Senin, 26 Oktober 2015

BEATRIX - #SafetyFirst

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------

BEATRIX
(@aiyasmutiara)

Aku tak tahu ke mana arahku ‘kan pergi.
Siapa yang akan menyapaku nanti?
Seorang gadis kah? Atau justru laki-laki?
Siapa yang akan menyayangiku dengan tulus? Dengan hati-hati?
Siapa yang akan bersiul di hadapanku setiap pagi?
Ah, siapa ya…
***
            Solo, 2015.
Sebuah gerbang rumah berwarna putih berdencit pelan saat terbuka. Seorang pemuda tinggi, tampan dan manis senyumannya menyapaku dengan sangat ramah. Aku turun dari mobil, ia memegang tubuhku perlahan. Kali ini bukan hanya senyum yang ku dapat, lesung pipi menjadi bonus darinya.
Hai. Aku menyapa pelan.
“Aku udah lama nungguin kamu.”
Hatiku mencelos. Benarkah aku yang kau tunggu selama ini?
Dista, namanya. Pemuda tinggi dengan lesung pipi itu. Sejak kali pertama aku melihatnya, aku langsung jatuh cinta. Ah klise rasanya. Mau bagaimana lagi, dia punya super-karisma sih! Sore ini langit agak mendung, janji Dista untuk mengajakku ke kampusnya pun batal. Pemuda itu memilih berdiam di kamarnya sambil menelepon seseorang. Ingin rasanya aku menguping pembicaraan Dista dengan – entah siapa – lawan bicaranya. Bagai punuk merindukan bulan, rasanya. Aku di sini terdiam di teras rumah, menahan gejolak cintaku pada Dista yang entah kapan bisa kusampaikan. Mustahil. Mustahil mengatakannya.
“Ah kamu bisa aja…” suara Dista terdengar sampai ke teras rumah, tempatku berada sekarang. Oh, tampaknya pemuda itu sedang melongok ke luar jendela, “iya, besok aku jemput kamu, Sayang… kamu udah nggak sabar, ya?”
Dista menatapku, lalu tersenyum. Aku membalasnya, namun dalam hati aku meringis kesakitan, siapa orang yang dipanggilnya ‘sayang’ itu. Pacarnya, kah?
“Iya, Sayaang…” kata Dista pada orang di seberang teleponnya lagi, “oh iya, besok ada yang ingin aku kenalin sama kamu, loh. Temen baru aku. Iya, dia udah dateng. Aku seneng banget, Yang. Oh, oke. Oke, nanti aku telepon lagi. Bye…”
Bye, Dista. Bye… memang aku bodoh. Memangnya aku berharap Dista menganggapku apa selain teman?? Ah, dasar bodoh.
***

