Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------
BEATRIX
(@aiyasmutiara)
Aku
tak tahu ke mana arahku ‘kan pergi.
Siapa
yang akan menyapaku nanti?
Seorang
gadis kah? Atau justru laki-laki?
Siapa
yang akan menyayangiku dengan tulus? Dengan hati-hati?
Siapa
yang akan bersiul di hadapanku setiap pagi?
Ah,
siapa ya…
***
Solo,
2015.
Sebuah gerbang rumah
berwarna putih berdencit pelan saat terbuka. Seorang pemuda tinggi, tampan dan
manis senyumannya menyapaku dengan sangat ramah. Aku turun dari mobil, ia
memegang tubuhku perlahan. Kali ini bukan hanya senyum yang ku dapat, lesung
pipi menjadi bonus darinya.
Hai.
Aku menyapa
pelan.
“Aku udah lama
nungguin kamu.”
Hatiku mencelos. Benarkah aku yang kau tunggu selama ini?
Dista, namanya.
Pemuda tinggi dengan lesung pipi itu. Sejak kali pertama aku melihatnya, aku
langsung jatuh cinta. Ah klise rasanya. Mau bagaimana lagi, dia punya super-karisma sih! Sore ini langit agak
mendung, janji Dista untuk mengajakku ke kampusnya pun batal. Pemuda itu
memilih berdiam di kamarnya sambil menelepon seseorang. Ingin rasanya aku
menguping pembicaraan Dista dengan – entah siapa – lawan bicaranya. Bagai punuk
merindukan bulan, rasanya. Aku di sini terdiam di teras rumah, menahan gejolak
cintaku pada Dista yang entah kapan bisa kusampaikan. Mustahil. Mustahil
mengatakannya.
“Ah kamu bisa aja…”
suara Dista terdengar sampai ke teras rumah, tempatku berada sekarang. Oh,
tampaknya pemuda itu sedang melongok ke luar jendela, “iya, besok aku jemput
kamu, Sayang… kamu udah nggak sabar,
ya?”
Dista menatapku, lalu
tersenyum. Aku membalasnya, namun dalam hati aku meringis kesakitan, siapa
orang yang dipanggilnya ‘sayang’ itu. Pacarnya, kah?
“Iya, Sayaang…” kata
Dista pada orang di seberang teleponnya lagi, “oh iya, besok ada yang ingin aku
kenalin sama kamu, loh. Temen baru
aku. Iya, dia udah dateng. Aku seneng banget, Yang. Oh, oke. Oke, nanti aku
telepon lagi. Bye…”
Bye,
Dista. Bye… memang aku bodoh. Memangnya aku berharap Dista menganggapku apa
selain teman?? Ah, dasar bodoh.
***
Benar janji Dista
kemarin, hari ini aku dan Dista pergi ke kampus. Dista mau memperkenalkanku
dengan “Dia” yang ada di telepon kemarin. Cemburu? Tentu saja. Aku kan lebih
dulu jatuh cinta dengan Dista. Mengapa aku yang harus…. Ah sudahlah.
Tapi aku nggak menyesal mengiyakan ajakan Dista
hari ini. Ternyata sebelum ke kampus, Dista mengajakku pergi keliling kota.
Kami ke toko buku, kata Dista, ia sedang mencari sekuel novel Dilan yang ditunggu-tunggunya. Kemudian
kami menjelajah taman kota yang sedang dibangun. Dista bilang, ia sedang ada
tugas untuk observasi di sana. Maklum lah mahasiswa jurusan Planologi. Yang
terakhir ini yang paling aku suka, toko bunga. Yap, Dista mengajakku ke toko
bunga! Ah senang sekali rasanya, melihat lesung pipi Dista berkali-kali muncul
seiring candaannya dengan ibu penjual bunga yang tampaknya telah akrab dengan Dista.
Kami sampai di
parkiran sebuah kampus universitas tersohor di kota ini.
Kita
akan ke mana? Tanyaku
pada Dista yang berkali-kali mematut rambutnya di kaca spion.
“Tunggu ya. Sebentar
lagi, Diva bakal dateng nemuin kita.”
