Jumat, 18 Mei 2012

Di Mata Soca (CERPEN)



“Gaunnya mau warna apa?”
“Warna? Ehm.. disamain aja sama warna sapu tangan ini…”
“Merah? Wah.. pasti kelihatan elegan. Pilihan warnamu bagus. Di upacara kelulusan nanti, kamu pasti kelihatan paling cantik.”
“Makasih, tolong cepet dipesenin ya… ehm, ini buat surprise, jadi jangan sampai bunda tau!”
“Siap!”
♥♥♥
Seorang ibu guru SD mendekati salah seorang siswinya yang hanya diam sambil memperhatikan hasil gambaran teman-temannya.
“Soca...” panggil guru itu. “Kamu ngapain? Mana hasil gambaranmu?”
Siswi kelas 2 SD itu tak bergeming, dia terus memperhatikan temannya yang sedang mewarnai. Pandangannya sangat serius.
“Soca? Ibu tadi bilang apa? Selesaikan dulu gambaranmu, baru kamu boleh lihat-lihat punya teman yang lain…”
Guru itu menyerah saat perintahnya tidak digubris oleh Soca. Kemudian, ia berjalan ke arah tempat duduk Soca. Di atas meja, dilihatnya sebuah buku gambar dengan gambar kupu-kupu yang belum selesai diwarnai.
“Soca, ini gambar apa?” Tanya sang guru.
Soca, gadis kecil itu, memandang gurunya, sengit, lalu menjawab dengan ketus, “masa’ bu guru nggak tau? Itu kupu-kupu.”
Ibu guru itu tersenyum, “iya. Ibu tau ini kupu-kupu. Tapi kenapa nggak Soca warnai sayap kupu-kupunya?”
“Emangnya nggak boleh! Soca lebih suka begitu!”
“Soca, jangan membantah ibu. Cepat selesaikan gambaranmu!”
“Pokoknya Soca nggak mau ngelanjutin gambarnya!! Nggak mau Bu Guruuu!!”
“Soca!” guru itu mulai kesal, tapi ia mencoba bersabar dan mendekati Soca yang mulai menangis, “kenapa, Soca? Kenapa nggak dilanjutin? Kupu-kupunya jelek kalau Cuma begini…”
Soca tetap diam. Sang guru tak kuasa menahan amarah Soca yang kian menjadi-jadi. Gadis cilik itu menangis histeris tanpa sebab. Ia bahkan melempar jauh-jauh buku gambarnya.
♥♥♥
“Saya juga tidak tau apa sebabnya, Bu… tapi Soca mendadak aneh sejak hari itu. Dia nggak pernah mau ikut pelajaran menggambar. Tadinya, saya pikir saya bisa mengatasi anak itu sendiri, Bu. Tapi lama-kelamaan saya jadi khawatir. Makanya saya melapor kepada Ibu.”
Seorang ibu-ibu setengah baya berjalan melewati koridor sekolah. Di kepalanya terus terngiang-ngiang ucapan wali kelas dari anak semata wayangnya.
“Bundaaaa!” teriak seorang gadis setelah keluar dari kelasnya. Ibu itu tersenyum melihat putrinya, Soca.
♥♥♥
“BRAKK!!”
“Soca!! Apa-apaan kamu!!” bentak ibunda Soca sesaat setelah putrinya membanting keras-keras peralatan menggambarnya. “Socaa!!”
“Soca nggak mau nggambar lagi, Bun! Soca benci pelajaran menggambar!!”
“Tapi kenapa?! Cerita sama Bunda! Kamu selalu kaya gini setiap Bunda belikan peralatan mengggambar baru. Kenapa, Soca? Kamu kenapaa??”
Ibu–yang merupakan orang tua tunggal dari Soca–itu memeluk erat tubuh putrinya sambil menangis.
“Kenapa, Soca? Ceritakan ke Bunda…”
“Soca nggak suka gambar, Bun. Soca pernah diejek sama temen-temen karena warna pelangi.”
“Hah? Maksud kamu?”
Soca mengambil buku gambar dari laci meja belajarnya. Lalu menunjukkannya kepada sang Bunda.
“Kata temen-temen Soca bodoh, Bun. Soca warnai pelanginya salah…”
Soca mulai sesegukan menahan tangis. Ibunda Soca memperhatikan gambaran putrinya. Keningnya berkerut heran saat mendapati gambar pelangi yang diwarnai acak-acakan oleh putrinya. Yang lebih mengejutkan adalah warna pelangi itu. Hitam.
♥♥♥
“Adalah ketidakmampuan seseorang dalam membedakan warna-warna tertentu. Sprektrum retina yang tidak memiliki sel kerucut yang sempurna biasanya hanya bisa melihat warna hitam, abu-abu dan putih saja. Selain warna-warna itu, akan sangat sulit dibedakan oleh Soca. Itulah yang dialami oleh putri ibu, buta warna…”

“Yang ini apa, Bun?” Tanya Soca, membangunkan lamunan ibundanya.
“Hm? Apa, Soca?”
“Ini warna apa?”
“Merah. Itu warna merah, Soca… Warna kesukaan bunda.”
“Bunda suka merah?” Tanya Soca, polos, “kalau begitu Soca juga suka merah!”
Ibunda Soca tersenyum, lalu menyerahkan sesuatu ke tangan Soca
“Simpan ini baik-baik, Sayang. Sapu tangan ini warnanya merah. Kalau kamu kesulitan membedakan warna merah, bandingkan dengan warna sapu tangan ini. Kalau sama, berarti warnanya merah.”
Soca mengangguk sambil memperhatikan sapu tangan milik ibundanya. “Makasih, Bun. Soca sayang bunda!”
“Iya, Sayang. Bunda juga sayang Soca…”
Soca dan ibundanya larut dalam pelukan kasih seorang ibu dengan putrinya.
♥♥♥
“Soca itu artinya ‘mata’. Ayah dan bunda pasti punya maksud tertentu memberi nama itu buat ku. Mungkin, agar aku dapat melihat warna-warna dunia melalui kedua mataku. Tapi ternyata, Tuhan punya maksud lain di balik arti kata ‘Soca’. Aku terlahir dengan kelainan buta warna. Dan seperti yang kalian tau, aku tidak bisa dengan sempurna melihat keragaman warna. Tapi setidaknya aku masih bisa melihat. Melihat Bunda tersenyum bahagia karena ku. Lihat, Bun, sekarang aku memakai gaun dengan warna kesukaan bunda. Merah. Bunda suka merah, kan? Bunda, kelulusanku ini adalah hadiah buat Bunda. Terima kasih, Bun. Terima kasih telah menjadi ibu sekaligus ayah buat Soca. Di mata Soca, Bunda adalah warna yang paling mudah Soca lihat…”

Tamat