleh Rajiv untuk menyampaikan kebenaran tentang kematiannya. Bukan karena kelalaian kompor seperti yang selama ini orang tau. Ini sebuah kasus pembunuhan.
Aku berjalan pulang dengan langkah gontai. Kemudian, langkahku terhenti, saat menemukan sebuah kertas di saku jaket hitamku. Surat dari Rajiv yang sempat ia selipkan di sakuku.

Ayahku mengalami kelainan jiwa, tepatnya setelah ibu meninggal karena kecelakaan. Dia lah yang mengendarai mobil yang mencelakakan ibu, tiga tahun yang lalu. Kini, dia sangat terpukul. Jiwanya terguncang, dan berubah menjadi sosok yang arogan dan temperament. Ia selalu menganggap aku lah pembunuh ibu. Karena saat itu, ibu memilih menyelamatkanku dan mengorbankan dirinya sendiri. Aku tak dibolehkan ayah untuk keluar rumah atau menerima tamu. Aku dikurung di rumah ini. Dan, kukira, di tangan ayahku jugalah aku akan mati.

Rajiv
***

Aku berdiri di hadapan rumah itu lagi, bayangan wajah Rajiv berputar di kepalaku. Air mataku selalu mengalir setiap mengingatnya.
“Harvi! Ayo pulang!” teriak ibuku yang sudah siap di dalam mobil. Aku akan segera pulang ke Jawa dan mengakhiri liburanku.
Aku pun pulang, meninggalkan Bali dan liburanku yang spesial ini. Benar kata eyang, Rajiv pasti sudah bahagia sekarang, karena kini, semua orang sudah tau yang sebenarnya. Ya, kasus Rajiv akhirnya ditangani polisi sebagai kasus pembunuhan, dan dua hari yang lalu, ayah Rajiv tertangkap polisi. Ia mengaku telah membakar rumah itu untuk menyamarkan aksi pembunuhannya terhadap putranya sendiri. Tragis, tpi kini, aku senang, akhirnya Rajiv mendapatkan keadilan.
Senyuman kembali terukir di bibirku, melihat sepanjang jalan yang kulewati menuju bandara. Tangan kananku menggenggam erat-erat suatu benda. Surat dari Rajiv yang masih kurahasiakan dari semua orang. Entah bagaimana caranya, hingga benda itu masih terbawa sampai ke masa kini. Mungkin, Rajiv berusaha memberikan kenang-kenangan untukku. Rajiv, aku akan merindukanmu…
Mustahil memang, namun terkadang kemustahilan terdengar lebih masuk akal dari kenyataan yang palsu.

tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar