Dan ini cerpem kedua yang saya post di sini... entahlah siapapun yang baca... yg penting sih sayanya seneng... hehe
===
Impossible
“Hah? Kebakaran?!” pekikku saat mendengar cerita dari eyang tentang sebuah rumah yang persis terletak di sebelah rumah eyang.
“Iya. Ehm, mungkin sekitar lima belas tahun yang lalu. Seingat eyang, rumah itu terbakar karena penghuninya yang lalai dengan kompor.” Terang eyang.
Aku menyipitkan mata, menajamkan pandanganku ke arah rumah yang hangus terbakar itu. Entah mengapa ada sesuatu yang janggal dari cerita eyang barusan. Dan, rasa penasaranku pun semakin jadi. Mungkin, ada sesuatu yang perlu diperjelas.
Namaku Harvi. Sekarang ini aku sedang berada di Bali, tepatnya di rumah eyangku. Sekolahku sedang libur panjang, jadi aku dan keluargaku memilih rumah eyang sebagai tempat kami menghabiskan waktu liburan.
Penasaran tampaknya melebihi rasa takutku. Ya, sekarang ini aku sedang berdiri tepat di hadapan rumah itu. Hawa malam hampir menembus jaket hitam yang kukenakan. Sesekali aku melirik ke Monol putih di pergelangan tangan kiriku. Pukul 22.30. Sedikit ngeri memang, tapi aku beranikan diri. Aku harus membayar rasa penasaranku. Setelah melihat sekitar dan memastikan bahwa tak ada seorang pun yang melihatku sekarang ini, dengan tenang, aku pun membuka daun pintu yang sudah reot itu.
Namun, tiba-tiba, seperti ada seberkas cahaya yang menyorot tepat ke wajahku dan seakan menyedotku menuju alam lain yang warnanya hanya putih. Lalu entah apa yang terjadi…
“Hah? Dimana aku??”
Percaya atau tidak, yang ada di hadapanku saat ini bukanlah pemandangan rumah hangus yang kotor dan tidak terawat, melainkan sebuah ruang tamu yang bersih, luas, dan dipenuhi dengan barang-barang antik dan kuno. Aku melihat ke arah kalender yang tergantung di dinding. 7 November 1996. Mataku terbelalak mengetahui tahun berapa sekarang ini. Ini mustahil, tapi sekarang aku benar-benar kembali ke masa lalu. Ke tahun 1996, lima belas silam.
Bulu kudukku meremang, air peluh juga bercucuran bergitu sering, aku takut, aku ingin kembali ke tahunku, aku ingin kembali ke rumah eyang dan membatalkan rencana bodohku soal rumah ini! Aku mau pulang!!
“Hey!” panggil seseorang dari belakang punggungku. Aku terkejut, bahkan tak berani berbalik badan. “hey, kamu siapa?!” tanya orang itu lagi, kali ini dengan nada kesal. Akhirnya aku berbalik, dan menatap sosok pemuda yang berdiri di hadapanku. Seketika, hatiku mencelos melihat wajahnya. Orang ini sangat jauh dari kata ‘buruk rupa’ atau semacamnya.
“Aku tanya sekali lagi, atau kamu pergi sekarang juga! Kamu ini siapa?!”
“Eh?” aku terbangun dari lamunan, “maaf, namaku Harviana. Kamu boleh panggil Harvi.”
“Harvi?” pemuda itu terlihat berpikir, lalu sebuah senyuman terpeta jelas di bibirnya. Ekspresi lega atau apa, aku tak mengerti, yang jelas aku yakin, orang di hadapanku ini adalah orang baik-baik. Jelas terlihat dari sorot matanya.
“Duduk.” Suruhnya, sambil menunjuk sebuah kursi rotan, aku menurutinya, lalu ia berlalu meninggalkan ruang tamu itu. “Aku cuma punya ini. Maaf.” Katanya setelah kembali dan menawarkan segelas teh hangat.
“Makasih.” Jawabku. Lalu, aku melihat pemuda itu mengamatiku begitu aneh, “kenapa??” tanyaku.
“Enggak. Aku cuma merasa aneh aja. Namamu itu seperti pernah aku dengar. Harviana.”
“Memangnya siapa?”
Orang itu menggeleng, lalu berpikir lagi, “Eh, aku ingat. Kemarin, tetanggaku pulang ke Jawa, katanya cucu perempuannya baru saja lahir, dan dia bilang, namanya Harviana.”
Aku tersentak. Tentu saja, tetangga yang dimaksud pemuda itu adalah eyangku, dan cucunya itu adalah aku. Ini benar-benar mustahil.
“Kebetulan sekali, ya?” kata pemuda yang sampai sekarang belum kuketahui namanya itu.