Benar janji Dista kemarin, hari ini aku dan Dista pergi ke kampus. Dista mau memperkenalkanku dengan “Dia” yang ada di telepon kemarin. Cemburu? Tentu saja. Aku kan lebih dulu jatuh cinta dengan Dista. Mengapa aku yang harus…. Ah sudahlah.
Tapi aku nggak menyesal mengiyakan ajakan Dista hari ini. Ternyata sebelum ke kampus, Dista mengajakku pergi keliling kota. Kami ke toko buku, kata Dista, ia sedang mencari sekuel novel Dilan yang ditunggu-tunggunya. Kemudian kami menjelajah taman kota yang sedang dibangun. Dista bilang, ia sedang ada tugas untuk observasi di sana. Maklum lah mahasiswa jurusan Planologi. Yang terakhir ini yang paling aku suka, toko bunga. Yap, Dista mengajakku ke toko bunga! Ah senang sekali rasanya, melihat lesung pipi Dista berkali-kali muncul seiring candaannya dengan ibu penjual bunga yang tampaknya telah akrab dengan Dista.
Kami sampai di parkiran sebuah kampus universitas tersohor di kota ini.
Kita akan ke mana? Tanyaku pada Dista yang berkali-kali mematut rambutnya di kaca spion.
“Tunggu ya. Sebentar lagi, Diva bakal dateng nemuin kita.”
Diva? Siapa Diva??
Seorang gadis dengan rambut bergelombang, bibir dengan sapuan lipstick pink lembut dan sepatu wedges hitam mengkilat muncul dari balik Dista. Sekilas mereka berangkulan, lalu saling melempar senyum. Huh, betul-betul pemandangan yang menyebalkan bagiku. Asumsiku berkata, gadis inilah yang bernama Diva, sekaligus yang seharian kemarin ditelepon Dista sambil bilang sayang.
“Jadi ini yang mau kamu kenalin ke aku, Dista?” Diva menunjuk ku dengan ujung matanya. Senyumnya manis memang, tapi bedak dan make up-nya terlalu tebal sehingga kecantikannya tertutupi.
“Ah, iya Div. Dia ini yang selama ini kutunggu. Gimana menurut kamu?”
“Namanya?”
“Ehm…” Dista bergeming, ah jangan-jangan dia lupa namaku. “Beatrix. Namanya Beatrix.”
Hai, Diva. Dista sering banget ngomongin kamu loh.
“Oya? Aku Diva. Pacarnya Dista.”
Iya aku udah tahu. Aku udah nebak. Boleh kita pulang sekarang, Dis? Aku muak sama kalian. Terlebih saat aku tahu, novel Dilan dan bunga yang kami beli ternyata untuk Diva.
Sejak pertemuan pertama antara aku, Dista dan Diva ini, aku jadi semakin sering sedih. Pagi hari, Dista menelepon Diva, bukannya menemuiku. Siang harinya, usai pulang dari kampus, Dista mulai asyik dengan chatting-nya dengan Diva, bukannya memerhatikanku. Malam harinya pun sama, tak ada namaku sama sekali dalam kamus keseharian Dista.
Tapi, mungkin aku memang bodoh. Dicampakkan dengan bagaimana pun, aku tetap mengagumi pemuda berlesung pipi itu. Tatapan matanya setiap pagi sebelum mengajakku ke kampus, membuat tubuhku berdesir, senyumanku takkuasa kutahan. Ah, Dista. Mungkin, aku akan memilih untuk diam, ikhlas dan bahagia melihat kamu dan Diva bersama. Cukup. Cukup aku menemanimu setiap hari, mendengarmu tertawa renyah, menatapku setiap pagi seusai kamu membuka jendela kamar, menggerutu lapar sepulang dari kampus, bagiku setiap bagian dari harimu, adalah hariku juga.
Aku sedang terdiam di sebelah motor-motor di parkiran, saat Dista tiba-tiba menghampiriku dengan wajah penuh emosi.
Dista?? Kamu kenapa??
“Ternyata Diva emang cewek kaya gitu! Selama ini aku salah nilai dia!”
Dista menyambar tubuhku, mengajakku pergi meninggalkan kampus. Sesaat setelahnya suara Diva terdengar dari belakang kami. Dista berhenti, lalu tangannya ditarik oleh Diva. Aku hanya bisa diam melihat kejadian di hadapanku itu. Ada apa dengan dua sejoli ini??
“Apa lagi, Div?!”
“Dis, aku minta maaf, Dis. Aku sama Remon Cuma temenan aja…” Diva perlahan menitikkan air mata.
“Temen? Ke bioskop berdua? Dinner? Antar jemput kuliah? Beliin kamu boneka hati?! Apa lagi namanya itu, Div? Temen?”
“Dista…”
“Cukup, Div! Kita… cukup.”
Lagi-lagi Dista menarikku. Lalu kita bergegas meninggalkan Diva yang terisak. Aku masih bisa melihat seorang pemuda mengampiri Diva dan memeluknya. Mungkin, dia Remon, yang menjadi penyebab pertengkaran Diva dan Dista. Kemudian, Dista menarik gasnya kencang-kencang. Entah berapa – kilometer perjam – kecepatan kami saat itu, aku tidak ingat lagi. Aku lebih sering menutup mata. Dista terus ngebut, hingga sebuah suara dentuman keras dan klakson yang bersautan. Lalu… semuanya gelap.
***