Diva?
Siapa Diva??
Seorang gadis dengan
rambut bergelombang, bibir dengan sapuan lipstick pink lembut dan sepatu wedges hitam mengkilat muncul dari balik
Dista. Sekilas mereka berangkulan, lalu saling melempar senyum. Huh,
betul-betul pemandangan yang menyebalkan bagiku. Asumsiku berkata, gadis inilah
yang bernama Diva, sekaligus yang seharian kemarin ditelepon Dista sambil
bilang sayang.
“Jadi ini yang mau
kamu kenalin ke aku, Dista?” Diva menunjuk ku dengan ujung matanya. Senyumnya
manis memang, tapi bedak dan make up-nya
terlalu tebal sehingga kecantikannya tertutupi.
“Ah, iya Div. Dia ini
yang selama ini kutunggu. Gimana menurut kamu?”
“Namanya?”
“Ehm…” Dista
bergeming, ah jangan-jangan dia lupa namaku. “Beatrix. Namanya Beatrix.”
Hai,
Diva. Dista sering banget ngomongin kamu loh.
“Oya? Aku Diva.
Pacarnya Dista.”
Iya
aku udah tahu. Aku udah nebak. Boleh kita pulang sekarang, Dis? Aku muak sama
kalian. Terlebih saat aku tahu, novel Dilan dan bunga yang kami beli ternyata
untuk Diva.
Sejak pertemuan
pertama antara aku, Dista dan Diva ini, aku jadi semakin sering sedih. Pagi
hari, Dista menelepon Diva, bukannya menemuiku. Siang harinya, usai pulang dari
kampus, Dista mulai asyik dengan chatting-nya
dengan Diva, bukannya memerhatikanku. Malam harinya pun sama, tak ada namaku
sama sekali dalam kamus keseharian Dista.
Tapi, mungkin aku
memang bodoh. Dicampakkan dengan bagaimana pun, aku tetap mengagumi pemuda
berlesung pipi itu. Tatapan matanya setiap pagi sebelum mengajakku ke kampus,
membuat tubuhku berdesir, senyumanku takkuasa kutahan. Ah, Dista. Mungkin, aku
akan memilih untuk diam, ikhlas dan bahagia melihat kamu dan Diva bersama.
Cukup. Cukup aku menemanimu setiap hari, mendengarmu tertawa renyah, menatapku
setiap pagi seusai kamu membuka jendela kamar, menggerutu lapar sepulang dari
kampus, bagiku setiap bagian dari harimu, adalah hariku juga.
Aku sedang terdiam di
sebelah motor-motor di parkiran, saat Dista tiba-tiba menghampiriku dengan
wajah penuh emosi.
Dista??
Kamu kenapa??
“Ternyata Diva emang
cewek kaya gitu! Selama ini aku salah nilai dia!”
Dista menyambar
tubuhku, mengajakku pergi meninggalkan kampus. Sesaat setelahnya suara Diva
terdengar dari belakang kami. Dista berhenti, lalu tangannya ditarik oleh Diva.
Aku hanya bisa diam melihat kejadian di hadapanku itu. Ada apa dengan dua
sejoli ini??
“Apa lagi, Div?!”
“Dis, aku minta maaf,
Dis. Aku sama Remon Cuma temenan aja…” Diva perlahan menitikkan air mata.
“Temen? Ke bioskop
berdua? Dinner? Antar jemput kuliah? Beliin kamu boneka hati?! Apa lagi namanya
itu, Div? Temen?”
“Dista…”
“Cukup, Div! Kita…
cukup.”
Lagi-lagi Dista
menarikku. Lalu kita bergegas meninggalkan Diva yang terisak. Aku masih bisa
melihat seorang pemuda mengampiri Diva dan memeluknya. Mungkin, dia Remon, yang
menjadi penyebab pertengkaran Diva dan Dista. Kemudian, Dista menarik gasnya
kencang-kencang. Entah berapa – kilometer perjam – kecepatan kami saat itu, aku
tidak ingat lagi. Aku lebih sering menutup mata. Dista terus ngebut, hingga
sebuah suara dentuman keras dan klakson yang bersautan. Lalu… semuanya gelap.