Aku tersenyum, “namamu siapa?” tanyaku.
“Ah, dari tadi aku belum memperkenalkan diri ya? Namaku Rajiv.” Jawabnya sambil tersenyum.
Cukup lama kami berbincang. Walau sering kami mendapati ketidakcocokan. Kami remaja seumuran, namun tinggal di masa yang berbeda, jadi jangan heran kalau Rajiv hanya diam sambil mengernyitkan kening saat aku bercerita tentang teman-temanku di facebook atau twitter. Ah, bodohnya aku.
Rajiv berhenti tertawa saat tiba-tiba ia melirik jam tangannya. “Gawat!” gumamnya. “Sebentar lagi, ayahku pulang. Dia bisa marah besar kalau tau ada orang lain di rumah ini.”
“Loh, kenapa?”
“Aku nggak bisa cerita, Vi. Tapi, sekarang juga kamu harus pulang!” Rajiv terlihat sangat panik. Entah siapa dan akan melakukan apa ayahnya itu.
Kemudian, Rajiv terlihat menulis sesuatu di atas secarik kertas.
“Baca ini setelah kamu sampai di rumah. Kamu akan tau semuanya.”
“Rajiv, aku nggak tau harus pulang kemana, aku ini…”
“Nggak ada waktu lagi Vi. Kamu harus selamat dari ayah!”
“Tapi, Raj…”
Ucapanku terbungkam karena baru saja, Rajiv mendekapku. Sangat erat. Dan itu sangat menenangkan. Sejenak aku larut dalam aroma tubuh Rajiv.
“Aku senang kamu berkunjung ke sini. Aku suka namamu. Dan aku pasti akan merindukanmu.” Bisiknya.
Suara pintu gerbang terbuka, terdengar. Tampaknya ayah Rajiv sudah pulang.
“Rajiv!!!” bentak ayah Rajiv.
Kami berlari menuju pintu belakang.
“Beri tau semua orang tentang yang sebenarnya terjadi, Harvi!” kata Rajiv, di ambang pintu belakang, lalu ia menutup pintu dan meninggalkanku di luar rumah. Aku tercenung, tak mengerti perkataan terakhir Rajiv.
“Anak kurang ajar!!!” suara bentakan bertubi-tubi terdengar dari dalam rumah. Melalui sebuah jendela yang lampunya menyala, aku melihat bayangan dua orang yang bertengkar. Merekalah Rajiv dan ayahnya. Sang ayah terlihat sedang memukul Rajiv dengan sebuah balok kayu.
“Aaaargh!” teriak Rajiv.
“Rajiv!!” aku berusaha membuka pintu lagi. Namun nihil, pintunya dikunci dari dalam. Lalu, aku menuju pintu depan. Aku harus menyelamatkan Rajiv dari kekejaman ayahnya. Aku yakin, ayahnya sudah gila! Aku terus berlari menuju pintu depan, karena rumah itu memang cukup luas. Ditambah, sebuah kilatan api mulai terlihat dari jendela. Apa yang dilakukan ayah Rajiv?!!
Akhirnya, aku tiba di depan pintu utama. Kecepatan langkah kakiku melambat, lalu bukannya mendobrak pintu dan menyelamatkan Rajiv, aku justru terbelalak. Menatap apa yang sekarang ini ada di hadapanku. Rumah yang hangus terbakar. Aku tak mengerti apa yang terjadi, aku melihat ke sekeliling, lalu menatap jam tanganku. 22.40.
Aku pun tersadar, apa yang terjadi denganku dalam waktu sepuluh menit itu. Aku kembali ke masa lima belas tahun yang lalu, saat rumah besar itu hangus terbakar. Dan kurasa, aku dimintai tolong oleh Rajiv untuk menyampaikan kebenaran tentang kematiannya. Bukan karena kelalaian kompor seperti yang selama ini orang tau. Ini sebuah kasus pembunuhan.
Aku berjalan pulang dengan langkah gontai. Kemudian, langkahku terhenti, saat menemukan sebuah kertas di saku jaket hitamku. Surat dari Rajiv yang sempat ia selipkan di sakuku.
Ayahku mengalami kelainan jiwa, tepatnya setelah ibu meninggal karena kecelakaan. Dia lah yang mengendarai mobil yang mencelakakan ibu, tiga tahun yang lalu. Kini, dia sangat terpukul. Jiwanya terguncang, dan berubah menjadi sosok yang arogan dan temperament. Ia selalu menganggap aku lah pembunuh ibu. Karena saat itu, ibu memilih menyelamatkanku dan mengorbankan dirinya sendiri. Aku tak dibolehkan ayah untuk keluar rumah atau menerima tamu. Aku dikurung di rumah ini. Dan, kukira, di tangan ayahku jugalah aku akan mati.