Aku tak tahu lagi, berapa banyak karangan bunga lagi yang dijajarkan di sepanjang jalan depan rumah Dista. Semua datang untuk berbagi duka cita, berbela sungkawa. Seusai malam gelap itu, Dista dirawat di rumah sakit karena gegar otak berat. Tiada lagi yang bisa memacu jantungnya selain kabel-kabel yang dipasang di sekujur tubuhnya. Pemuda dengan lesung pipit itu, pemuda yang kucintai sejak pertama kami bertemu itu, pemuda yang pernah menanti kehadiranku itu, telah pergi untuk selamanya. Marah, aku ingin marah. Kepergian Dista bisa dibilang karena luka hatinya pada Diva. Gadis pujaan yang telah membuat Dista tidak memilihku. Menduakan aku.
Gadis itu datang ke pemakaman, tentu saja bersama Remon. Sebagai orang yang terakhir ditemui Dista, Diva ditanyai sana-sini perihal kecelakaan Dista.
“Dista ngebut, Tante. Kebiasaannya kalau ngebut, ya melanggar beberapa lampu lalu lintas, ditambah saat itu dia nggak pakai helm. Saya nggak tau kenapa Dista bisa ugal-ugalan di jalan seperti itu.”
Seandainya saja aku bisa meluruskan keadaan. Seandainya saja aku bisa memberi tahu ke semua orang kalau Dista ngebut karena sakit hati, dikhianati kekasihnya. Dikhianati gadis yang mengarang cerita karena tak mau disalahkan. Seandainya aku bisa bicara. Seandainya aku hidup.
“Lalu kemana motornya Dista, Tante?”
“Motornya ringsek, Div. Hancur, penyok sana-sini. Tuh, ada di gudang. Tante selalu ingat dengan Dista kalau melihat motor itu, Div. Padahal, Dista membeli motor itu dengan kerja kerasnya sendiri. Bahkan Dista memberikan nama buat motor itu. Entah siapa.”
“Beatrix, Tante. Beatrix namanya.”
***
Bukan hanya keluargamu, teman-temanmu, orang-orang di sekitarmu yang terluka dan kecewa mendengar kepergianmu. Sesungguhnya, bila kamu mau sedikit saja peduli pada dirimu sendiri, tidak terbawa oleh emosi, dan selalu konsentrasi, kecelakaan itu masih bisa dicegah. Tapi, aku juga. Kendaraan yang selama ini kau bawa pun juga berperasaan sama. Sedih, kehilangan, kecewa. Kami membawamu kemana pun kau pergi, tapi kami tak ingin membawamu pergi untuk selamanya, meninggal dunia.
“Ini, Bu yang mau dijual?”
“Iya. Saya tahu sudah penyok di sana sini. Mau dibeli berapapun saya rela. Ini demi kenangan anak saya. saya sedih melihat motor ini.”
“Baiklah, Bu. Saya bayar.”
Selang beberapa bulan, aku menginap di sebuah bengkel. Ada seseorang yang menyapaku, menyayangiku dan bersiul di hadapanku setiap pagi.
“Sekarang, kita bisa pergi berdua, Honda…”
Kami, aku dan pemilikku kini lebih sering mengelilingi kota dengan pelan-pelan. Kakek tua yang menjagaku sudah tidak kuat lagi tangannya, ia hanya bisa perlahan menarik gas, sama sekali tidak ngebut. Di sebuah perempatan, sebuah suara mengingatkanku akan suatu hal. Akan sebuah kenangan. Kenangan pemuda berlesung pipi itu.
***
“Para pengguna jalan, demi keselamatan bersama taatilah tata tertib lalu lintas. Perhatikan standar keselamatan kendaraan Anda, jangan melanggar batas kecepatan dan marka jalan. Utamakan keselamatan daripada kecepatan. Selamat melanjutkan perjalanan Anda, semoga selamat sampai tujuan. Tertib berlalu lintas, cermin budaya Wong Solo”

Jumat, 10 Januari 2014

Darimu (Untukku) 26 Juli 2013

untukku..

tetap hembuskan nafasmu, seraya bisikan kau masih menyayangiku

tetap buka mata indahmu, seakan kau melihatku selalu disisimu

tetap buka tanganmu, dan biarkan ruas jemarimu menyambutku dg sentuhmu

tetap mekarkan senyum manismu, seakan itu senyum yg terindah yg kau berikan utkku

tetaplah utkku..
karena kuberikan aku
untukmu..

Akan Ada Aku (25 November 2013)

ada yg aku cari setiap pagi. merapal sayang untuk mengawali hari.

ada yg entah sejak kapan menghuni hati. mengucap rindu yg semakin menjadi.

ada satu yg perlu kau yakini. ada namamu di tiap doa ini.

semoga aku dan kamu abadi.
mengikat janji untuk ditepati.

percayalah, suatu hari nanti, akan ada kamu di samping tidurku menggamit mimpi

percayalah, esok di setiap awal hari, akan ada aku mencium pipi, dan mengucap selamat pagi..