***
Aku tak tahu lagi,
berapa banyak karangan bunga lagi yang dijajarkan di sepanjang jalan depan
rumah Dista. Semua datang untuk berbagi duka cita, berbela sungkawa. Seusai
malam gelap itu, Dista dirawat di rumah sakit karena gegar otak berat. Tiada
lagi yang bisa memacu jantungnya selain kabel-kabel yang dipasang di sekujur
tubuhnya. Pemuda dengan lesung pipit itu, pemuda yang kucintai sejak pertama
kami bertemu itu, pemuda yang pernah menanti kehadiranku itu, telah pergi untuk
selamanya. Marah, aku ingin marah. Kepergian Dista bisa dibilang karena luka
hatinya pada Diva. Gadis pujaan yang telah membuat Dista tidak memilihku.
Menduakan aku.
Gadis itu datang ke
pemakaman, tentu saja bersama Remon. Sebagai orang yang terakhir ditemui Dista,
Diva ditanyai sana-sini perihal kecelakaan Dista.
“Dista
ngebut, Tante. Kebiasaannya kalau ngebut, ya melanggar beberapa lampu lalu
lintas, ditambah saat itu dia nggak pakai helm. Saya nggak tau kenapa Dista
bisa ugal-ugalan di jalan seperti itu.”
Seandainya saja aku
bisa meluruskan keadaan. Seandainya saja aku bisa memberi tahu ke semua orang
kalau Dista ngebut karena sakit hati, dikhianati kekasihnya. Dikhianati gadis
yang mengarang cerita karena tak mau disalahkan. Seandainya aku bisa bicara.
Seandainya aku hidup.
“Lalu kemana motornya
Dista, Tante?”
“Motornya ringsek,
Div. Hancur, penyok sana-sini. Tuh, ada di gudang. Tante selalu ingat dengan
Dista kalau melihat motor itu, Div. Padahal, Dista membeli motor itu dengan
kerja kerasnya sendiri. Bahkan Dista memberikan nama buat motor itu. Entah
siapa.”
“Beatrix, Tante.
Beatrix namanya.”
***
Bukan hanya
keluargamu, teman-temanmu, orang-orang di sekitarmu yang terluka dan kecewa
mendengar kepergianmu. Sesungguhnya, bila kamu mau sedikit saja peduli pada
dirimu sendiri, tidak terbawa oleh emosi, dan selalu konsentrasi, kecelakaan
itu masih bisa dicegah. Tapi, aku juga. Kendaraan yang selama ini kau bawa pun
juga berperasaan sama. Sedih, kehilangan, kecewa. Kami membawamu kemana pun kau
pergi, tapi kami tak ingin membawamu pergi untuk selamanya, meninggal dunia.
“Ini, Bu yang mau
dijual?”
“Iya. Saya tahu sudah
penyok di sana sini. Mau dibeli berapapun saya rela. Ini demi kenangan anak
saya. saya sedih melihat motor ini.”
“Baiklah, Bu. Saya
bayar.”
Selang beberapa
bulan, aku menginap di sebuah bengkel. Ada seseorang yang menyapaku,
menyayangiku dan bersiul di hadapanku setiap pagi.
“Sekarang, kita bisa
pergi berdua, Honda…”
Kami, aku dan
pemilikku kini lebih sering mengelilingi kota dengan pelan-pelan. Kakek tua
yang menjagaku sudah tidak kuat lagi tangannya, ia hanya bisa perlahan menarik
gas, sama sekali tidak ngebut. Di sebuah perempatan, sebuah suara
mengingatkanku akan suatu hal. Akan sebuah kenangan. Kenangan pemuda berlesung
pipi itu.
***
“Para
pengguna jalan, demi keselamatan bersama taatilah tata tertib lalu lintas.
Perhatikan standar keselamatan kendaraan Anda, jangan melanggar batas kecepatan
dan marka jalan. Utamakan keselamatan daripada kecepatan. Selamat melanjutkan
perjalanan Anda, semoga selamat sampai tujuan. Tertib berlalu lintas, cermin
budaya Wong Solo”