Rajiv
***
Aku berdiri di hadapan rumah itu lagi, bayangan wajah Rajiv berputar di kepalaku. Air mataku selalu mengalir setiap mengingatnya.
“Harvi! Ayo pulang!” teriak ibuku yang sudah siap di dalam mobil. Aku akan segera pulang ke Jawa dan mengakhiri liburanku.
Aku pun pulang, meninggalkan Bali dan liburanku yang spesial ini. Benar kata eyang, Rajiv pasti sudah bahagia sekarang, karena kini, semua orang sudah tau yang sebenarnya. Ya, kasus Rajiv akhirnya ditangani polisi sebagai kasus pembunuhan, dan dua hari yang lalu, ayah Rajiv tertangkap polisi. Ia mengaku telah membakar rumah itu untuk menyamarkan aksi pembunuhannya terhadap putranya sendiri. Tragis, tpi kini, aku senang, akhirnya Rajiv mendapatkan keadilan.
Senyuman kembali terukir di bibirku, melihat sepanjang jalan yang kulewati menuju bandara. Tangan kananku menggenggam erat-erat suatu benda. Surat dari Rajiv yang masih kurahasiakan dari semua orang. Entah bagaimana caranya, hingga benda itu masih terbawa sampai ke masa kini. Mungkin, Rajiv berusaha memberikan kenang-kenangan untukku. Rajiv, aku akan merindukanmu…
Mustahil memang, namun terkadang kemustahilan terdengar lebih masuk akal dari kenyataan yang palsu.
Matahari bersembunyi di balik mendungnya langit yang berhias rintik-rintik gerimis. Menembus tanah dan mengalirkan atmosfer baru yang lebih nyaman, basah dan dingin. Menggambarkan secuil kuasa Tuhan akan alamnya.
Seorang gadis duduk di bangku semen di tepi lapangan basket sekolah. Kepalanya menunduk dalam-dalam, seakan motif kotak-kotak pada roknya lebih menyita perhatian ketimbang air hujan yang menetes dari talang air di hadapannya. Tepat di samping gadis itu bergelisah, seorang pemuda memainkan bola oranyenya. Mendrible-nya perlahan, hingga genangan air beriak cukup banyak.
“Jadi?” tanya pemuda itu. Sepertinya ia baru saja menanyakan sesuatu kepada sang gadis. Walau sedikit mengangkat wajahnya, gadis itu terus berpikir. Tentang sebuah kalimat yang terlontar begitu saja dari bibir pemuda itu beberapa saat yang lalu.
“Kamu… mau nggak jadi pacarku?” tanya pemuda itu sekali lagi karena belum mendapat jawaban apapun.
“Harus… dijawab sekarang? Eh, maksudku… aku kan juga…”
“Perlu waktu buat mikirnya?” pemuda itu menyahut perkataan si gadis yang belum tuntas. “Yes, I know… aku cuma nyatain perasaanku selama ini. Dan nggak minta lebih. Tapi, syukurlah kalau kamu juga punya perasaan yang sama, lebih-lebih menerima pernyataanku.”
Si gadis jadi tak enak hati, bukan maksudnya menggantung perasaan atau bagaimana, tapi baginya pernyataan seperti itu sangatlah mengejutkan dan di luar dugaan mengingat selama ini pemuda yang mengutarakannya sama sekali tidak memberi sinyal-sinyal bahwa ia memang ‘punya rasa’ terhadap sang gadis. Pemuda itu berpamitan setelah menawarkan diri untuk mengantar si gadis dan ternyata mendapat gelengan dan jawaban ‘Supirku udah dalam perjalanan jemput.’
Sejurus kemudian, sang gadis memanggil lagi nama pemuda itu.
“Hesa!” panggilnya. Pemuda itu menghentikan ayunan kakinya, lalu berbalik dan mendapati gadis itu menyusul langkahnya.
“Aku mau tanya…” ucap gadis itu sedikit ngos-ngosan.
“Hm? Ap… apa?”
“Kamu… beneran sayang sama aku?”
Pemuda bernama Hesa itu tersenyum kecil, “kurang jelas ya, pernyataanku tadi?”
“Jawab dong! Yes or no?!” gadis itu menuntut jawaban.
“Okay, absolutely. Aku sayang sama kamu.”
Si gadis tertawa kecil gantian, lalu menunduk–mungkin menyembunyikan rona merah muda di pipinya–dan kemudian bertanya.
“Tanggal berapa sekarang?”
“Hm? Dua puluh sembilan. Emangnya kena…”
“Kamu mau jawaban dari aku secepatnya?”
Hesa terlihat makin bingung, sementara hujan yang semula gerimis semakin menderas.
“I…iya. Pasti. Tapi kalo kamu masih butuh waktu buat ngejawabnya ya aku… hebb bbh hebbb…”
“Sst, diem!” gadis itu membekap mulut Hesa dengan telapaknya, lalu menunjuk ke arah ring basket.
“Tuh! Kamu liat ring itu?” tanya sang gadis, Hesa menjawab setelah mengatur nafasnya yang sesak karena bekapan tangan itu. “Masukin bola ke sana sampai jumlah tanggal hari ini, dan aku akan terima cinta kamu.”
Hesa mengerutkan kening, tak menyangka hal itu yang akan diutarakan gadis itu. Namun, dengan segera ia tersenyum.
“Dengan senang hati, puteri… dua puluh sembilan itu bukan apa-apa tau.”
“No no no! Ada satu syarat lagi, Tuan!” ucap si gadis itu lagi sambil berkacak pinggang.
“Apa?”
“Kamu harus berdiri dari garis three poin.”
“What?!” Hesa terbelalak, mengingat betapa sulitnya memasukkan bola dari garis three point, apalagi dua puluh sembilan kali.
“Keberatan?”
Hesa tidak menjawab, ia langsung berlari dan berdiri di belakang gadis three point. Shoot! Satu bola masuk. Hesa melihat ke arah calon gadisnya penuh arti. Sang gadis hanya tersenyum sambil melihat pemuda itu terus mencoba memasukkan bola, di tengah hujan yang mengguyur bumi dan hati dua insan manusia dibalut cinta itu.
“Twenty nine!!” teriak Hesa kemudian membuang jauh-jauh bola oranye itu dan menuju ke arah sang gadis. “How?” tanyanya tergopoh-gopoh, peluh dan air hujan bercampur jadi satu.
Gadis itu hanya tersenyum penuh arti.
♥♥♥
Tiga bulan kemudian…
Nenadya Ribka Andini
“Kyaaaa!!!” teriak seorang gadis yang langsung mendekap pemuda di sebelahnya. Nama lengkap gadis itu tertera pada daftar peringkat 10 besar parallel di sekolahnya.
“Selamat ya…” bisik pemuda itu.
“Thanks ya, Hes….” Jawab sang gadis sambil melepas dekapannya.
“Ribka!” panggil seseorang dari belakang. “Selamat ya, sebenernya dari kemarin aku udah tau kalau kamu ada di peringkat 5, Rib.”
“Ih, Kak Dirta jahat!” gadis yang dipanggil Ribka itu mencubit lengan Dirta, mantan ketua OSIS yang diperintahkan Pak Arga–wali kelas Ribka– untuk menempel pengumuman itu.
“Sekali lagi selamat looh…” Dirta merangkul bahu Ribka, kemudian dibalas canda tawa dari gadis berlesung pipi itu. Tak menyadari ada sosok yang berdiri di dekat mereka. Menampilkan senyuman yang kontra dengan keadaan hatinya.
♥♥♥
“Yang ini buat aku!” Ribka mengambil sebuah foto dari tangan Hesa yang baru akan melihat hasil photobox-nya dengan Ribka.
“Kenapa yang itu?”
“Nggak apa-apa.” Ribka menaruh selembar foto itu ke dalam lembaran novelnya. Menjadikannya sebagai pembatas. “lucu aja. Kamunya keliatan cengo.”
“Ish, jahat banget…” keluh Hesa. Diam-diam Hesa tersenyum melihat foto yang sekarang menjadi tanda pembatas novel itu. Ribka kan penggemar berat novel. Rasanya istimewa…
“Hehe…” Ribka merangkul Hesa dari belakang, “emangnya kenapa? Suka-suka dong…”
Hesa terkekeh, “iya deh, terserah kamu. Sekarang mau kemana?”
“Ehm…” Ribka memutar bola mata besarnya begitu lucu, bagian yang paling dikagumi Hesa dari seorang Ribka. “Beli es krim terus pulang?” tanya Ribka yang mulai lelah, di saat-saat seperti ini biasanya ia minum es krim, yang merupakan kesukaannya.
“Okay, come on, my princess. I’ll deliver you to the castle.”
“Thank you, sir. But, are you my horse rider?”
“You think? Ehm, if it makes you always in happiness, I will.”
Ribka tersenyum, lalu menggandeng tangan Hesa menuju pelataran parkir. Seakan benar-benar akan menjemput sang kuda yang akan mengantar Puterinya pulang menuju istana.
“Ish, hujan lagi…” keluh Hesa setelah keduanya keluar dari mall itu.
Ribka menatap Hesa tampak samping, pemuda itu selalu tampan dalam ekspresi apapun, bahkan ketika sedang merengut kesal seperti saat ini.
“Kenapa?” tanya Hesa yang merasa diperhatikan Ribka dengan anehnya.
Ribka menggeleng kuat, hingga beberapa jumputan rambutnya tergerai dan kini sedikit menutupi wajahnya. Hesa jadi ingat sesuatu melihatnya.
“Oiya.” Pemuda itu merogoh saku jaketnya, lalu mengambil sebuah benda berwarna perak. “Kemarin aku rela dikatain ibu-ibu demi beli ini.”
Hesa merapikan poni Ribka, menyibaknya ke belakang lalu menyematkan jepit untuk menahan jumputan itu agar tak tergerai bebas lagi menutupi wajah cantik Ribka.
“Nah, kalau begini kan aku nggak perlu kesusahan ngelihat wajah kamu. Yang satu lagi kamu simpen ya. Nih!” Hesa memberikan jepit yang sepasang lagi.
Ribka meraba benda mungil yang kini tersemat di kepalanya, lalu tertawa kecil, membayangkan bagaimana lucunya Hesa–yang notabene sangat cool dengan tubuh atletis dan terlihat macho itu–saat membeli benda itu. Ribka tertawa lagi.
“Kenapa?” tanya Hesa yang kali ini sedikit kesal. Merasa dipermainkan mungkin, karena sedari tadi gadisnya itu hanya tertawa melihatnya yang ‘berusaha’ terlihat romantis.
Ribka menggeleng, “nggaaaak… ehm, makasih ya jepitnya. Mungkin aku emang butuh. Suka ngeganggu juga sih kalo lagi di kelas. Poninya halangin pandangan.”
“Tuh kan… aku kurang pengertian apa lagi sih, Rib…” ucap Hesa sambil berlagak sombong dan memasukkan tangannya ke saku.
“Eh Rib! Apa-apaan sih?!” Hesa kesal saat tangan Ribka melayang dan mengacak rambutnya yang memang sedikit gondrong. Kemudian, gadis itu menyematkan jepit yang satu lagi di rambut Hesa. Lalu, terpingkal-pingkal.
“Lucu!” kata Ribka di sela tawanya, “jangan dilepas!”
Hesa yang semula kesal jadi ikut tertawa melihat gadisnya tak juga berhenti terpingkal.
“Mending yang satu lagi kamu aja yang bawa. Biar kaya couple gitu…” kata Ribka. “cantik banget sih kamu! Aku kalah deh!”
“Ck!” Hesa mengusap puncak kepala Ribka, lalu mengecupnya lembut. “Udah lumayan reda hujannya. Pulang yuk!”
Hesa meraih pergelangan tangan Ribka lalu mengajak pemiliknya mengikuti langkah demi langkah Hesa menembus gerimis.
♥♥♥
Hesa mengernyitkan kening saat melihat benda yang ia pegang. Tak menyangka gadisnya masih menyimpan benda itu sampai sekarang. Untuk apa?
“Rib, nih barusan jatuh.” Ucap seseorang di belakang punggung Ribka sambil memegang sebuah foto.
Ribka berbalik, dan langsung merebut paksa foto itu dari Hesa. Foto Ribka bersama pemuda lain. Kak Dirta.
“Ngapain masih nyimpen itu?” tanya Hesa tanpa nada marah sedikitpun.
“Ini…” Ribka sedikit gugup, meskipun Hesa tak menunjukkan ekspresi kemarahan. “ini waktu aku sama Kak Dirta masih pacaran…”
“Aku bukan tanya kapan foto ini diambil, Rib. Tapi, kenapa masih kamu simpen?”
“Seriously, aku bahkan nggak inget kenapa itu bisa ada di tasku. Mungkin aku pake buat pembatas buku.”
Saat itu Hesa sadar, bahwa bukan hanya fotonya dengan Ribka saat photobox itu yang dipakainya untuk tanda pembatas novel. Tampaknya Ribka memang melakukan hal yang sama pada setiap foto. Ah…
“Kamu marah?” tanya Ribka hati-hati.
Hesa menghela nafas tak kentara, lalu menggeleng perlahan, “nggak. Itu kan masa lalu. Aku percaya sama kamu kok.” Pemuda itu menepuk pelan puncak kepala Ribka.
“Serius?” tanya Ribka lagi, “serius enggak marah? Nggak kesel sama Kak Dirta? Nggak cemburu?”
“Enggaaak, Nenadya Ribka…”
“Berarti kamu juga nggak marah, ya kalo sekarang aku mau pergi sama Kak Dirta?”
“Hah?” tak bisa dipungkiri Hesa sedikit terkejut, “kemana?”
“Acara OSIS kok. Kan tim basket kamu mau lomba, temen-temen OSIS dimintai tolong sama Pak Andreas buat ikut technical meeting di SMA Buwana.”
Pemuda bertubuh tegap itu tampak membuang muka, membuat Ribka memiringkan kepalanya sedikit agar dapat melihat wajah kekasihnya itu.
“Eh, nggak kok. Nggak apa-apa. Kamu berangkat aja. Serius, aku nggak marah, kesel, cemburu or whatever… lagipula, aku juga ada latihan basket, buat persiapan lomba….” Hesa tertawa, berusaha mati-matian menutupi penolakannya.
“Oke. Makasih Mahesa-ku!!” Ribka berjinjit, lalu mengecup pipi kiri Hesa dan kemudian berlalu meninggalkan kekasihnya, karena Dirta sudah terlihat menunggunya di ujung koridor.
Hesa tercenung. Lagi-lagi ia harus mengubur rasa kesalnya. Mengapa di hadapan gadis itu ia tak pernah bisa marah. Melalui guratan di bibirnya, Hesa menampilkan senyuman getir. Akan sikapnya yang tak lebih dari seorang pengecut. Entah dari sudut pandang mana, hingga ia menilai dirinya demikian. Ia hanya membiarkan kekasihnya pergi dengan mantannya–yang sepertinya masih menyimpan rasa terhadap kekasihnya itu–dan berpura-pura tidak masalah dengan foto yang–juga–terselip di novel. Ah, apa itu yang namanya pengecut? Hesa membuang pertanyaan yang bersemayam di pikirannya, jauh-jauh. Masih banyak yang harus ia pikirkan selain itu, masalah dengan keluarganya tampak lebih menyita waktu akhir-akhir ini.
“Halo?” sapa Hesa di telepon, saat benda itu berdering menunjukkan panggilan masuk.
“Iya, Mah. Hesa ke pengadilan sekarang juga…”
♥♥♥
Keharmonisan sebuah keluarga. Siapa orang yang tak menginginkannya? Siapa orang yang mau menukar kebahagiaan dari sebuah keluarga? Sekalipun dengan materi yang tak akan habis seumur hidup. Aku yakin, tak ada yang rela menukarnya. Dan cuma orang bodoh yang menginginkan keluarganya berantakan, terpecah belah. Seperti sekarang ini, tak ada lagi yang berarti dari sebuah keluarga yang tak utuh lagi anggotanya.
Seorang pemuda sedang melihat-lihat hasil potret photobox dengan kekasihnya, seminggu yang lalu. Tinggal tiga buah, karena yang satu lagi diminta oleh sang kekasih untuk dijadikan pembatas novel. Hesa–pemuda tadi– membuang nafas berat dan begitu kentara, menyadari begitu menyedihkannya ia.
Dari kejauhan, Hesa melihat dua orang sedang bersitegang. Ribka dan Dirta. Mereka terlihat sedang bertengkar, hanya adu mulut memang, tapi hal itu membuat Hesa menghampirinya.
“Rib!” panggilnya, “kenapa??”
“Yaudahlah, relain aja kenapa sih? Mungkin taun depan kita bisa…” ucap Dirta terpotong karena Ribka yang mendorong tubuhnya cukup keras, walau tak sampai membuat pemuda berkaca mata itu terjatuh.
“Ini yang bikin aku capek sama kamu, Kak! Kamu tuh gampang banget putus asa! Ish!” marah Ribka, sambil menunjuk-nunjuk wajah Dirta. “kecewa aku sama kamu, Kak!”
Dirta hanya diam, dilihatnya bergantian sosok Ribka dan Hesa.
“Rib, aku…” Dirta berusaha menjelaskan, namun ditolak Ribka.
“Ayo, Hes. Kita makan aja di kantin!” kata Ribka sambil menarik tangan Hesa menjauh dari Dirta.
Ada kesalahan dalam pertandingan basket yang seharusnya tinggal seminggu itu. SMA Airlangga (sekolah Ribka-Hesa)–yang seharusnya ditunjuk oleh dinas daerah mewakili kota di ajang pertandingan basket itu– tiba-tiba batal mengikuti lomba, dan justru SMA Semasa yang ikut. Kata pihak panitia, ada miskomunikasi dari berbagai pihak yang terlibat. Baik itu SMA Airlangga, SMA Semasa maupun pihak dinas daerah. Namun, menurut Ribka, kasus ini merupakan kesalahan dari SMA Semasa yang mencurangi atau istilahnya sabotase. Gadis itu bertekat akan memperjuangkan hak SMA Airlangga untuk mengikuti lomba itu, namun Dirta tidak berani mengajukan protes. Itulah yang membuat keduanya bertengkar tadi. Dan malah membawa-bawa masa lalu.
“Oh jadi gitu. Basket Airlangga nggak jadi maju lomba karena disabotase SMA Semasa?” Hesa menyimpulkan cerita dari Ribka.
Gadis itu mengangguk, “dan keselnya, Kak Dirta nggak mau ngebela aku. Paling nggak ngebela SMA Airlangga deh. Ih, itu orang emang pengecut banget.”
“Yaudahlah, mungkin emang bukan saatnya.” Hesa berusaha tidak emosi meskipun ia juga kecewa timnya tidak jadi lomba.
“Hesa, ini hak kita, dinas daerah udah nunjuk SMA kita buat ikut lomba! Tapi tiba-tiba SMA Semasa ngerebut dan kabarnya mereka bikin surat tugas palsu! Mereka tuh maunya apa sih?! Nggak tau diri!!”
Hesa menepuk bahu Ribka, namun ditepis oleh Ribka.
“Kamu juga!” omel Ribka, “kenapa tadi cuma diem aja waktu aku berantem sama Kak Dirta? Kenapa nggak ngapain gitu!”
“Loh? Kok aku ikutan salah, emangnya aku udah tau permasalahannya apa?”
“Ya kan kamu bisa tanya ke Kak Dirta! Pokoknya aku nggak terima Airlangga diinjak-injak kaya begini!”
“Ribka, udah deh, jangan barbar gitu, mending…”
“BARBAR GIMANA SIH, HES??!” bentak Ribka. “aku lagi kesel nih, bukan barbar!!”
Hesa hanya diam, lalu menghela nafas,
“Terus marahnya ke aku?” tanya Hesa pelan, namun tepat mengena bagi Ribka. Gadis itu terdiam tiba-tiba.
“Ngelampiasin semuanya ke aku? Yang bahkan tau masalahnya baru aja? Dan kamu nggak ngasih kesempatan aku buat ngomong? Nggak ngasih waktu aku buat ngeredam emosi kamu? Dan malah ngebentak aku?”
Ribka hanya diam, lalu menunduk dalam-dalam. Sejurus kemudian, ia menatap Hesa.
“Kamu selalu kaya begini, Rib. Nggak bisa kontrol emosi. Aku tau kamu marah besar. Tapi jujur, kali ini kamu kelewatan. Kesabaran ada batasan, Rib. Aku juga yakin, kalo anak-anak basket tau, mereka juga berpikiran sama kaya aku, kaya Dirta. Mereka pasti bisa nerima.”
Hesa belum pernah sama sekali semarah ini terhadap Ribka. Jangankan marah, kesal sedikit saja belum pernah. Tapi kali ini masalah yang semakin komplek memaksanya menceramahi Ribka yang memang sudah kelewatan.
“Hes, tapi kan…”
“Aku capek, aku mau pulang. Kamu bisa dijemput kan?” Hesa berlalu meninggalkan Ribka yang darahnya masih mendidih. Kemudian, ia berdiri.
“Hesa! Aku nggak ngerti sama kamu!! Kamu tuh bukannya… ish!!” Ribka meremas rambutnya sendiri, masih merasakan emosi yang menjalar di aliran darahnya. Entah pada siapa ia marah.
Tiba-tiba di atas meja kantin, tepat di hadapan Ribka, sebuah tangan meletakkan se-cup es krim. Ribka terbelalak, lalu menoleh dan mendapati milik kekasihnya lah tangan itu.
“Biar tenang.” Kata Hesa, “kamu nggak apa-apa kan aku tinggal? Aku ada perlu soalnya…”
Ribka memandang lurus ke arah bola mata Hesa yang selalu memancarkan sejuta arti. Antara sedang senang, sedih, gelisah dan kecewa semuanya berada di garis lurus tanpa pembatas. Hingga sulit bagi Ribka untuk membedakan bagaimana suasana hati pemuda yang ia sayangi itu. Kemudian, Hesa melanjutkan langkahnya, berlalu meninggalkan Ribka.
Gadis berlesung pipi itu meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. Menyadari kebodohannya barusan. Bisa-bisanya ia membentak Hesa dan memperlakukannya seperti itu. Lalu, Ribka menemukan sesuatu di atas meja, milik Hesa yang tertinggal yaitu tiga lembar fotonya dengan Hesa ketika photobox di mall saat itu. Ribka tersenyum simpul sendiri saat melihat-lihat hasil jepretan itu. Hesa terlihat begitu lucu dengan berbagai ekspresinya. Ribka makin merasa bersalah, lalu ia bermaksud menyusul Hesa. Namun, langkahnya tertunda saat ia mendapati ponsel Hesa–yang ternyata juga tertinggal–berdering tanda ada panggilan masuk.
“Halo?” sapa Ribka.
“Halo? Kak Ribka, ya?” tanya seseorang di seberang. Melalui layar ponselnya, Ribka tau siapa yang menelepon.
“Iya, Chris. Hape Hesa kebawa Kak Ribka. Kenapa ya Chris?”
“Nggak kok, Kak. Cuma mau tanya aja Kak Hesa ke sininya jam berapa. Acaranya mau dimulai soalnya.”
“Acara? Acara apa, Chris? Dimana?”
“Di pengadilan lah, hari ini sidangnya.” Ribka terbelalak. Sidang? Sidang apa? kenapa Hesa nggak pernah bilang?
Adik Hesa melanjutkan kata-katanya, “Kemarin, Kak Hesa kelihatan sedih banget sampai nggak datang di persidangan. Tolong bilang ke Kak Hesa ya, Kak Ribka. Kak Hesa disuruh mamah ke persidangan sekarang terus….”
Ribka tak mendengar ucapan adik Hesa selanjutnya, karena ia langsung mengejar Hesa. Ia harus tau apa yang terjadi sebenarnya. Ribka sadar, selama ini ia terlalu memikirkan diri sendiri, terlalu egois. Ia selalu menceritakan semua masalahnya ke Hesa, dan tanpa Ribka tau, Hesa juga punya masalah yang begitu serius dan menyita pikiran dan tenaganya.
Bodoh kamu, Rib! Egois! Kamu jahat!
“Ke pengadilan, Pak!” suruh Ribka kepada supirnya yang ternyata sudah standby di depan sekolah.
“Loh, Non ngapain?”
“Pokoknya ke sana, Pak… penting!”
“I…iya Non…”
Dalam hati dan pikiran Ribka berkecamuk perasaan sedih, merasa bersalah, merasa bodoh, menyesal, kecewa dan segala perasaan yang membuat ketakutannya makin menjadi.
“Hesa!!” teriak Ribka saat mendapati sosok itu berjalan di hadapannya menuju pintu masuk pengadilan.
“Ribka? Kenapa bisa…”
Ribka menyambar tubuh Hesa seketika, mendekapnya begitu erat. Seakan membayar perasaan bersalah dan kebodohannya selama ini yang begitu egois dan tidak memperhatikan Hesa.
“Maaf, Hes… aku nggak bermaksud apa-apa. Pikiranku dikuasai sama emosi…”
“Terus ngapain kamu ke sini? Kamu bikin salah apa sampe ke sidang segala?”
“Hey… yang mau sidang bukan aku, Rib. Aku cuma jadi saksi di sini…”
“Saksi? Atas kasus apa?”
Hesa menunduk lalu tersenyum, “mamah sama papahku cerai.”
Ribka terkejut mendengar pengakuan Hesa, “kenapa… kamu nggak cerita? Kenapa kamu simpan sendiri masalahmu, Hes?”
“Kapan aku bisa cerita ke kamu coba?”
Tiba-tiba Ribka menangis, bahkan merengek cukup keras, membuat Hesa kelabakan sendiri, ia tak mau dikira orang telah melakukan hal yang macam-macam terhadap gadis di hadapannya itu.
“Sst, aduuuh, Ribka. Dilihatin orang-orang…”
“Hiks…” Ribka mendekap Hesa lagi, lalu menangis di dalam rengkuhan itu. “maafin aku, Hes, maafin aku… aku terlalu egois sama masalahku sendiri, sampai nggak tau apa masalahmu… kamu nggak ada kesempatan buat cerita juga karena aku terus yang keseringan cerita. Kamu baik banget sih Hes…”
“Nenadya Ribka Andini…. Kamu lupa, siapa orang yang udah masukin bola dua puluh sembilan kali ke ring dari garis three point tiga bulan yang lalu?”
Ribka tertawa dalam isakannya lalu menggeleng, tanda ia tak pernah lupa dengan sosok yang dimaksud Hesa.
“Orang itu nggak pernah berubah perasaannya. Masih begitu sayang sama kamu… dan aku yakin, setelah ini, orang itu akan dapet pelukan dari kamu…”
Ribka mendekap Hesa, masih dengan isakannya, “dasar jahat! Hesa jahat….” Rengek Ribka.
“Biarin asal masih ada kamu…”
“Ish, gombal…” Ribka mengeratkan pelukannya, “denger aku, Hes. Kamu nggak sendirian meskipun orang tuamu udah nggak bisa bersatu lagi, kamu masih punya aku yang sayang sepenuhnya sama kamu.”
Hesa tersenyum lega, seakan melepas segala beban yang tertanggung di pundaknya selama ini. Kemudian, bersama Ribka ia terbang dan tepat masuk ke dalam ring yang bernama ‘cinta’… :’)